“Gerald, bangun! Kita harus berangkat sekarang,” ujar Vlow berusaha
membangunkan Gerald ketika jam
masih menunjukkan pukul tiga pagi.
“Apa, kalian serius ingin pergi sekarang, matahari saja
belum muncul, beri aku lima menit lagi,” tutur Gerald dan ia kembali bersembunyi dibalik selimutnya.
“Gerald, ayolah. Kita tidak bisa menundanya. Alvares diserang dan Ogre-ogre itu pasti akan
mengejar kita,” tutur Vlow berjalan kearah ranjang Austin, “Austin, bangun!
Kita harus berangkat sekarang. Sarapan telah di siapkan. Begitu kita selesai
menyantapnya kita akan berangkat,” tambahnya sambil berjalan menuju pintu,
“Ayolah! Kita tidak punya banyak waktu. Pakaian kalian tergantung dibalik
pintu!” soraknya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan.
“Kita harus bergerak cepat
sebelum pasukan Dhomnail mengejar kita. Kita akan mengambil jalan lurus menuju
Guidoweld agar kita sampai dengan cepat,” tutur Skriel melukis garis lurus
dengan jarinya di atas peta.
“Tapi bagaimana jika mereka
berhasil menyusul kita? Dan kita tidak memiliki tempat untuk bersembunyi atau
mempertahankan diri,” sanggah Lary menoleh kearah Skriel yang tampak berfikir.
“Mereka tidak akan bisa
menyusul kalian,” ujar Acquezis menuangkan air minum ke dalam setiap gelas yang
ada di atas meja. Ia tampak sangat rapi pagi ini walaupun ia telah menyiapkan
makanan untuk tamu-tamunya.
“Bukankah mereka telah mencapai
Alvares ketika kami telah setengah jalan menuju Guidoweld? Ditambah lagi waktu
kami terhenti disini, mereka memiliki kesempatan untuk menyusul kami,” sanggah
prajurit yang duduk di sebelah Skriel. Tepat saat itu Austin dan Gerald berjalan
menuruni tangga.
“Desa ini akan menahan mereka,”
sahut Acquezis, “Aku sangat mengenal Eroll dan Drioll, mereka adalah jenderal
di desa ini, aku akan meminta mereka untuk menahan Ogre-ogre itu.”
“Mereka akan percaya? Mereka
bahkan tidak mengetahui keberadaan kami disini,” tutur Vlow mulai ikut
berpartisipasi dengan rapat kecil-kecilan itu.
“Aku akan menceritakan semuanya
kepada mereka. Dan aku akan memastikan bahwa mereka akan percaya bahkan sebelum
kalian sempat meninggalkan desa ini terlalu jauh,” jawab Acquezis sangat yakin.
Skriel berfikir sejenak, “Kalau
begitu aku akan mempercayakannya kepadamu. Setelah sarapan selesai kami akan
langsung meninggalkan desa ini,” tutur Skriel menggulung lembaran peta dan
meletakkannya di atas perapian yang sedang menyala.
“Serahkan saja padaku,” sahut
Acquezis.
Setelah keputusan telah diambil
mereka langsung meyantap sarapan mereka dalam diam. Sementara itu Acquezis
membantu mereka mempersiapkan bekal yang akan mereka bawa selama perjalanan.
Kuda-kuda tengah menunggu mereka di halaman. Memakan rumput yang disedikan
untuk mereka agar stamina mereka cukup untuk mengantarkan penunggang mereka
agar sampai di tujuan. Begitu sarapan telah habis dan perbekalan mereka telah
siap mereka berpamitan kepada Acquezis dan berkuda keluar desa Aston menuju
Guidoweld. Acquezis langsung menemui Eroll dan Drioll dan menjelaskan apa yang
tengah terjadi dan meminta mereka untuk menahan pasukan Dhomnail. Berkat
keliahaian Acquezis dalam menjelaskan akhirnya mereka setuju dan langsung
membentuk pasukan untuk menyambut kedatangan pasukan Dhomnail yang semakin
mendekat.
Skriel dan pasukannya melaju
dengan cepat menuju Guidoweld mengingat Ogre-ogre yang sedang mengejar mereka.
Saat langit barat telah berubah warna menjadi biru tua mereka telah meninggalkan
desa Aston bermil-mil jauhnya. Itu tidak membuat mereka berleha-leha. Mereka
semakin memacu kuda mereka dengan cepat karena merasa bahaya semakin dekat di
belakang mereka. Benar saja, ketika matahari telah menampakkan diri seutuhnya
pasukan Dhomnail berhasil melewati sungai Ersia. Mereka tampak sangat kacau.
Darah menguncur dari kaki mereka namun mereka tidak mempedulikannya. Mereka
telah diperintahkan untuk menghentikan buruan mereka dan membawanya hidup-hidup
jika tidak mereka sendiri yang akan mati.
Matahari semakin meninggi
ketika semua Ogre itu sampai di desa Aston. Pegejaran mereka terhenti karena
ada hambatan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Puluhan panah
menghujani mereka ketika hendak melewati perbatasan Aston. Namun mereka tetap
tidak menyerah. Mereka mengayunkan kapak mereka untuk melawan segala hal yang
menghambat misi mereka. Para prajurit Aston berjuang mati-matian demi
melindungi Guidoweld. Mereka tidak peduli berapa banyak Ogre yang mereka lawan.
Mereka tidak peduli kapak-kapak itu menyayat tubuh mereka. Mereka juga tidak
peduli berapa banyak darah yang tertumpah di desa mereka. Yang mereka pedulikan
hanyalah keselamatan para Keturunan De Vlacoure yang selama ratusan tahun
mereka tunggu. Para keturunan De Vlacoure yang nantinya akan menentukan masa
depan mereka.
Matahari menempati tahtanya di
puncak tertinggi saat Ogre terakhir di kalahkan. Prajurit Aston tidak
membiarkan satu Ogrepun berhasil melewati desa mereka. Kemenangan mereka
dapatkan. Dan mereka siap menerima perintah selanjutnya dari Guidoweld. Tidak
sedikit dari prajutit Aston yang gugur dalam misi itu. Namun kematian mereka
bukanlah sesuatu yang sia-sia. Mereka mati dalam keadaan terhormat dan keluarga
mereka mengikhlaskan kematian itu demi masa depan mereka kelak.
“Kau bilang kalian
mendapat kabar bahwa Ogre datang menyerang Alvares,
siapa yang mengabarkan?” tanya Gerald menuntun kudanya untuk berjalan lebih cepat
karena tertinggal dari yang lain saat mereka melewati sebuah sungai kecil.
“Seekor elang datang dan memberikan sebuah
batu yang berisi pesan. Begitu Skriel menggenggam batu itu, keluar asap dan
membentuk tubuh Tetua. Bayangan tetua itu mengatakan bahwa Desa telah diserang dan
Ogre-Ogre itu menyusul kita,” jawab Vlow.
“Kita sudah hampir sampai,” tutur Skriel saat perbukitan panjang terbentang di depan mereka.
“Apa kau yakin?” tanya Gerald sedikit
ragu.
“Ya, kau lihat pohon besar itu?” tanya Skriel menunjuk ke atas sebuah bukit, “Itu adalah tanda kalau kita sudah dekat dengan
Guidoweld. Ayo, banyak yang menunggu kalian di sana,” tambah Skriel memberi
semangat.
Laju kuda mereka semakin cepat
saat mereka berusaha mendaki perbukitan. Bukit itu tidak begitu tinggi dan
tidak terlalu terjal. Saat mereka sampai di puncak bukit mereka berhenti
sejenak di samping pohon besar yang Skriel katakan. Di depan mereka tampak
sebuah kastil kokoh berdiri di atas tanah. Bendera kerajaan berkibar di setiap menaranya. Di
sebelah kanan kastil mengalir sebuah sungai kecil yang mengarah ke kiri kastil
dan mengalir memasuki hutan kecil yang berada di dekat bukit. Airnya begitu
tenang dan jernih. Tumbuh-tumbuhan tumbuh liar namun tertata rapi di tepian
sungai. Ratusan meter di depan mereka berdiri rumah-rumah kecil yang tertata
rapi dengan atap rumbianya.
“Welcome,” tutur Skriel yang melihat tamu De Vlacoure
begitu terpesona.
“Aku pikir yang seperti ini hanya ada di film-film,” ucap
Vav tak berkedip sedikit pun. Itulah
pendapat bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di
Guidoweld.
Mereka kembali melaju kuda
mereka munuju Guidoweld yang sesungguhnya. Mereka
menuntun kuda mereka dengan pelan ketika menyusuri rumah penduduk yang
tersusun rapi. Para penduduk memperhatikan mereka dengan penuh tanda tanya.
Ketika melewati sebuah pasar, Austin, Gerald, Vlow dan Vav terpesona melihat
keceriaan anak-anak, transaksi jual beli, suara kambing, ayam, semua menyatu
disini. Dari wajah
penduduk terlukiskan bahwa mereka hidup damai dan sejahtera. Tidak ada wajah
yang bersedih, semuanya tersenyum dan tertawa.
Mereka menuntun kuda mereka
menuju kastil Ratu yang terletak di atas bukit kecil. Jalanan mendaki mereka
tempuh dengan santai. Kekhawatiran lenyap ketika mereka melihat keceriaan yang
dilontarkan penduduk-penduduk yang menyambut mereka dengan senyuman. Semua
pintu dan jendela disetiap rumah terbuka. Dari dalam rumah keluar Elf yang
ingin melihat kedatangan mereka. Wajah-wajah yang ingin tahu muncul dari balik
jendela. Mereka berbisik satu sama lain dan menggangguk setuju.
Kastil telah terlihat ketika
rumah terakhir mereka lewati. Di depan kastil itu terbentang sungai yang
memanjang ke kiri kastil. Di tengah batang sungai terdapat sebuah jembatan
kecil yang menyeberangi sungai. Jalan setapak yang di perjelas dengan pasir
bercampur semen mereka pijaki ketika jembatan telah terlewati. Jalanan itu
membentang disepanjang jalan menuju gerbang yang berdiri megah di depan kastil.
Di kiri-kanan jalan sebesar empat meter berdiri rumah-rumah penduduk yang
berjejer hingga di samping gerbang. Pagar batu setinggi lima meter membentang
sepanjang halaman kastil. Gerbang berdiri kokoh diapit dua benteng kecil. Di
atas benteng itu terdapat sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk mengintai
musuh. Atapnya yang menjulang tinggi berwarna hitam serasi dengan warna kastil yang
berwarna putih. Skriel menghentikan kudanya dan menuruninya. Ia berjalan menuju
gerbang dan menemui prajurit yang menjaganya. Mereka tampak bernegosiasi sesaat
sambil menunjuk kearah Austin dan teman-temannya. Senyuman mengambang di pipi
sang prajurit saat ia berjalan menuju benteng dan membuka gerbang lebih besar
lagi agar tamunya dapat masuk dengan mudah.
Gerbang terbuka lebar dan
prajurit itu memberikan kode agar mereka segera masuk. Setelah Skriel menaiki
kudanya ia menuntun pasukannya memasuki halaman kastil. Mereka berjalan di atas
jalan beraspal. Di samping jalanan itu terbentang halaman luas yang ditumbuhi
rumput Doghwood berwarna hijau. Di kiri kanan jalan tumbuh bunga-bunga dan
pohon yang tumbuh dengan subur. Di depan kastil jalanan itu bercabang ke kiri
dan kanan yang menyatu dengan dua jenjang.
“Ratu
telah menunggu kedatangan kalian sejak 10 hari yang lalu,” tutur sang Prajurit sambil memberikan kode kepada semua tamunya agar turun
dari kuda mereka. Beberapa petugas peternakan langsung membawa kuda-kuda itu
untuk beristirahat. Setelah semuanya turun, prajurit itu menaiki tangga sebelah
kanan kastil. Ia memasuki kastil Ratu menuntun mereka memasuki sebuah ruangan
berbentuk persegi panjang. Ruangan itu memiliki dinding yang terbuat dari batu-batu
besar dan kuat. Tampak pelayan-pelayan sibuk berlalu lalang di sekitar ruangan
itu. Membawa kain-kain putih ataupun kereta makanan.
Di depan mereka tampak sebuah
pintu besar yang menjulang setinggi dinding kastil. Pintu itu terbuat dari kayu
tebal berwarna coklat. Disana terlihat ukiran yang menceritakan sebuah perang
besar. Prajurit itu membuka pintu dan menuntun mereka memasuki sebuah aula
besar berbentuk bujur sangkar. Lantainya berwarna putih bersih dan sangat
mengkilap. Dari lantai itu kita dapat melihat bayangan kita dengan jelas
layaknya memperhatikan diri di dalam cermin. Langit-langit aula terpantul dari
lantai putih itu. Dan membuatnya seperti terlukis di sana. Saat kita
menengadahkan kepala kita akan melihat langit-langit yang dilampisi kilauan
emas yang diukir dengan bentuk yang rumit. Di tengah langit-langit tergantung
sebuah lampu hias berwarna putih. Tampak gantungan-gantungan lilin yang
meleleh. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah yang sarat akan makna.
Di bagian atas dinding berjejer jendela-jendela di sepanjang ruangan. Membuat
cahaya marahari dengan leluasa memasuki aula. Di depan mereka tampak dua
jenjang yang terbagi menjadi dua. Dan kemudian menyatu kembali di tingkat dua.
Di belakang jenjang di lantai dua terpampang sebuah lukisan besar yang
menggambarkan dua sosok Elf. Di sebelah kanan terlukis sosok laki-laki gagah,
kebijaksanaan terlukis dari matanya. Sedangkan di sebelah kiri sosok wanita
yang anggun dan berparas cantik. Mereka adalah Raja dan Ratu kuno yang meminpin
De Vlacoure sejak ia terbentuk dan menjadi sebuah kerajaan besar.
“Silahkan tunggu disini
sebentar. Aku akan memanggilkan Ratu,” tutur prajurit ketika mereka memasuki
ruangan yang yang terletak di bawah jenjang.
Prajurit itu berlalu
meninggalkan mereka. Ruangan itu berbentuk bujur sangkar dan jauh lebih kecil
dari aula yang baru saja mereka tinggalkan. Jendela-jendela yang dilapisi kaca
terpajang di sepanjang dinding. Tirainya terbuka dan menyajikan pemandangan
indah di belakang kastil. Sofa-sofa empuk di tata rapi dan menempel pada
dinding. Di tengahnya terdapat sebuah meja rendah yang dilapisi emas murni.
Tampak di dekat jendela di depan mereka sebuah meja setinggi paha orang dewasa.
Diatasnya terpampang sebuah catur yang permainannya di hentikan di tengah
jalan. Pertarungan yang sengit tergambar dari pion-pion catur yang terletak di
atas kayu bujur sangkar itu. Di kiri kanan meja terdapat kursi yang terlihat
sangat nyaman jika diduduki. Di lain tempat berdiri sebuah meja yang di atasnya
terdapat cerek dan beberapa cangkir yang terbuat dari kayu.
Pintu berderit dan terbuka. Di
balik pintu tampak dua sosok Elf muncul. Mereka adalah Queen Kidivra dan
adiknya, Paxton. Ratu mengenakan gaun berwarna putih bersih yang berkilau.
Selaras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya berwarna emas terjalin indah dan
menggantung di bahu kanannya. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya. Begitu cantik, bahkan Vlow dan Vav tak berpaling
sedikitpun darinya. Sang Ratu di juluki Putri sang bulan oleh masyarakat De
Vlacoure. Sementara sang
adik memakai baju berwarna putih. Dilampisi rompi berwarna hijau lumut yang
setara dengan celananya. Di kakinya ia memakai boot yang nyaris menyentuh
lututnya. Rambutnya yang juga berwarna emas tergurai indah di belakang punggungnya.
Mereka membungkuk hormat ketika
melihat kehadiran Elf yang sangat dihormati di De Vlacoure berada di depan
mereka dan berdiri tegap kembali ketika hormat mereka telah dibalas.
“Selamat datang di kastil
kecilku ini,” sambut Queen Kidivra dengan lembut sambil menebar senyum hangat
yang dapat meruntuhkan kelelahan yang di derita orang yang melihatnya. Suaranya
yang lembut dan renyah bergema di ruangan kecil itu, “Seperti janji Alvares,
kau membawa tamu berharga kita dengan selamat.”
“Ya, Ratuku. Suatu kehormatan bisa membawa
mereka kehadapan Anda,” tutur Skriel sambil membungkuk hormat.
“Kalian telah menempuh
perjalanan panjang dan berbahaya. Aku berterima kasih karena kalian sampai
dengan selamat,” ujar Ratu kembali menebar senyuman hangatnya.
“Tapi, jauh di belakang kami
pasukan Dhomnail telah mengejar,” tutur Skriel tampak cemas.
“Mereka telah di kalahkan
masyarakat Aston,” sahut Paxton angkat suara. Terdengar keberanian dari
suaranya yang indah.
“Mulai sekarang, kita
tinggalkan Ogre-ogre itu. Kalian butuh istirahat setelah perjalanan melelahkan
ini. Pelayan kastil ini akan melayani kalian dan menunjukkan tempat kalian
untuk beristirahat,” ujar Ratu beranjak dari pintu menuju sebuah kursi dan
duduk dengan anggun.
Tampak dari arah luar ruangan
datang beberapa pelayan dan mengajak mereka keluar dari ruangan itu.
“Terima kasih ya, Ratuku,” ucap Skriel dan teman-temannya
dengan serentak dan mereka berlalu mengikuti pelayan kastil.
“Kecuali!” cegat queen Kidivra
ketika mereka mulai melangkahkan kaki keluar ruangan, “Aku ingin mengenal
wajah-wajah asing yang baru aku lihat. Apa kalian keberatan?” tanya Queen
Kidivra memperhatikan wajah empat remaja yang ia tunggu-tunggu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav
berhenti, “Tentu saja tidak Yang Mulia,” sahut Vlow hormat. Dan mereka memisahkan
diri dari Skriel dan pasukannya.
“Apa kalian tidak
letih berdiri seperti itu?” tanya Queen Kidivra kepada tamu
istimewanya yang hanya berdiri
kaku di depan pintu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav tampak terkejut dan gugup.
“Ayo! Bergabung dengan kami,” ajak Queen Kidivra
dengan lembut.
“Terima kasih Yang Mulia,” sahut mereka serempak. Dengan
gugup mereka melangkahkan kaki menuju meja yang telah ditunggui sang Ratu bersama adiknya.
“Kenapa kalian begitu gugup?” tanya Paxton dengan lembut.
Paxton adalah adik semata wayang Ratu. Ia begitu tampan dan menawan. Tidak ada
gadis di De Vlacoure yang tidak menyukainya. Namun Ia begitu dingin
terhadap gadis-gadis yang tertarik dengannya. Sebenarnya Paxton masih berumur 150 tahun, jika
dibandingkan dengan manusia kira-kira ia berumur 20 tahun. Menurut hukum De
Vlacoure, Elf yang telah berumur 100
tahun sudah diperbolehkan untuk menikah. Sudah banyak gadis cantik dari
Kerajaan lain yang mencalonkan
diri, tapi tidak
ada yang mampu menarik hatinya.
“Maaf Yang Mulia,
kami belum pernah menemukan suasana seperti ini sebelumnya dan kami begitu
senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Anda dan adik Anda,” jawab Austin
gugup.
Ratu tersenyum, “Kalian tidak usah seperti itu, Kastil
ini juga merupakan rumah kalian, jadi anggap saja kalau kita itu tengah
berkumpul di ruang kelurga, kalian sering melakukan itu kan?” tanya Queen Kidivra seraya
menuangkan teh ke cangkir mereka.
“Ya, maaf Yang Mulia,” tutur Vlow.
“Dan lagi, aku mohon, jangan panggil aku dengan sebutan ‘Yang Mulia’, sebutan itu
terdengar tua,” tutur Queen
Kidivra berusaha menceriakan suasana. Tawa mereka menggema di ruangan itu.
Tapi, tawa mereka terhenti begitu mendegar suara gemuruh,
“Sepertinya akan turun hujan siang ini,” tutur Paxton.
“I..itu bukan suara gemuruh, tapi itu suara perutku,”
sanggah Vav dengan pipi yang merah padam.
“Astaga! Betapa kejamnya aku membiarkan kalian kelaparan, kalau begitu sebaiknya
kalian membersihkan diri dan mengisi perut kalian, jangan sampai cacing di
perut kalian mengamuk dan memporak-porandakan kastil ini,” ujar Queen Kidivra sambil
tertawa.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav lega karena Ratu menyambut mereka dengan sangat hangat. Mereka
mulai merasa bahwa mereka bukanlah tamu disana. Tapi mereka disambut sebagai
keluarga. Queen
Kidivra begitu ramah dan tertawa dengan lepas bahkan dia
melarang rakyatnya untuk memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.
Empat orang pelayan wanita muncul dari balik pintu dan berjalan kearah mereka dengan malu-malu. Bagaimana tidak, ada tiga sosok
Elf tampan di depan mereka. Dan ketiga Elf itu memperhatikan mereka yang
tersipu malu.
“Mari, kami akan
mengantar kalian,” tutur salah satu pelayan dengan lembut dan
penuh hormat.
“Kalau begitu kami permisi dulu,” pamit Austin kepada
Ratu dan Paxton sambil sedikit membungkuk hormat.
Sambil menguap dan memperhatikan struktur bangunan
kastil, akhirnya mereka sampai di tempat mereka akan membersihkan diri, tentu
saja tempatnya terpisah cukup jauh. Setiba disana mereka disuguhi dengan kolam
berdiameter dua meter yang telah diisi dengan air hangat yang beraroma terapi.
Mereka sangat menikmatinya, bahkan disaat merendamkan tubuh mereka, tanpa sengaja mata
mereka terpejam dan merekapun tertidur sejenak.
Setelah merasa tubuh mereka segar kembali karena mereka
disuguhi makanan yang sangat
nikmat, mereka mengganti pakaian dengan yang telah
disediakan. Begitu mereka terlihat rapi, mereka digiring oleh seorang pelayan
menuju ruangan yang cukup besar.
Di ruangan itu kursi bersandaran tinggi disusun
rapi saling berhadapan. Kursi-kursi itu telah ditunggui, mereka
adalah para mentri Kerajaan. Tepat di depan pintu dengan jarak kira-kira 10
meter berdiri kokoh sebuah kursi yang telah diduduki oleh sesosok Elf yang
menawan. Ia tersenyum melihat kehadiran Austin, Gerald, Vlow dan Vav.
Dengan perlahan mereka berjalan meyusuri ruangan menuju
kursi yang telah disediakan untuk mereka. Tampak semua laki-laki yang ada di
dalam ruangan itu berdiri menyambut mereka sambil menebar senyuman.
“Apa yang mereka lakukan?” bisik Gerald.
“Apa kau tidak tahu, ini adalah salah satu wujud hormat
mereka terhadap tamu mereka,” jawab Vlow setengah berbisik.
Mereka langsung dipersilahkan duduk. Tampak senyum
terpajang di setiap sudut bibir Elf yang berada di ruangan itu. Diantara mereka
ada juga yang berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya.
“Baiklah, saudara ku. Aku sengaja mengadakan pertemuan ini untuk
memperkenalkan tamu terhormat kita yang datang dari negeri yang sangat
jauh, yaitu dunia manusia. Mereka adalah keturunan Dua Prajurit yang
telah mengorbankan nyawa mereka untuk De Vlacoure. Dia Austin,” tutur Ratu
sambil menunjuk kearah Austin yang menebar senyum.
“Gerald...”
“Salam kenal,” sahut Gerald.
“Vlow,”
“Kenalkan,”
“Dan yang paling kecil diantara mereka, Vav,” ujar Ratu
memperkenalkan Vav kepada mentri-mentri kerajaan.
“Mohon bantuannya,” sahut Vav lembut sama seperti waktu
dihari pertamanya di sekolah.
“Akhirnya setelah sekian lama, kalian datang juga,” tutur
seorang mentri dengan jenggot kambing menggantung di dagunya, Lord Trivole.
“Kalau kami tidak salah kalian datang dengan sebuah buku
bukan?” tanya mentri yang duduk di sebelah Queen Kidivra.
“Ya, kalian benar. Ini,” jawab Austin sambil menyodorkan
buku De Vlacoure yang terlihat sangat kokoh.
Ratu meraih buku itu
mengusapnya seperti mengusap anak yang tengah bersedih.
“Karena buku inilah De Vlacoure
selamat dan kalian bisa sampai disini guna melakukan misi penting,” tutur Queen
Kidivra meletakkan buku itu di atas meja.
“Aku rasa kami tidak siap untuk
itu,” celetuk Austin putus asa memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
Dengan senyuman hangat dan menenangkan Queen
Kidivra memecahkan keputusasaan Austin, “Bukan tidak siap, tapi belum siap.
Kami akan membantu kalian dalam mempersiapkan diri.”
Austin, Gerald, Vlow dan Vav
mengangguk dan tersenyum yang tanpa keraguan membingkainya.
“Kalau kalian datang dari buku ini menurut ramalan kalian
akan membawa kekuatan besar,” tutur Queen Kidivra, “Makanya Julion
memutuskan untuk membacakan mantra itu,”
“Kekuatan besar? Sepertinya tidak, menggunakan alat
perang saja kami tidak bisa,” timpal Vlow.
“Kekuatan besar disini maksudnya berbeda. Yang kami
maksud itu Varius,” sahut Paxton.
“Varius?” tanya Vav bingung.
“Varius itu adalah hewan legendaris De Vlacoure. Ia
dihormati sekaligus ditakuti oleh hewan lain. Ia juga ditakuti oleh musuh
kita,” jelas Queen Kidivra.
“Apa dia berpihak kepada kita?” tanya Gerlad.
“Ya, itu pasti. Apalagi jika masalah ini ada kaitannya dengan
Guidoweld. Lagi pula jika kita mengatakan tentang Jolion dia pasti akan sangat
membantu kita,” jawab Paxton.
“Sampai sekarang hanya Jolion yang bisa mengendalikan dan
mengerti perasaannya, tapi sekarang dia sudah tidak...”
“Tentunya ada hal yang lebih penting kita bicarakan
daripada cerita masa lalu, bukan,” potong Lord Walle yang tampak memperhatikan
wajah Ratu yang tampak sedih.
“Kak, sebaiknya kau istirahat,” saran Paxton memegang
tangan kakaknya.
“Kalau begitu silahkan lanjutkan,” tutur Ratu.
Semuanya memperhatikan langkah Ratu menuju pintu dengan
tampang yang sedih. Sementara itu Austin, Gerald, Vlow dan Vav kebingungan
tidak mengerti dengan yang
baru saja terjadi. Begitu pintu
tertutup Vlow yang sangat penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu ingin
menanyakan tentang hal itu tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena Lord
Trivole membuka mulutnya.
“Tentunya sebelum ke Guidoweld kalian singgah ke suatu
tempat? tanya Lord Trivole.
“Ya, banyak tempat yang kami kunjungi tanpa sengaja dan
terpaksa, sebelum kami bertemu dengan penduduk Desa Alvares, kami sempat
terkatung-katung di sarang Ogre,” jawab Austin.
“Itu artinya, Dhomnail sudah manemukan kalian tentunya,”
sahut Paxton cemas.
“Apakah itu pertanda buruk?” tanya Gerald.
“Tentu, tapi sepertinya dia tidak akan menyerang kita
dalam waktu dekat, karena ia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan pasukannya
setelah sekian lama, mungkin ia akan menambah atau menciptakan makhluk baru,
dan letak Guidoweld kali ini tidak akan mudah di capai hanya dengan
kaki-kaki Ogre yang berat,” jawab Paxton.
“Lagi pula, para Ogre telah menyerang Desa Al Vares
sepeninggal kita, itu artinya Dhomnail sudah mulai bertindak,” tutur Vlow yang
dari tadi hanya diam.
“Baiklah kita harus segera mempersiapkan pasukan kita,”
perintah Paxton. Semua Mentri tampak menganggukkan kepala tanda setuju. Hanya
dengan sebuah isyarat kepala dari Lord Trivole semua Mentri bangkit dari kursi
mereka dan keluar dari aula pertemuan untuk mempersiapkan pasukan.
Suasana hening sejenak, Paxton tampak memikirkan apa yang
akan ia lakukan terhadap tamu De Vlacoure.
“Well, berhubung kalian butuh tempat
istirahat malam ini, tentu kalian ingin mengetahui dimana letak kamar kalian
bukan?” tanya Paxton seraya bangkit dari kursinya.
“Ya, itu ide yang sangat bagus, dan apa kau bersedia
membawa kami berkeliling?” ujar Vlow balik bertanya.
“Ayo,” ajak Paxton melangkahkan kaki.
Mereka berjalan pelan sambil mengamati ukiran dan lukisan
yang terpajang di tembok kastil yang kokoh.
“Rasanya aku mengenal wajah yang ada di lukisan ini,”
tutur Vav sambil menunjuk sebuah lukisan yang bersanding dua
di dinding kastil. Kedua lukisan itu, menggambarkan sosok dua pasangan. Lukisan
pertama melukiskan seorang wanita yang tengah duduk di kursi dan seorang pria
tampan di belakangnya. Lukisan kedua menggambarkan seorang wanita yang
menggenggam tangan suaminya yang berdiri disampingnya,
lengkap dengan pedang di pinggangnya.
“Tentu kau mengenalnya, mereka adalah pahlawan-pahlawan
De Vlacoure yang rela hidup di luar De Vlacoure demi De Valcoure. Tentunya
mereka adalah leluhur kalian,
Lord Armus dan Lord Coloneir,” jawab Paxton.
“Kalau begitu Vav, berarti kita adalah saudara yang
sangat jauh,” tutur Gerald memperhatikan lukisan seorang wanita yang duduk di
kursi dan suaminya berdiri di belakangnya.
“Apa kita memiliki leluhur yang
sama?” tanya Vav.
“Ya, leluhurku Lord Armus,”
jawab Gerald menoleh ke arah Vav yang tersenyum kepadanya.
“Austin, sepertinya ini adalah lukisan yang tidak jauh
beda dengan yang ada di rumah kita bukan, hanya saja disini Lord Coloneir terlihat nyata dan mereka sungguh menawan,” puji Vlow.
“Tentu, karena lukisan ini dibuat dua hari sebelum
terjadinya perang besar,” jawab Paxton memperhatikan lukisan sepasang Elf yang
saling berpegangan tangan.
“Kemampuan manusia melukis sepertinya tidak sebagus
kemampuan Elf ya,” tutur Austin.
“Ya, lukisan ini lebih bagus dan mereka seperti
bernafas,” sahut Vlow.
“Apa kita akan melanjutkan perjalanan?” tanya Paxton
memecah lamunan mereka.
“Oh tentu, apa masih ada lukisan lain?” tanya Vav.
“Tentu, disini ada ratusan lukisan. Disana ada lukisan King
Jolion dan Queen Kidivra,” kata Paxton sambil menunjuk ke arah Aula besar.
“Lalu, dimana King Jolion sekarang?” tanya Austin yang
penasaran karena tidak melihat King Jolion dari tadi.
“Dia...sudah lama meninggal,” jawab Paxton sedih
memperhatikan lukisan yang terpajang di samping lukisan kakaknya.
“Astaga, pantas tadi Queen Kidivra
begitu sedih. Kalau boleh tahu, apa penyebab kematiannya? Apa karena
sakit?” tanya Vlow.
“Tidak, Jolion itu kuat, tidak mungkin dia meninggal
karena sebuah penyakit. Tapi, dia memberikan nyawanya kepada rakyat De
Vlacoure,” jawab Paxton menatap sesosok Elf yang memakai baju Raja dengan
mahkota berdiam di kepalanya. Lukisan itu tampak tersenyum tulus melihat lima
sosok Elf yang memperhatikannya.
“Memberikan nyawanya, apa maksudnya?” tanya Vav.
“Dia rela menukarkan nyawanya dengan keselamatan rakyat
De Vlacoure dengan membacakan sebuah mantra yang sangat kuat,” jawab sebuah
suara dari ujung ruangan.
Spontan mereka semua menoleh ke arah pintu yang tinggi
dan mendapati sesosok Elf yang anggun berjalan kearah mereka. Ia tampak
tersenyum sedih memandangi lukisan di dinding.
next week BAB VII part 1 :)