Sabtu, 18 Oktober 2014

De Vlacoure BAB VI - part III



“Gerald, bangun! Kita harus berangkat sekarang,” ujar Vlow berusaha membangunkan Gerald ketika jam masih menunjukkan pukul tiga pagi.
“Apa, kalian serius ingin pergi sekarang, matahari saja belum muncul, beri aku lima menit lagi,” tutur Gerald dan ia kembali bersembunyi dibalik selimutnya.
“Gerald, ayolah. Kita tidak bisa menundanya. Alvares diserang dan Ogre-ogre itu pasti akan mengejar kita,” tutur Vlow berjalan kearah ranjang Austin, “Austin, bangun! Kita harus berangkat sekarang. Sarapan telah di siapkan. Begitu kita selesai menyantapnya kita akan berangkat,” tambahnya sambil berjalan menuju pintu, “Ayolah! Kita tidak punya banyak waktu. Pakaian kalian tergantung dibalik pintu!” soraknya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan.
“Kita harus bergerak cepat sebelum pasukan Dhomnail mengejar kita. Kita akan mengambil jalan lurus menuju Guidoweld agar kita sampai dengan cepat,” tutur Skriel melukis garis lurus dengan jarinya di atas peta.
“Tapi bagaimana jika mereka berhasil menyusul kita? Dan kita tidak memiliki tempat untuk bersembunyi atau mempertahankan diri,” sanggah Lary menoleh kearah Skriel yang tampak berfikir.
“Mereka tidak akan bisa menyusul kalian,” ujar Acquezis menuangkan air minum ke dalam setiap gelas yang ada di atas meja. Ia tampak sangat rapi pagi ini walaupun ia telah menyiapkan makanan untuk tamu-tamunya.
“Bukankah mereka telah mencapai Alvares ketika kami telah setengah jalan menuju Guidoweld? Ditambah lagi waktu kami terhenti disini, mereka memiliki kesempatan untuk menyusul kami,” sanggah prajurit yang duduk di sebelah Skriel. Tepat saat itu Austin dan Gerald berjalan menuruni tangga.
“Desa ini akan menahan mereka,” sahut Acquezis, “Aku sangat mengenal Eroll dan Drioll, mereka adalah jenderal di desa ini, aku akan meminta mereka untuk menahan Ogre-ogre itu.”
“Mereka akan percaya? Mereka bahkan tidak mengetahui keberadaan kami disini,” tutur Vlow mulai ikut berpartisipasi dengan rapat kecil-kecilan itu.
“Aku akan menceritakan semuanya kepada mereka. Dan aku akan memastikan bahwa mereka akan percaya bahkan sebelum kalian sempat meninggalkan desa ini terlalu jauh,” jawab Acquezis sangat yakin.
Skriel berfikir sejenak, “Kalau begitu aku akan mempercayakannya kepadamu. Setelah sarapan selesai kami akan langsung meninggalkan desa ini,” tutur Skriel menggulung lembaran peta dan meletakkannya di atas perapian yang sedang menyala.
“Serahkan saja padaku,” sahut Acquezis.
Setelah keputusan telah diambil mereka langsung meyantap sarapan mereka dalam diam. Sementara itu Acquezis membantu mereka mempersiapkan bekal yang akan mereka bawa selama perjalanan. Kuda-kuda tengah menunggu mereka di halaman. Memakan rumput yang disedikan untuk mereka agar stamina mereka cukup untuk mengantarkan penunggang mereka agar sampai di tujuan. Begitu sarapan telah habis dan perbekalan mereka telah siap mereka berpamitan kepada Acquezis dan berkuda keluar desa Aston menuju Guidoweld. Acquezis langsung menemui Eroll dan Drioll dan menjelaskan apa yang tengah terjadi dan meminta mereka untuk menahan pasukan Dhomnail. Berkat keliahaian Acquezis dalam menjelaskan akhirnya mereka setuju dan langsung membentuk pasukan untuk menyambut kedatangan pasukan Dhomnail yang semakin mendekat.
Skriel dan pasukannya melaju dengan cepat menuju Guidoweld mengingat Ogre-ogre yang sedang mengejar mereka. Saat langit barat telah berubah warna menjadi biru tua mereka telah meninggalkan desa Aston bermil-mil jauhnya. Itu tidak membuat mereka berleha-leha. Mereka semakin memacu kuda mereka dengan cepat karena merasa bahaya semakin dekat di belakang mereka. Benar saja, ketika matahari telah menampakkan diri seutuhnya pasukan Dhomnail berhasil melewati sungai Ersia. Mereka tampak sangat kacau. Darah menguncur dari kaki mereka namun mereka tidak mempedulikannya. Mereka telah diperintahkan untuk menghentikan buruan mereka dan membawanya hidup-hidup jika tidak mereka sendiri yang akan mati. 
Matahari semakin meninggi ketika semua Ogre itu sampai di desa Aston. Pegejaran mereka terhenti karena ada hambatan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Puluhan panah menghujani mereka ketika hendak melewati perbatasan Aston. Namun mereka tetap tidak menyerah. Mereka mengayunkan kapak mereka untuk melawan segala hal yang menghambat misi mereka. Para prajurit Aston berjuang mati-matian demi melindungi Guidoweld. Mereka tidak peduli berapa banyak Ogre yang mereka lawan. Mereka tidak peduli kapak-kapak itu menyayat tubuh mereka. Mereka juga tidak peduli berapa banyak darah yang tertumpah di desa mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah keselamatan para Keturunan De Vlacoure yang selama ratusan tahun mereka tunggu. Para keturunan De Vlacoure yang nantinya akan menentukan masa depan mereka.
Matahari menempati tahtanya di puncak tertinggi saat Ogre terakhir di kalahkan. Prajurit Aston tidak membiarkan satu Ogrepun berhasil melewati desa mereka. Kemenangan mereka dapatkan. Dan mereka siap menerima perintah selanjutnya dari Guidoweld. Tidak sedikit dari prajutit Aston yang gugur dalam misi itu. Namun kematian mereka bukanlah sesuatu yang sia-sia. Mereka mati dalam keadaan terhormat dan keluarga mereka mengikhlaskan kematian itu demi masa depan mereka kelak.
 “Kau bilang kalian mendapat kabar bahwa Ogre datang menyerang Alvares, siapa yang mengabarkan?” tanya Gerald  menuntun kudanya untuk berjalan lebih cepat karena tertinggal dari yang lain saat mereka melewati sebuah sungai kecil.
“Seekor elang datang dan memberikan sebuah batu yang berisi pesan. Begitu Skriel menggenggam batu itu, keluar asap dan membentuk tubuh Tetua. Bayangan tetua itu mengatakan bahwa Desa telah diserang dan Ogre-Ogre itu menyusul kita,” jawab Vlow.
“Kita sudah hampir sampai,” tutur Skriel saat perbukitan panjang terbentang di depan mereka.
Apa kau yakin?”  tanya Gerald sedikit ragu.
“Ya, kau lihat pohon besar itu?” tanya Skriel menunjuk ke atas sebuah bukit, “Itu adalah tanda kalau kita sudah dekat dengan Guidoweld. Ayo, banyak yang menunggu kalian di sana,” tambah Skriel memberi semangat.
Laju kuda mereka semakin cepat saat mereka berusaha mendaki perbukitan. Bukit itu tidak begitu tinggi dan tidak terlalu terjal. Saat mereka sampai di puncak bukit mereka berhenti sejenak di samping pohon besar yang Skriel katakan. Di depan mereka tampak sebuah kastil kokoh berdiri di atas tanah. Bendera kerajaan berkibar di setiap menaranya. Di sebelah kanan kastil mengalir sebuah sungai kecil yang mengarah ke kiri kastil dan mengalir memasuki hutan kecil yang berada di dekat bukit. Airnya begitu tenang dan jernih. Tumbuh-tumbuhan tumbuh liar namun tertata rapi di tepian sungai. Ratusan meter di depan mereka berdiri rumah-rumah kecil yang tertata rapi dengan atap rumbianya.
“Welcome,” tutur Skriel yang melihat tamu De Vlacoure begitu terpesona.
“Aku pikir yang seperti ini hanya ada di film-film,” ucap Vav tak berkedip sedikit pun. Itulah pendapat bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Guidoweld.
Mereka kembali melaju kuda mereka munuju Guidoweld yang sesungguhnya. Mereka menuntun kuda mereka dengan pelan ketika menyusuri rumah penduduk yang tersusun rapi. Para penduduk memperhatikan mereka dengan penuh tanda tanya. Ketika melewati sebuah pasar, Austin, Gerald, Vlow dan Vav terpesona melihat keceriaan anak-anak, transaksi jual beli, suara kambing, ayam, semua menyatu disini. Dari wajah penduduk terlukiskan bahwa mereka hidup damai dan sejahtera. Tidak ada wajah yang bersedih, semuanya tersenyum dan tertawa.
Mereka menuntun kuda mereka menuju kastil Ratu yang terletak di atas bukit kecil. Jalanan mendaki mereka tempuh dengan santai. Kekhawatiran lenyap ketika mereka melihat keceriaan yang dilontarkan penduduk-penduduk yang menyambut mereka dengan senyuman. Semua pintu dan jendela disetiap rumah terbuka. Dari dalam rumah keluar Elf yang ingin melihat kedatangan mereka. Wajah-wajah yang ingin tahu muncul dari balik jendela. Mereka berbisik satu sama lain dan menggangguk setuju.
Kastil telah terlihat ketika rumah terakhir mereka lewati. Di depan kastil itu terbentang sungai yang memanjang ke kiri kastil. Di tengah batang sungai terdapat sebuah jembatan kecil yang menyeberangi sungai. Jalan setapak yang di perjelas dengan pasir bercampur semen mereka pijaki ketika jembatan telah terlewati. Jalanan itu membentang disepanjang jalan menuju gerbang yang berdiri megah di depan kastil. Di kiri-kanan jalan sebesar empat meter berdiri rumah-rumah penduduk yang berjejer hingga di samping gerbang. Pagar batu setinggi lima meter membentang sepanjang halaman kastil. Gerbang berdiri kokoh diapit dua benteng kecil. Di atas benteng itu terdapat sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk mengintai musuh. Atapnya yang menjulang tinggi berwarna hitam serasi dengan warna kastil yang berwarna putih. Skriel menghentikan kudanya dan menuruninya. Ia berjalan menuju gerbang dan menemui prajurit yang menjaganya. Mereka tampak bernegosiasi sesaat sambil menunjuk kearah Austin dan teman-temannya. Senyuman mengambang di pipi sang prajurit saat ia berjalan menuju benteng dan membuka gerbang lebih besar lagi agar tamunya dapat masuk dengan mudah.
Gerbang terbuka lebar dan prajurit itu memberikan kode agar mereka segera masuk. Setelah Skriel menaiki kudanya ia menuntun pasukannya memasuki halaman kastil. Mereka berjalan di atas jalan beraspal. Di samping jalanan itu terbentang halaman luas yang ditumbuhi rumput Doghwood berwarna hijau. Di kiri kanan jalan tumbuh bunga-bunga dan pohon yang tumbuh dengan subur. Di depan kastil jalanan itu bercabang ke kiri dan kanan yang menyatu dengan dua jenjang.
Ratu telah menunggu kedatangan kalian sejak 10 hari yang lalu,” tutur sang Prajurit sambil memberikan kode kepada semua tamunya agar turun dari kuda mereka. Beberapa petugas peternakan langsung membawa kuda-kuda itu untuk beristirahat. Setelah semuanya turun, prajurit itu menaiki tangga sebelah kanan kastil. Ia memasuki kastil Ratu menuntun mereka memasuki sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Ruangan itu memiliki dinding yang terbuat dari batu-batu besar dan kuat. Tampak pelayan-pelayan sibuk berlalu lalang di sekitar ruangan itu. Membawa kain-kain putih ataupun kereta makanan.
Di depan mereka tampak sebuah pintu besar yang menjulang setinggi dinding kastil. Pintu itu terbuat dari kayu tebal berwarna coklat. Disana terlihat ukiran yang menceritakan sebuah perang besar. Prajurit itu membuka pintu dan menuntun mereka memasuki sebuah aula besar berbentuk bujur sangkar. Lantainya berwarna putih bersih dan sangat mengkilap. Dari lantai itu kita dapat melihat bayangan kita dengan jelas layaknya memperhatikan diri di dalam cermin. Langit-langit aula terpantul dari lantai putih itu. Dan membuatnya seperti terlukis di sana. Saat kita menengadahkan kepala kita akan melihat langit-langit yang dilampisi kilauan emas yang diukir dengan bentuk yang rumit. Di tengah langit-langit tergantung sebuah lampu hias berwarna putih. Tampak gantungan-gantungan lilin yang meleleh. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah yang sarat akan makna. Di bagian atas dinding berjejer jendela-jendela di sepanjang ruangan. Membuat cahaya marahari dengan leluasa memasuki aula. Di depan mereka tampak dua jenjang yang terbagi menjadi dua. Dan kemudian menyatu kembali di tingkat dua. Di belakang jenjang di lantai dua terpampang sebuah lukisan besar yang menggambarkan dua sosok Elf. Di sebelah kanan terlukis sosok laki-laki gagah, kebijaksanaan terlukis dari matanya. Sedangkan di sebelah kiri sosok wanita yang anggun dan berparas cantik. Mereka adalah Raja dan Ratu kuno yang meminpin De Vlacoure sejak ia terbentuk dan menjadi sebuah kerajaan besar.
“Silahkan tunggu disini sebentar. Aku akan memanggilkan Ratu,” tutur prajurit ketika mereka memasuki ruangan yang yang terletak di bawah jenjang.
Prajurit itu berlalu meninggalkan mereka. Ruangan itu berbentuk bujur sangkar dan jauh lebih kecil dari aula yang baru saja mereka tinggalkan. Jendela-jendela yang dilapisi kaca terpajang di sepanjang dinding. Tirainya terbuka dan menyajikan pemandangan indah di belakang kastil. Sofa-sofa empuk di tata rapi dan menempel pada dinding. Di tengahnya terdapat sebuah meja rendah yang dilapisi emas murni. Tampak di dekat jendela di depan mereka sebuah meja setinggi paha orang dewasa. Diatasnya terpampang sebuah catur yang permainannya di hentikan di tengah jalan. Pertarungan yang sengit tergambar dari pion-pion catur yang terletak di atas kayu bujur sangkar itu. Di kiri kanan meja terdapat kursi yang terlihat sangat nyaman jika diduduki. Di lain tempat berdiri sebuah meja yang di atasnya terdapat cerek dan beberapa cangkir yang terbuat dari kayu.
Pintu berderit dan terbuka. Di balik pintu tampak dua sosok Elf muncul. Mereka adalah Queen Kidivra dan adiknya, Paxton. Ratu mengenakan gaun berwarna putih bersih yang berkilau. Selaras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya berwarna emas terjalin indah dan menggantung di bahu kanannya. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya. Begitu cantik, bahkan Vlow dan Vav tak berpaling sedikitpun darinya. Sang Ratu di juluki Putri sang bulan oleh masyarakat De Vlacoure. Sementara sang adik memakai baju berwarna putih. Dilampisi rompi berwarna hijau lumut yang setara dengan celananya. Di kakinya ia memakai boot yang nyaris menyentuh lututnya. Rambutnya yang juga berwarna emas tergurai indah di belakang punggungnya.
Mereka membungkuk hormat ketika melihat kehadiran Elf yang sangat dihormati di De Vlacoure berada di depan mereka dan berdiri tegap kembali ketika hormat mereka telah dibalas.
“Selamat datang di kastil kecilku ini,” sambut Queen Kidivra dengan lembut sambil menebar senyum hangat yang dapat meruntuhkan kelelahan yang di derita orang yang melihatnya. Suaranya yang lembut dan renyah bergema di ruangan kecil itu, “Seperti janji Alvares, kau membawa tamu berharga kita dengan selamat.”
“Ya, Ratuku. Suatu kehormatan bisa membawa mereka kehadapan Anda,” tutur Skriel sambil membungkuk hormat.
“Kalian telah menempuh perjalanan panjang dan berbahaya. Aku berterima kasih karena kalian sampai dengan selamat,” ujar Ratu kembali menebar senyuman hangatnya.
“Tapi, jauh di belakang kami pasukan Dhomnail telah mengejar,” tutur Skriel tampak cemas.
“Mereka telah di kalahkan masyarakat Aston,” sahut Paxton angkat suara. Terdengar keberanian dari suaranya yang indah.
“Mulai sekarang, kita tinggalkan Ogre-ogre itu. Kalian butuh istirahat setelah perjalanan melelahkan ini. Pelayan kastil ini akan melayani kalian dan menunjukkan tempat kalian untuk beristirahat,” ujar Ratu beranjak dari pintu menuju sebuah kursi dan duduk dengan anggun.
Tampak dari arah luar ruangan datang beberapa pelayan dan mengajak mereka keluar dari ruangan itu.
“Terima kasih ya, Ratuku,” ucap Skriel dan teman-temannya dengan serentak dan mereka berlalu mengikuti pelayan kastil.
“Kecuali!” cegat queen Kidivra ketika mereka mulai melangkahkan kaki keluar ruangan, “Aku ingin mengenal wajah-wajah asing yang baru aku lihat. Apa kalian keberatan?” tanya Queen Kidivra memperhatikan wajah empat remaja yang ia tunggu-tunggu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav berhenti, “Tentu saja tidak Yang Mulia,” sahut Vlow hormat. Dan mereka memisahkan diri dari Skriel dan pasukannya.
 “Apa kalian tidak letih berdiri seperti itu?” tanya Queen Kidivra kepada tamu istimewanya yang hanya berdiri kaku di depan pintu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav tampak terkejut dan gugup. “Ayo! Bergabung dengan kami,” ajak Queen Kidivra dengan lembut.
“Terima kasih Yang Mulia,” sahut mereka serempak. Dengan gugup mereka melangkahkan kaki menuju meja yang telah ditunggui sang Ratu bersama adiknya.
“Kenapa kalian begitu gugup?” tanya Paxton dengan lembut. Paxton adalah adik semata wayang Ratu. Ia begitu tampan dan menawan. Tidak ada gadis di De Vlacoure yang tidak menyukainya. Namun Ia begitu dingin terhadap gadis-gadis yang tertarik dengannya. Sebenarnya Paxton masih berumur 150 tahun, jika dibandingkan dengan manusia kira-kira ia berumur 20 tahun. Menurut hukum De Vlacoure, Elf yang telah berumur  100 tahun sudah diperbolehkan untuk menikah. Sudah banyak gadis cantik dari Kerajaan lain yang mencalonkan diri, tapi tidak ada yang mampu menarik hatinya.
 “Maaf Yang Mulia, kami belum pernah menemukan suasana seperti ini sebelumnya dan kami begitu senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Anda dan adik Anda,” jawab Austin gugup.
Ratu tersenyum, “Kalian tidak usah seperti itu, Kastil ini juga merupakan rumah kalian, jadi anggap saja kalau kita itu tengah berkumpul di ruang kelurga, kalian sering melakukan itu kan?” tanya Queen Kidivra seraya menuangkan teh ke cangkir mereka.
“Ya, maaf Yang Mulia,” tutur Vlow.
“Dan lagi, aku mohon, jangan panggil aku dengan sebutan Yang Mulia, sebutan itu terdengar tua,” tutur Queen Kidivra berusaha menceriakan suasana. Tawa mereka menggema di ruangan itu.
Tapi, tawa mereka terhenti begitu mendegar suara gemuruh, “Sepertinya akan turun hujan siang ini,” tutur Paxton.
“I..itu bukan suara gemuruh, tapi itu suara perutku,” sanggah Vav dengan pipi yang merah padam.
“Astaga! Betapa kejamnya aku membiarkan kalian kelaparan, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri dan mengisi perut kalian, jangan sampai cacing di perut kalian mengamuk dan memporak-porandakan kastil ini,” ujar Queen Kidivra sambil tertawa.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav lega karena Ratu menyambut mereka dengan sangat hangat. Mereka mulai merasa bahwa mereka bukanlah tamu disana. Tapi mereka disambut sebagai keluarga. Queen Kidivra begitu ramah dan tertawa dengan lepas bahkan dia melarang rakyatnya untuk memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.
Empat orang pelayan wanita muncul dari balik pintu dan berjalan kearah mereka dengan malu-malu. Bagaimana tidak, ada tiga sosok Elf tampan di depan mereka. Dan ketiga Elf itu memperhatikan mereka yang tersipu malu.
“Mari, kami akan mengantar kalian,” tutur salah satu pelayan dengan lembut dan penuh hormat.
“Kalau begitu kami permisi dulu,” pamit Austin kepada Ratu dan Paxton sambil sedikit membungkuk hormat.
Sambil menguap dan memperhatikan struktur bangunan kastil, akhirnya mereka sampai di tempat mereka akan membersihkan diri, tentu saja tempatnya terpisah cukup jauh. Setiba disana mereka disuguhi dengan kolam berdiameter dua meter yang telah diisi dengan air hangat yang beraroma terapi. Mereka sangat menikmatinya, bahkan disaat merendamkan tubuh mereka, tanpa sengaja mata mereka terpejam dan merekapun tertidur sejenak.
Setelah merasa tubuh mereka segar kembali karena mereka disuguhi makanan yang sangat nikmat, mereka mengganti pakaian dengan yang telah disediakan. Begitu mereka terlihat rapi, mereka digiring oleh seorang pelayan menuju ruangan yang cukup besar.
Di ruangan itu kursi bersandaran tinggi disusun rapi saling berhadapan. Kursi-kursi itu telah ditunggui, mereka adalah para mentri Kerajaan. Tepat di depan pintu dengan jarak kira-kira 10 meter berdiri kokoh sebuah kursi yang telah diduduki oleh sesosok Elf yang menawan. Ia tersenyum melihat kehadiran Austin, Gerald, Vlow dan Vav.
Dengan perlahan mereka berjalan meyusuri ruangan menuju kursi yang telah disediakan untuk mereka. Tampak semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu berdiri menyambut mereka sambil menebar senyuman.
“Apa yang mereka lakukan?” bisik Gerald.
“Apa kau tidak tahu, ini adalah salah satu wujud hormat mereka terhadap tamu mereka,” jawab Vlow setengah berbisik.
Mereka langsung dipersilahkan duduk. Tampak senyum terpajang di setiap sudut bibir Elf yang berada di ruangan itu. Diantara mereka ada juga yang berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya.
“Baiklah, saudara ku. Aku sengaja mengadakan pertemuan ini untuk memperkenalkan tamu terhormat kita yang datang dari negeri yang sangat jauh, yaitu dunia manusia. Mereka adalah keturunan Dua Prajurit yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk De Vlacoure. Dia Austin,” tutur Ratu sambil menunjuk kearah Austin yang menebar senyum.
“Gerald...”
“Salam kenal,” sahut Gerald.
“Vlow,”
“Kenalkan,”
“Dan yang paling kecil diantara mereka, Vav,” ujar Ratu memperkenalkan Vav kepada mentri-mentri kerajaan.
“Mohon bantuannya,” sahut Vav lembut sama seperti waktu dihari pertamanya di sekolah.
“Akhirnya setelah sekian lama, kalian datang juga,” tutur seorang mentri dengan jenggot kambing menggantung di dagunya, Lord Trivole.
“Kalau kami tidak salah kalian datang dengan sebuah buku bukan?” tanya mentri yang duduk di sebelah Queen Kidivra.
“Ya, kalian benar. Ini,” jawab Austin sambil menyodorkan buku De Vlacoure yang terlihat sangat kokoh.
Ratu meraih buku itu mengusapnya seperti mengusap anak yang tengah bersedih.
“Karena buku inilah De Vlacoure selamat dan kalian bisa sampai disini guna melakukan misi penting,” tutur Queen Kidivra meletakkan buku itu di atas meja.
“Aku rasa kami tidak siap untuk itu,” celetuk Austin putus asa memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
 Dengan senyuman hangat dan menenangkan Queen Kidivra memecahkan keputusasaan Austin, “Bukan tidak siap, tapi belum siap. Kami akan membantu kalian dalam mempersiapkan diri.”  
Austin, Gerald, Vlow dan Vav mengangguk dan tersenyum yang tanpa keraguan membingkainya.
“Kalau kalian datang dari buku ini menurut ramalan kalian akan membawa kekuatan besar,” tutur Queen Kidivra, “Makanya Julion memutuskan untuk membacakan mantra itu,”
“Kekuatan besar? Sepertinya tidak, menggunakan alat perang saja kami tidak bisa,” timpal Vlow.
“Kekuatan besar disini maksudnya berbeda. Yang kami maksud itu Varius,” sahut Paxton.
“Varius?” tanya Vav bingung.
“Varius itu adalah hewan legendaris De Vlacoure. Ia dihormati sekaligus ditakuti oleh hewan lain. Ia juga ditakuti oleh musuh kita,” jelas Queen Kidivra.
“Apa dia berpihak kepada kita?” tanya Gerlad.
“Ya, itu pasti. Apalagi jika masalah ini ada kaitannya dengan Guidoweld. Lagi pula jika kita mengatakan tentang Jolion dia pasti akan sangat membantu kita,” jawab Paxton.
“Sampai sekarang hanya Jolion yang bisa mengendalikan dan mengerti perasaannya, tapi sekarang dia sudah tidak...”
“Tentunya ada hal yang lebih penting kita bicarakan daripada cerita masa lalu, bukan,” potong Lord Walle yang tampak memperhatikan wajah Ratu yang tampak sedih.
“Kak, sebaiknya kau istirahat,” saran Paxton memegang tangan kakaknya.
“Kalau begitu silahkan lanjutkan,” tutur Ratu.
Semuanya memperhatikan langkah Ratu menuju pintu dengan tampang yang sedih. Sementara itu Austin, Gerald, Vlow dan Vav kebingungan tidak mengerti dengan yang baru saja terjadi. Begitu pintu tertutup Vlow yang sangat penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu ingin menanyakan tentang hal itu tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena Lord Trivole membuka mulutnya.
“Tentunya sebelum ke Guidoweld kalian singgah ke suatu tempat? tanya Lord Trivole.
“Ya, banyak tempat yang kami kunjungi tanpa sengaja dan terpaksa, sebelum kami bertemu dengan penduduk Desa Alvares, kami sempat terkatung-katung di sarang Ogre,” jawab Austin.
“Itu artinya, Dhomnail sudah manemukan kalian tentunya,” sahut Paxton cemas.
“Apakah itu pertanda buruk?” tanya Gerald.
“Tentu, tapi sepertinya dia tidak akan menyerang kita dalam waktu dekat, karena ia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan pasukannya setelah sekian lama, mungkin ia akan menambah atau menciptakan makhluk baru, dan letak Guidoweld kali ini tidak akan mudah di capai hanya dengan kaki-kaki Ogre yang berat,” jawab Paxton.
“Lagi pula, para Ogre telah menyerang Desa Al Vares sepeninggal kita, itu artinya Dhomnail sudah mulai bertindak,” tutur Vlow yang dari tadi hanya diam.
“Baiklah kita harus segera mempersiapkan pasukan kita,” perintah Paxton. Semua Mentri tampak menganggukkan kepala tanda setuju. Hanya dengan sebuah isyarat kepala dari Lord Trivole semua Mentri bangkit dari kursi mereka dan keluar dari aula pertemuan untuk mempersiapkan pasukan.
Suasana hening sejenak, Paxton tampak memikirkan apa yang akan ia lakukan terhadap tamu De Vlacoure.
“Well, berhubung kalian butuh tempat istirahat malam ini, tentu kalian ingin mengetahui dimana letak kamar kalian bukan?” tanya Paxton seraya bangkit dari kursinya.
“Ya, itu ide yang sangat bagus, dan apa kau bersedia membawa kami berkeliling?” ujar Vlow balik bertanya.
“Ayo,” ajak Paxton melangkahkan kaki.
Mereka berjalan pelan sambil mengamati ukiran dan lukisan yang terpajang di tembok kastil yang kokoh.
“Rasanya aku mengenal wajah yang ada di lukisan ini,” tutur Vav sambil menunjuk sebuah lukisan yang bersanding dua di dinding kastil. Kedua lukisan itu, menggambarkan sosok dua pasangan. Lukisan pertama melukiskan seorang wanita yang tengah duduk di kursi dan seorang pria tampan di belakangnya. Lukisan kedua menggambarkan seorang wanita yang menggenggam tangan suaminya yang berdiri disampingnya, lengkap dengan pedang di pinggangnya.
“Tentu kau mengenalnya, mereka adalah pahlawan-pahlawan De Vlacoure yang rela hidup di luar De Vlacoure demi De Valcoure. Tentunya mereka adalah leluhur kalian, Lord Armus dan Lord Coloneir,” jawab Paxton.
“Kalau begitu Vav, berarti kita adalah saudara yang sangat jauh,” tutur Gerald memperhatikan lukisan seorang wanita yang duduk di kursi dan suaminya berdiri di belakangnya.
“Apa kita memiliki leluhur yang sama?” tanya Vav.
“Ya, leluhurku Lord Armus,” jawab Gerald menoleh ke arah Vav yang tersenyum kepadanya.
“Austin, sepertinya ini adalah lukisan yang tidak jauh beda dengan yang ada di rumah kita bukan, hanya saja disini Lord Coloneir terlihat nyata dan mereka sungguh menawan,” puji Vlow.
“Tentu, karena lukisan ini dibuat dua hari sebelum terjadinya perang besar,” jawab Paxton memperhatikan lukisan sepasang Elf yang saling berpegangan tangan.
“Kemampuan manusia melukis sepertinya tidak sebagus kemampuan Elf ya,” tutur Austin.
“Ya, lukisan ini lebih bagus dan mereka seperti bernafas,” sahut Vlow.
“Apa kita akan melanjutkan perjalanan?” tanya Paxton memecah lamunan mereka.
“Oh tentu, apa masih ada lukisan lain?” tanya Vav.
“Tentu, disini ada ratusan lukisan. Disana ada lukisan King Jolion dan Queen Kidivra,” kata Paxton sambil menunjuk ke arah Aula besar.
“Lalu, dimana King Jolion sekarang?” tanya Austin yang penasaran karena tidak melihat King Jolion dari tadi.
“Dia...sudah lama meninggal,” jawab Paxton sedih memperhatikan lukisan yang terpajang di samping lukisan kakaknya.
“Astaga, pantas tadi Queen Kidivra begitu sedih. Kalau boleh tahu, apa penyebab kematiannya? Apa karena sakit?” tanya Vlow.
“Tidak, Jolion itu kuat, tidak mungkin dia meninggal karena sebuah penyakit. Tapi, dia memberikan nyawanya kepada rakyat De Vlacoure,” jawab Paxton menatap sesosok Elf yang memakai baju Raja dengan mahkota berdiam di kepalanya. Lukisan itu tampak tersenyum tulus melihat lima sosok Elf yang memperhatikannya.
“Memberikan nyawanya, apa maksudnya?” tanya Vav.
“Dia rela menukarkan nyawanya dengan keselamatan rakyat De Vlacoure dengan membacakan sebuah mantra yang sangat kuat,” jawab sebuah suara dari ujung ruangan.
Spontan mereka semua menoleh ke arah pintu yang tinggi dan mendapati sesosok Elf yang anggun berjalan kearah mereka. Ia tampak tersenyum sedih memandangi lukisan di dinding.


next week BAB VII part 1 :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar