Kamis, 30 April 2015

suatu hari - part II

Suatu malam di tahun 2011, gadis berseragam putih biru kembali bermimpi. Ia berada di salah satu tepian danau kampung halamannya. Bersama sang adik yang berseragam putih biru. Gadis berseragam putih abu-abu dan adik berseragam putih biru melangkah di atas lantai batu di depan pondok kecil di tepi danau. Langkah mereka terhenti kala seorang pemuda berbaju putih muncul dari sisi yang berbeda. Pemuda itu berkaca mata. Ia tersenyum. Dan gadis berseragam putih biru membalas senyumannya.
Pemuda berkacamata bertanya, “Apa yang kau lakukan disini?”
Gadis berseragam putih abu-abu menjawab, “Ini kampung halamanku.”
Pemuda berkaca mata mampir ke rumah gadis berseragam abu-abu. Bercengkrama, bercanda dan menonton televisi bersama. Dan lagi, gadis berseragam putih abu-abu terbangun. Ia kesal dan bahagia.
Suatu hari di tahun 2011 setelah mimpi itu datang. Gadis berseragam putih abu-abu kembali melihat pemuda berkaca mata. Lagi, dari kejauhan dan hanya punggungnya saja.
Suatu malam di tahun 2012. Gadis berseragam putih abu-abu kembali bermimpi. Gadis berseragam putih abu-abu berada di rumah salah satu keluarganya. Mereka mengadakan persiapan pesta. Teman-teman kecil gadis berseragam putih abu-abu juga ada di sana. Ikut membantu. Saat itu gadis berseragam putih biru tengah mendengarkan pengarahan salah satu keluarganya sambil memegang segulung selang. Tiba-tiba, seorang pemuda tidak dikenal meraih selang itu dan mengantikan posisi gadis berseragam putih abu-abu. Saat gadis berseragam putih abu-abu melihat wajah pemuda itu, ia mengenalnya. Dia adalah pemuda berkaca mata. Dengan baju kaus putihnya. Ia tersenyum kearah gadis bereragam putih abu-abu. Gadis berseragam putih abu-abu membalas senyumannya. Begitu juga dengan teman-teman kecil gadis berseragam putih abu-abu.
Setelah persiapan pesta telah selesai gadis berseragam putih abu-abu berbincang-bincang dengan pemuda berkaca mata. Di tepi sebuah danau. Saat cahaya matahari yang terik menimbulkan bayangan dedaunan yang melindungi tempat mereka bercengkrama.Pemuda berkaca mata bercerita tanpa henti. Gadis berseragam putih abu-abu mendengarkan tanpa letih. Mereka tertawa. Tertawa. Dan tertawa. Namun gadis berseragam putih abu-abu merasa ada yang aneh.
Suatu sore di hari yang sama di alam mimpi di tahun 2011, pemuda berkaca mata mengantar gadis berseragam putih abu-abu kembali ke rumahnya. Pemuda berkaca mata masih menceritakan kisahnya tanpa henti. Hingga gadis berseragam putih abu-abu disambut oleh teman-teman kecilnya. Pemuda berkaca mata pamit untuk pulang dan melambaikan tangan saat tubuhnya mulai menjauh dengan senyuman di pipinya. Teman-teman kecil gadis berseragam putih abu-abu bertanya dengan antusias tentang apa yang mereka bicarakan. Gadis berseragam putih abu-abu menjawab sambil tersenyum. Namun hatinya terasa pedih. Dan ia ingin menangis. Namun ia tersenyum kearah teman-teman kecilnya.
Suatu pagi di tahun 2011. Gadis berseragam putih abu-abu terbangun dari mimpinya. ia tidak kesal dan tidak bahagia. Ia hanya merenung dan merenung. Apa maksud dari mimpinya?
Suatu hari di tahun 2013. Gadis berseragam putih biru telah tumbuh menjadi gadis bersepatu kets. Gadis bersepatu kets bertemu teman-teman baru. Bertemu bahasa baru. Bertemu tanah baru. Namun dengan langit yang tidak baru.
Gadis bersepatu kets tidak pernah lagi memimpikan Pemuda berkaca mata. Ia tidak pernah lagi melihat punggung pemuda berkaca mata. Ia tidak pernah lagi melihat dari kejuahan. Ia tidak pernah lagi mengintip dari balik  bahu teman-temannya. Ia telah lupa walau ia tidak melupakan.
Suatu malam di bulan maret di tahun 2015. Setelah sekian lama, gadis bersepatu kets kembali bermimpi. Si pemuda berkaca mata datang menghampirinya dan sambil tersenyum menyapa gadis bersepatu kets. Menanyakan, “bagaimana kabarmu?” dengan wajah polos seoalah tidak pernah terjadi apa-apa. Dan sigadis bersepatu kets hanya memandangnya dengan bingung.
Suatu pagi setelah mimpi itu datang di tahun 2015. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Berjalan ke kamar mandi dan membasuh muka. Melihat wajahnya di kaca yang tertempel di dinding. Dan bertanya, “Apa maksudnya?”
Pertanyaan itu masih berlum terjawab hingga akhir bulan maret di tahun 2015.

Gadis berbaju hitam mengakhiri ceritanya dan menunggu tanggapan dari gadis berbaju abu-abu dan gadis berbaju putih.  Mereka tertegun, memperhatikan wajah gadis berbaju hitam yang menunduk memperhatikan coretan-coretan yang baru saja ia buat di atas meja. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati dua pasang mata memandangnya. Dua pasang mata itu agak sembab. Ada bekas usapan di bawahnya.
Gadis berbaju hitam tertawa. Tidak menduga kisahnya akan membuat dua pasang mata meneteskan sebutir air mata. Gadis berbaju abu-abu dan gadis berbaju putih juga ikut tertawa. Tidak menyangka kisah gadis berbaju hitam akan membuat sepasang mata mereka mengeluarkan sebutir air mata.
Gadis berbaju hitam berkata, “Terlalu menyedihkan untuk di ceritakan bukan?”
Gadis berbaju abu-abu menjawab, “Tapi memberi sebuah semangat, tidak selamanya kita berdiri di tempat yang sama,”
Gadis berbaju putih manambahkan, “Tapi sungguh indah,” sambil menebar senyuman.

Gadis berbaju hitam, gadis berbaju abu-abu dan gadis berbaju putih tersenyum bersama.

Kamis, 09 April 2015

Suatu hari - Part I

Suatu hari di penghujung bulan maret, tiga orang sekawan tengah berada di dalam kelas. Gadis berbaju abu- abu sibuk dengan laptopnya. Gadis berbaju putih berdiri di samping gadis berbaju abu-abu. Memantau dan membimbing gadis berbaju abu-abu. Gadis berbaju hitam berjalan di antara teman-teman yang juga disibukkan dengan laptop mereka. Kemudian gadis berbaju abu-abu memanggil gadis berbaju hitam. Iapun langsung menuju gadis berbaju abu-abu dan mengikuti arah jari gadis itu. Ia meminta pendapat atas karya yang sedang ia kerjakan. Gadis berbaju hitam mengomentari dan sedikit mengarahkan.
Tiba-tiba, gadis berbaju abu-abu berbisik, “Apa kau menyukai seorang pria?”
Gadis berbaju putih menambahkan, “Kenapa kau tidak pernah bercerita? Apa kau baik-baik saja?”
Gadis berbaju hitam menjawab dengan tegas, “Tentu saja aku baik-baik saja!” gadis berbaju hitam menarik nafas, “Dulu aku pernah mengalaminya, hanya terlalu malu untuk menceritakan, karena terlalu menyedihkan.”
Gadis berbaju abu-abu memberi umpan, “Apa kau dicampakkan?”
Gadis berbaju putih menambahkan, “Apa dia bersama dengan temanmu?”
Gadis berbaju hitam membantah, “Tentu saja tidak! Tentu saja Tidak!”
Gadis berbaju abu-abu dan berbaju putih melemparkan pertanyaan, “Lalu?”
Gadis berbaju hitam memperhatikan wajah kedua temannya dan menjawab, “Baiklah, aku akan menceritakannya dengan cara yang berbeda. Pasang kuping kalian, simak dengan seksama,” kata gadis berbaju hitam, “Suatu hari di tahun 2006….”

Suatu hari di tahun 2006, seorang gadis berseragam merah putih keluar dengan gontai dari ruangan kelasnya yang dipenuhi bangku dan meja berwarna coklat. Lapangan berwarna hijau ia tapaki satu persatu dengan santai. Anak tangga di ujung lapangan ia turuni dengan hati-hati. Teman-teman yang tidak ia ketahui nama mereka dilewatinya dengan menebar senyuman sesekali. Gerobak-berobak makanan yang selalu ia hampiri hanya dilewatinya sambil menggenggam erat uang recehnya. Menahan selera demi sampai di rumah yang dipenuhi makanan lezat.
Ia menaiki sebuah mobil berwarna kuning yang selama enam tahun telah menjadi mobil antar jemputnya. Pengemudinya sangat baik. Bersedia dibayar 500 perak setiap kali ada penumpang yang turun di depan rumah mereka. Si gadis berseragam merah putih duduk disebelah kaca jendela yang terbuka. Menyaksikan kendaraan roda empat yang bukan miliknya lalu-lalang di depan bola matanya yang liar. 
Ia tertegun sejenak, saat ia melihat empat anak laki-laki berjalan melintasi persimpangan tepat di samping mobil antar-jemputnya. Mereka masih mengenakan setengah seragam sekolah mereka. Celana berwarna biru tua dan atasan yang bukan seragam sekolah. Mereka telihat seperti empat anak laki-laki yang hendak menuju sekolah kedua mereka.
Awalnya ia hanya memperhatikan empat anak laki-laki itu sebagai empat orang anak laki-laki. Hingga ia melihat seorang anak laki-laki berkacamata mengenakan baju kaus merah muda. Ia tertegun cukup lama. Anak laki-laki itu menarik perhatiannya. Tapi hanya itu. Anak laki-laki itu hanya seorang anak manusia yang memiliki wajah yang lebih rupawan dari teman-temannya. Itu saja.
Mobil antar-jemput gadis berseragam sekolah itu menyala dan maju dengan perlahan. Empat anak laki-laki itu tertinggal di belakang mobil antar-jemputnya.

Suatu hari ditahun 2007, gadis berseragam merah putih telah tumbuh menjadi gadis berseragam putih biru. Mobil antar-jemputnya tidak lagi berwarna kuning. Kini mobil antar-jemputnya berwarna-warni. Kadang merah, kadang hijau, kadang biru. Kini uang yang selalu ia genggam bukanlah receh 500, namun secarik kertas bertuliskan 1000 rupiah.
Disuatu hari yang tidak terduga, ia bertemu dengan anak laki-laki berkaca mata. Kali ini dengan seragam putih biru. Namun tetap saja menarik perhatiannya. Gadis berseragam putih biru tanpa sadar tersenyum. Bahagia mungkin. Kemudian dia kembali murung. Anak laki-laki berseragam putih biru itu satu tingkat diatasnya. Cukup jauh untuk diraih dengan bola matanya yang masih liar. Karena itu terkadang ia hanya bisa melihat punggung anak laki-laki berseragam putih biru itu saja, atau mengambil celah kecil di balik bahu temannya.
Suatu malam yang dingin, ia mengirimkan pesan kepada teman kecilnya. Menceritakan kisahnya. Dan temannya terenyum-senyum bahagia.
Suatu siang yang cerah, perkumpulan yang diikuti gadis berseragam putih biru berkumpul di lapangan pasir bersemen. Hendak mendiskusikan suatu hal. Si gadis berseragam putih biru antusias. Tidak disangka, anak laki-laki berseragam putih biru berada di perkumpulan yang sama. Tidak disangka.
Dari jauh, seorang gadis berseragam putih biru berbisik dengan suara yang keras kearah teman laki-laki berseragam putih birunya. Ia berkata, “Bukankah dia yang menyukai teman kita?” bisiknya sambil memandang kearah gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru itu memerah, namun berlagak tidak peduli.
Suatu menit di hari yang cerah, gadis berseragam putih biru berada di kamar yang dipenuhi air mengalir. Gadis itu mencuci tangan. Ia hendak keluar. Langkahnya terhenti. Gadis berseragam putih biru yang tadi berbisik dengan teman laki-laki berseragam putih birunya masuk. Ia bertanya, “Apa kau gadis yang menyukai teman berkaca mata kami?”
Gadis berseragam putih biru panik, ia menjawab, “Tidak, bukan. Siapa yang mengatakannya? Aku pergi dulu,” dan gadis berseragam putih biru keluar dengan muka merah. Malu dan marah. Ia melangkah tergesa-gesa. Menemui teman kecilnya dan bertanya. Teman kecilnya membantah. Dan bersumpah. Gadis berseragam putih biru percaya dan tidak berfikiran buruk.
Suatu hari di bulan november tahun 2007. Perkumpulan gadis berseragam putih biru mengadakan acara makan bersama. Untuk mepererat ikatan persaudaraan yang terjalin tanpa hubungan darah. Untuk mengisi waktu jeda, diadakan pertunjukan dadakan. Di pilih secara acak. Secara acak. “Bagaimana kalau adik dari teman berkaca mata kita saja?” tunjuk teman anak laki-laki berkacamata kearah gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru kalut. Dan bertanya, “Apa maksudnya?” dalam hatinya.
Suatu hari yang cerah ditahun 2007, perkumpulan gadis berseragam putih biru berkumpul kembali. Gadis berseragam putih biru hanya menunduk menyembunyikan muka merahnya. Anak laki-laki berkaca mata berdiri di depannya. Berbincang dengan teman si gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru hanya bisa menunduk dan menunduk.
Suatu hari ditahun 2008, perkumpulan gadis berseragam putih biru mengikuti perlombaan. Gadis berseragam putih biru, teman kecil dan beberapa teman berseragam putih birunya menjadi perserta perlombaan. Dan lagi, anak laki-laki berkaca mata juga menjadi peserta. Tingkatan anak laki-laki berkacamata berada satu tingkat di atas gadis berseragam putih biru. Dan mereka akan selalu berada di posisi yang sama hingga perlombaan berakhir. Sepanjang hari di tahun 2008 adalah hari yang mendebarkan bagi gadis berseragam putih biru.
Sepanjang hari di tahun 2009. Gadis berseragam putih biru tidak lagi dapat melihat anak laki-laki berkaca mata. Anak laki-laki berkaca mata telah menjadi pemuda berkaca mata dengan seragam putih abu-abu. Sesekali gadis berseragam putih biru berharap melihat pemuda berkaca mata keluar dari balik pintu rumahnya yang selalu dilewati gadis berseragam putih biru dengan mobil antar jemputnya. Walau ia tahu, pemuda berkaca mata tidak lagi mendiami tempat yang sama. Tapi gadis berseragam putih biru selalu berharap.
Suatu malam di tahun 2010. Gadis berseragam putih biru telah berubah menjadi gadis berseragam putih abu-abu bermimpi. Gadis itu bertemu dengan pemuda berkacamata. Pemuda itu tersenyum kearahnya dan menyapa. Dan gadis berseragam putih abu-abu itu terbangun. Dia kesal dan bahagia. Dalam dunia nyata tidak pernah bertemu dalam mimpi sudah cukup.

Suatu hari di tahun 2010 setelah mimpi itu datang, gadis berseragam putih abu-abu melihat pemuda berkacamata. Lagi, dari kejauhan dan hanya punggungnya saja.

to be continued :)

Senin, 10 November 2014

De Vlacoure BAB VII - part I



Ratusan Tahun yang Lalu

Ratusan tahun yang lalu, De Vlacoure hidup sangat damai di bawah pemerintahan Jolion. Dia selalu memperhatikan rakyatnya. Jolion sangat disayangi dan dihormati oleh rakyat De Vlacoure. Tapi, sepertinya ada yang luput dari penglihatan Jolion. Orang kepercayaannya ternyata mengkhianatinya. Dan menyerang De Vlacoure. Selama ia melayani Jolion, ia telah menyiapkan pasukan yang besar. Sehari sebelum perang, Jolion mendapat pesan bahwa Guidoweld akan diserang. Karena tanpa persiapan yang matang Jolion meminta bantuan kepada beberapa kerajaan atas saran kakitangan Jolion. Tapi keesokan harinya ternyata yang menyerang De Vlacoure adalah kakitanganya itu sendiri. Jolion tidak percaya dengan apa yang disaksikannya saat Kakitangannya sendiri menyerang De Vlacoure. Kaki tangan Jolion memanfaatkan kepercayaanya untuk merebut De Vlacoure. Awalnya Jolion menyangka itu hanya main-main, sampai kaki tangannya itu mulai menyakitiku, Varius dan semua rakyat De Vlacoure. Jolionpun mulai membalas serangan. Tapi ternyata kakitangannya itu lebih kuat dan telah menjadi sosok penyihir. Jolion terdesak, De Vlacoure benar-benar terdesak. Di saat De Vlacoure benar-benar akan hancur, Jolion tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dan pada akhirnya ia memutuskan untuk membacakan mantra pelindung yang benar-benar ampuh. Awalnya kami cukup puas dengan gagasan itu. Disaat semua orang bahagia dengan keberhasilan Jolion membacakan mantra ampuh itu, mantra yang berhasil menjauhkan kakitangan dan pasukannya dari De Vlacoure. Kami menyadari ada sesuatu yang aneh. Kami tidak mendengar suara Jolion maupun dua orang prajurit yang berdiri di sebelah Jolion disaat ia mambacakan mantra itu. Alangkah terkejutnya kami begitu melihat tubuh Jolion yang lemah terkapar di tanah dan sebuah buku terbaring di samping tubuhnya. Kami langsung menghampirinya. Disaat kritis ia berkata, bahwa De Vlacoure akan aman hingga keturunan De Vlacoure datang. Ia juga meminta kami untuk menghimpun kekuatan hingga keturunan itu datang. Kami sempat menanyakan tentang keberadaan dua prajurit yang tadi berdiri bersamanya dan ternyata dua prajurit itu diutus Jolion untuk pergi ke dunia manusia dengan tujuan mereka akan kembali dengan kekuatan besar. Tapi belum sempat Jolion menyelesaikan penjelasannya, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya sambil menyerahkan sebuah buku mantera yang terbuka kepadaku. Begitu aku baca, alangkah terkejutnya aku begitu membaca keterangan mantra yang ia baca. Mantra yang ia baca adalah mantra pemindah yang sangat ampuh, De Vlacoure selamat dari kakitangannta karena Jolion telah memindahkan De Vlacoure,” jelas Queen Kidivra panjang lebar.
Mereka tersenyum mendengar cerita Queen Kidivra, “Wow, dia benar-benar Raja yang hebat. Aku bersyukur bisa mengetahui jasanya dan menjadi rakyat De Vlacoure,” tutur Gerald kagum.
“Ya, benar-benar pemimpin yang mengorbankan nyawa demi kesalamatan rakyat,” tambah Austin.
“Sejak saat itulah, waktu di De Vlacoure jadi kacau,” cetus Paxton.
“Kacau? Maksudnya?” tanya Vlow.
“De Vlacoure dipermainkan oleh waktu, kadang terjadi malam, kadang tidak ada siang, atau siang yang terlalu pendek, malampun kadang terasa bertahun-tahun. Kami bahkan tidak tahu pasti sudah berapa lama waktu berlalu sejak perang itu. Sulit menjelaskan,” jawab Queen Kidivra.
“Dan, beberapa hari yang lalu kalian datang, waktupun kembali seperti semula,” tambah Paxton.
“Rakyat De Vlacoure benar-benar mangharapkan kalian untuk melawan Dhomnail,”
“Tunggu, ada yang menjanggal  di pikiranku. Apakah disaat terjadi perang besar, Varius tidak membantu?” tanya Vav.
“Oh tidak, dia sangat berperan dalam perang itu,” jawab Ratu.
“Lalu dimana ia sekarang?” tanya Vav lagi.
“Sampai sekarang kami tidak tahu dimana pastinya, mungkin di tempat yang sangat jauh. Kami menyuruhnya untuk menenangkan diri setelah kepergian Jolion, karena kami tidak sanggup melihat penderitaannya, kadang ia masih menganggap kalau Jolion masih hidup. Bagitu besar kontak batin diantara mereka,” jawab Queen Kidivra.
“Apa dia tidak pernah mengunjungi Guidoweld?” tanya Gerald.
Queen Kidivra diam memperhatikan lukisan suaminya yang telah lama meninggalkannya.
“Kami tidak pernah melihatnya, tapi penduduk ada yang pernah melihatnya melintas di tengah malam,” jawab Paxton.
“Mungkin dia bermaksd untuk datang namun mengurungkan niatnya karena jika aku melihatnya, aku akan sedih karena teringat akan Jolion,” tambah Queen Kidivra kembali memperhatikan lukisan suaminya.
Mereka terdiam dengan mata tertuju ke arah lukisan yang terpajang gagah di depan mereka. Memperhatikan tiap detail yang terlukis dan ikut tersenyum melihat senyuman yang terlukis di dalam lukisan itu.
“Kalian sudah melihat kamar kalian?” tanya Queen Kidivra memecahkan lamunan mereka.
“Belum,” jawab Vav.
“Kalau begitu, ayo!” ajak Ratu seraya melangkahkan kakinya menuju tangga yang ada di sudut ruangan.
Mereka mengikuti langkah Queen Kidivra yang anggun sambil kembali memperhatikan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding Kastil. Kastil itu sangat besar, dihiasi dengan kaca jendela yang sangat bersih, sehingga cahaya matahari dapat menembusnya dan menerangi tiap ruangan. Queen Kidivra dan Paxton secara bergantian memperkenalkan mereka dengan ruangan-ruangan yang mereka lalui layaknya pemandu museum.
“Vlow_Vav, ini akan menjadi kamar kalian,” tutur Paxton sambil membuka sebuah pintu yang menuju sebuah kamar. Mereka memasuki kamar secara bergantian, meneliti tiap sudut dengan perasaan takjub terpancar di mata mereka.
Ruangan itu cukup besar untuk ukuran sebuah kamar, dengan jendela-jendela terpampang indah di dinding kastil. Lilin tergantung indah di tempatnya. Lilin itu akan hidup secara otomatis jika ruangan berubah gelap. Ranjang, lemari, meja rias, kursi, lukisan, dan perabotan lainnya mengisi ruangan yang besar itu. Karpet berbulu domba membentang di tengah-tengah ruangan. Ruangan itu terkesan hangat.
“Kalau kamar seperti ini, kami tidak akan keluar,” tutur Vav sambil membuka pintu beranda.
“Disini kalian bisa melihat matahari terbenam. Kalian akan rugi jika melewatkannya,” ujar Ratu sambil menunjuk ke arah gunung tepat di depan mereka.
Mereka melanjutkan ke kamar sebelah, yang akan di tempati oleh Austin dan Gerald.
Kamar ini diisi dengan dua ranjang terpisah, sebuah cermin besar, lamari, kursi dan tentu saja sebuah lukisan yang indah. Ruangan ini menghadap ke halaman belakang Kastil yang di tumbuhi dengan pohon-pohon yang rindang dengan sebuah paviliun di sudut taman.
“Setiap malam kalian akan melihat betapa indahnya taman belakang ini,” tutur Ratu seraya tersenyum lembut, “Taman ini adalah tempat favorit Jolion.
“Siang saja sudah cukup indah,” puji Austin menghela nafas.
Selanjutnya mereka memasuki ruangan yang dipenuhi dengan ribuan buku, rak-rak tersusun rapi, tak ada debu yang menempel. Disini tak banyak jendela, hanya ada satu sampai tiga jendela kecil yang terpajang di dinding kastil, tidak cukup untuk menerangi ruangan sebesar itu. Namun pada langit-langit perpustakaan ada lubang besar berbentuk lingkaran yang di tutupi dengan kaca yang cukup tebal. Cahaya matahari langsung menerobos kaca itu dan menerangi setiap sudut yang ada di perpustakaan.
“Perpustakaan yang besar,” tutur Vlow.
“Ya, perpustakaan ini adalah salah satu tempat favoritku,” sahut Queen Kidivra sambil merentangkan tangannya.
“Buku apa saja yang ada disini?” tanya Vav sambil berjalan menelusuri rak-rak yang berdiri kokoh.
“Banyak, buku mantra, sejarah, profil para pendiri De Vlacoure, dan tentu saja buku tentang hewan-hewan menakjubkan yang ada di De Vlacoure,” jawab Queen Kidivra sambil menoleh ke arah Vav.
Wajah Vav tampak puas dan kagum.
“Tapi tentunya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membuka buku-buku itu, karena masih ada yang ingin kami perlihatkan pada kalian,” tutur Paxton menoleh ke arah Queen Kidivra.
Queen Kidivra melangkahkan kakinya dengan anggun, tak terdengar suara hentakan kakinya, seolah-olah ia memiliki permukaan kaki yang lembut layaknya kucing. Mereka melewati lukisan demi lukisan, ruangan demi ruangan, sampai akhirnya mereka keluar dari kastil dan berhenti di depan sebuah Istal kuda. Disana ada banyak kuda yang tengah merumput. Mereka tampak anggun dan bijaksana.
“Waktunya memilih penunggang,” ucap Queen Kidivra seolah-olah berbicara kepada kuda yang tengah mengunyah makanan mereka.
Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan Queen Kidivra, kuda-kuda itu mengangkat kepala mereka dan memperhatikan sosok-sosok yang belum pernah mereka temui. Beberapa diantara mereka ada yang melanjutkan merumput, tidak peduli. Namun ada juga diantara mereka yang memperhatikan sosok asing itu, bahkan ada yang melangkah mendekat.
“Apa maksudnya memilih penunggang?” tanya Vlow.
“Lihat saja, kau akan mengerti,” sahut Paxton memperhatikan empat ekor kuda yang tengah berjalan menuju mereka.
Begitu sampai di depan Austin, Gerald, Vlow dan Vav, kuda-kuda itu membungkuk hormat.
“Mereka mununggu kalian untuk membalas,” bisik Paxton.
Dengan sedikit bingung Vlow membungkukkan badannya dan meminta teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Dengan serentak mereka membungkukkan badan mereka dan kuda-kuda itu mengangkat kepala mereka.
Begitu hormat mereka dibalas, mereka langsung menghampiri sosok yang ada di depan mereka, melekatkan wajah mereka dengan wajah orang yang ada di depan mereka.
“Itu artinya mereka telah memilih kalian sebagai penunggang mereka. Austin dengan kuda keturunan Caspian, sama dengan kuda milik Paxton yang gagah berani. Gerald kuda keturunan bangsawan yang setia. Vlow kuda putih yang bijaksana jenis yang sama dengan ku, dan kuda keturunan bangsawan coklat yang anggun memilih Vav. Mereka akan setia menjadi tunggangan kalian hingga akhir hayat mereka,” ujar Ratu menjelaskan.
“Dan sebaiknya kalian naik ke punggung mereka, mereka sudah tidak sabar ingin berbicara dengan kalian,” tutur Paxton.
“Mereka bisa berbicara?” tanya Vav kagum.
“Tidak, hanya kepada penunggangnya saja mereka akan berbicara. Yah..bisa dibilang bicara dari hati ke hati. Kalian tidak akan mengerti kalau tidak segera mencobanya,” usul Paxton.
Mereka menerima usulan Paxton dan bergegas menunggangi kuda-kuda mereka.
“Apa kalian dapat merasakannya?” tanya Queen Kidivra.
Dengan senang dan kagum mereka mengangguk pelan.
“Namanya Roowsen,” tutur Vav sambil memejemkan matanya.
“Aku akan sangat menyukaimu Aleister,” ujar Vlow.
Algeibra? Kau seekor betina?,” sahut Gerald.
“Ragolius, itu terdengar sangat berani,” kata Austin sambil mengusap kepala kudanya.
“Oke, sepertinya semua sudah sangat akrab dan waktunya berkeliling,” ajak Paxton sambil menaiki kuda hitamnya. ”Apa kau ikut?”
“Sebaiknya tidak, ini waktu kalian bersenang-senang, aku tidak ingin mengganggu acara anak muda,” elak Queen Kidivra.
“Baiklah, apa kau keberatan jika aku mengumumkan acara malam ini?” tanya Paxton.
“Tidak, itu akan semakin bagus dan akan banyak gadis yang akan datang jika kau yang mengundang,” sahut Queen Kidivra.
“Ayolah, jangan singgung-singgung masalah itu lagi, bukan waktunya untuk membicarakan hal itu,” ujar Paxton menepis udara di depannya.
Mereka berjalan mengikuti arah Paxton menuntun mereka, rumah demi rumah mereka lewati. Anak-anak berlarian kesana-kemari, para dewasa saling bercengkrama satu sama lain, para gadis tampak memperhatikan Paxton, Austin dan Gerald yang menawan hati mereka. Semua aktifitas terhenti begitu Paxton mengeluarkan suaranya dan turun dari kuda.
“Aku ingin minta perhatian kalian sebentar,” kata Paxton dengan suara yang lantang. “Pagi ini kita kedatangan tamu spesial yang datang dari negeri jauh, mereka adalah para keturunan dua Ksatria kita. Dan hari ini mereka bersedia menemaniku untuk menemui kalian,” tutur Paxton sambil menoleh kearah Austin, Gerald, Vlow dan Vav secara bergantian. Merekapun membalasnya dengan anggukan kecil atas petunjuk dari kuda-kuda mereka.
Semua penduduk tampak bertepuk tangan bahagia.
“Kami sudah lama menunggu kedatangan kalian,” tutur sesosok pria dengan tumpukan sayuran di depannya.
“Dan untuk itu, malam ini Ratu akan mengadakan sedikit pesta untuk menyambut kedatangan mereka, dan kalian diundang untuk meramaikan pesta malam ini. Jadi gunakan pakaian terbaik yang kalian punya, dan jangan sampai terlewatkan,” jelas Paxton sambil menaiki kudanya.
Semua penduduk bertepuk tangan, sambil bersorak.
“Kami tidak tahu ada pesta malam ini,” tutur Austin dalam perjalanan pulang ke istana.
“Tentu, kalau kami memberitahu kalian, tentu tidak ada kejutan, dan itu bukan kejutan namaya,” sahut Paxton sambil tertawa lembut.
“Tapi kami tidak memiliki pakain disini,” tutur Vlow.
“Apa gunanya kami meletakkan peti di kamar kalian kalau bukan untuk diisi dengan pakaian,” jawab Paxton.


to be continue :)

Sabtu, 18 Oktober 2014

De Vlacoure BAB VI - part III



“Gerald, bangun! Kita harus berangkat sekarang,” ujar Vlow berusaha membangunkan Gerald ketika jam masih menunjukkan pukul tiga pagi.
“Apa, kalian serius ingin pergi sekarang, matahari saja belum muncul, beri aku lima menit lagi,” tutur Gerald dan ia kembali bersembunyi dibalik selimutnya.
“Gerald, ayolah. Kita tidak bisa menundanya. Alvares diserang dan Ogre-ogre itu pasti akan mengejar kita,” tutur Vlow berjalan kearah ranjang Austin, “Austin, bangun! Kita harus berangkat sekarang. Sarapan telah di siapkan. Begitu kita selesai menyantapnya kita akan berangkat,” tambahnya sambil berjalan menuju pintu, “Ayolah! Kita tidak punya banyak waktu. Pakaian kalian tergantung dibalik pintu!” soraknya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan.
“Kita harus bergerak cepat sebelum pasukan Dhomnail mengejar kita. Kita akan mengambil jalan lurus menuju Guidoweld agar kita sampai dengan cepat,” tutur Skriel melukis garis lurus dengan jarinya di atas peta.
“Tapi bagaimana jika mereka berhasil menyusul kita? Dan kita tidak memiliki tempat untuk bersembunyi atau mempertahankan diri,” sanggah Lary menoleh kearah Skriel yang tampak berfikir.
“Mereka tidak akan bisa menyusul kalian,” ujar Acquezis menuangkan air minum ke dalam setiap gelas yang ada di atas meja. Ia tampak sangat rapi pagi ini walaupun ia telah menyiapkan makanan untuk tamu-tamunya.
“Bukankah mereka telah mencapai Alvares ketika kami telah setengah jalan menuju Guidoweld? Ditambah lagi waktu kami terhenti disini, mereka memiliki kesempatan untuk menyusul kami,” sanggah prajurit yang duduk di sebelah Skriel. Tepat saat itu Austin dan Gerald berjalan menuruni tangga.
“Desa ini akan menahan mereka,” sahut Acquezis, “Aku sangat mengenal Eroll dan Drioll, mereka adalah jenderal di desa ini, aku akan meminta mereka untuk menahan Ogre-ogre itu.”
“Mereka akan percaya? Mereka bahkan tidak mengetahui keberadaan kami disini,” tutur Vlow mulai ikut berpartisipasi dengan rapat kecil-kecilan itu.
“Aku akan menceritakan semuanya kepada mereka. Dan aku akan memastikan bahwa mereka akan percaya bahkan sebelum kalian sempat meninggalkan desa ini terlalu jauh,” jawab Acquezis sangat yakin.
Skriel berfikir sejenak, “Kalau begitu aku akan mempercayakannya kepadamu. Setelah sarapan selesai kami akan langsung meninggalkan desa ini,” tutur Skriel menggulung lembaran peta dan meletakkannya di atas perapian yang sedang menyala.
“Serahkan saja padaku,” sahut Acquezis.
Setelah keputusan telah diambil mereka langsung meyantap sarapan mereka dalam diam. Sementara itu Acquezis membantu mereka mempersiapkan bekal yang akan mereka bawa selama perjalanan. Kuda-kuda tengah menunggu mereka di halaman. Memakan rumput yang disedikan untuk mereka agar stamina mereka cukup untuk mengantarkan penunggang mereka agar sampai di tujuan. Begitu sarapan telah habis dan perbekalan mereka telah siap mereka berpamitan kepada Acquezis dan berkuda keluar desa Aston menuju Guidoweld. Acquezis langsung menemui Eroll dan Drioll dan menjelaskan apa yang tengah terjadi dan meminta mereka untuk menahan pasukan Dhomnail. Berkat keliahaian Acquezis dalam menjelaskan akhirnya mereka setuju dan langsung membentuk pasukan untuk menyambut kedatangan pasukan Dhomnail yang semakin mendekat.
Skriel dan pasukannya melaju dengan cepat menuju Guidoweld mengingat Ogre-ogre yang sedang mengejar mereka. Saat langit barat telah berubah warna menjadi biru tua mereka telah meninggalkan desa Aston bermil-mil jauhnya. Itu tidak membuat mereka berleha-leha. Mereka semakin memacu kuda mereka dengan cepat karena merasa bahaya semakin dekat di belakang mereka. Benar saja, ketika matahari telah menampakkan diri seutuhnya pasukan Dhomnail berhasil melewati sungai Ersia. Mereka tampak sangat kacau. Darah menguncur dari kaki mereka namun mereka tidak mempedulikannya. Mereka telah diperintahkan untuk menghentikan buruan mereka dan membawanya hidup-hidup jika tidak mereka sendiri yang akan mati. 
Matahari semakin meninggi ketika semua Ogre itu sampai di desa Aston. Pegejaran mereka terhenti karena ada hambatan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Puluhan panah menghujani mereka ketika hendak melewati perbatasan Aston. Namun mereka tetap tidak menyerah. Mereka mengayunkan kapak mereka untuk melawan segala hal yang menghambat misi mereka. Para prajurit Aston berjuang mati-matian demi melindungi Guidoweld. Mereka tidak peduli berapa banyak Ogre yang mereka lawan. Mereka tidak peduli kapak-kapak itu menyayat tubuh mereka. Mereka juga tidak peduli berapa banyak darah yang tertumpah di desa mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah keselamatan para Keturunan De Vlacoure yang selama ratusan tahun mereka tunggu. Para keturunan De Vlacoure yang nantinya akan menentukan masa depan mereka.
Matahari menempati tahtanya di puncak tertinggi saat Ogre terakhir di kalahkan. Prajurit Aston tidak membiarkan satu Ogrepun berhasil melewati desa mereka. Kemenangan mereka dapatkan. Dan mereka siap menerima perintah selanjutnya dari Guidoweld. Tidak sedikit dari prajutit Aston yang gugur dalam misi itu. Namun kematian mereka bukanlah sesuatu yang sia-sia. Mereka mati dalam keadaan terhormat dan keluarga mereka mengikhlaskan kematian itu demi masa depan mereka kelak.
 “Kau bilang kalian mendapat kabar bahwa Ogre datang menyerang Alvares, siapa yang mengabarkan?” tanya Gerald  menuntun kudanya untuk berjalan lebih cepat karena tertinggal dari yang lain saat mereka melewati sebuah sungai kecil.
“Seekor elang datang dan memberikan sebuah batu yang berisi pesan. Begitu Skriel menggenggam batu itu, keluar asap dan membentuk tubuh Tetua. Bayangan tetua itu mengatakan bahwa Desa telah diserang dan Ogre-Ogre itu menyusul kita,” jawab Vlow.
“Kita sudah hampir sampai,” tutur Skriel saat perbukitan panjang terbentang di depan mereka.
Apa kau yakin?”  tanya Gerald sedikit ragu.
“Ya, kau lihat pohon besar itu?” tanya Skriel menunjuk ke atas sebuah bukit, “Itu adalah tanda kalau kita sudah dekat dengan Guidoweld. Ayo, banyak yang menunggu kalian di sana,” tambah Skriel memberi semangat.
Laju kuda mereka semakin cepat saat mereka berusaha mendaki perbukitan. Bukit itu tidak begitu tinggi dan tidak terlalu terjal. Saat mereka sampai di puncak bukit mereka berhenti sejenak di samping pohon besar yang Skriel katakan. Di depan mereka tampak sebuah kastil kokoh berdiri di atas tanah. Bendera kerajaan berkibar di setiap menaranya. Di sebelah kanan kastil mengalir sebuah sungai kecil yang mengarah ke kiri kastil dan mengalir memasuki hutan kecil yang berada di dekat bukit. Airnya begitu tenang dan jernih. Tumbuh-tumbuhan tumbuh liar namun tertata rapi di tepian sungai. Ratusan meter di depan mereka berdiri rumah-rumah kecil yang tertata rapi dengan atap rumbianya.
“Welcome,” tutur Skriel yang melihat tamu De Vlacoure begitu terpesona.
“Aku pikir yang seperti ini hanya ada di film-film,” ucap Vav tak berkedip sedikit pun. Itulah pendapat bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Guidoweld.
Mereka kembali melaju kuda mereka munuju Guidoweld yang sesungguhnya. Mereka menuntun kuda mereka dengan pelan ketika menyusuri rumah penduduk yang tersusun rapi. Para penduduk memperhatikan mereka dengan penuh tanda tanya. Ketika melewati sebuah pasar, Austin, Gerald, Vlow dan Vav terpesona melihat keceriaan anak-anak, transaksi jual beli, suara kambing, ayam, semua menyatu disini. Dari wajah penduduk terlukiskan bahwa mereka hidup damai dan sejahtera. Tidak ada wajah yang bersedih, semuanya tersenyum dan tertawa.
Mereka menuntun kuda mereka menuju kastil Ratu yang terletak di atas bukit kecil. Jalanan mendaki mereka tempuh dengan santai. Kekhawatiran lenyap ketika mereka melihat keceriaan yang dilontarkan penduduk-penduduk yang menyambut mereka dengan senyuman. Semua pintu dan jendela disetiap rumah terbuka. Dari dalam rumah keluar Elf yang ingin melihat kedatangan mereka. Wajah-wajah yang ingin tahu muncul dari balik jendela. Mereka berbisik satu sama lain dan menggangguk setuju.
Kastil telah terlihat ketika rumah terakhir mereka lewati. Di depan kastil itu terbentang sungai yang memanjang ke kiri kastil. Di tengah batang sungai terdapat sebuah jembatan kecil yang menyeberangi sungai. Jalan setapak yang di perjelas dengan pasir bercampur semen mereka pijaki ketika jembatan telah terlewati. Jalanan itu membentang disepanjang jalan menuju gerbang yang berdiri megah di depan kastil. Di kiri-kanan jalan sebesar empat meter berdiri rumah-rumah penduduk yang berjejer hingga di samping gerbang. Pagar batu setinggi lima meter membentang sepanjang halaman kastil. Gerbang berdiri kokoh diapit dua benteng kecil. Di atas benteng itu terdapat sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk mengintai musuh. Atapnya yang menjulang tinggi berwarna hitam serasi dengan warna kastil yang berwarna putih. Skriel menghentikan kudanya dan menuruninya. Ia berjalan menuju gerbang dan menemui prajurit yang menjaganya. Mereka tampak bernegosiasi sesaat sambil menunjuk kearah Austin dan teman-temannya. Senyuman mengambang di pipi sang prajurit saat ia berjalan menuju benteng dan membuka gerbang lebih besar lagi agar tamunya dapat masuk dengan mudah.
Gerbang terbuka lebar dan prajurit itu memberikan kode agar mereka segera masuk. Setelah Skriel menaiki kudanya ia menuntun pasukannya memasuki halaman kastil. Mereka berjalan di atas jalan beraspal. Di samping jalanan itu terbentang halaman luas yang ditumbuhi rumput Doghwood berwarna hijau. Di kiri kanan jalan tumbuh bunga-bunga dan pohon yang tumbuh dengan subur. Di depan kastil jalanan itu bercabang ke kiri dan kanan yang menyatu dengan dua jenjang.
Ratu telah menunggu kedatangan kalian sejak 10 hari yang lalu,” tutur sang Prajurit sambil memberikan kode kepada semua tamunya agar turun dari kuda mereka. Beberapa petugas peternakan langsung membawa kuda-kuda itu untuk beristirahat. Setelah semuanya turun, prajurit itu menaiki tangga sebelah kanan kastil. Ia memasuki kastil Ratu menuntun mereka memasuki sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Ruangan itu memiliki dinding yang terbuat dari batu-batu besar dan kuat. Tampak pelayan-pelayan sibuk berlalu lalang di sekitar ruangan itu. Membawa kain-kain putih ataupun kereta makanan.
Di depan mereka tampak sebuah pintu besar yang menjulang setinggi dinding kastil. Pintu itu terbuat dari kayu tebal berwarna coklat. Disana terlihat ukiran yang menceritakan sebuah perang besar. Prajurit itu membuka pintu dan menuntun mereka memasuki sebuah aula besar berbentuk bujur sangkar. Lantainya berwarna putih bersih dan sangat mengkilap. Dari lantai itu kita dapat melihat bayangan kita dengan jelas layaknya memperhatikan diri di dalam cermin. Langit-langit aula terpantul dari lantai putih itu. Dan membuatnya seperti terlukis di sana. Saat kita menengadahkan kepala kita akan melihat langit-langit yang dilampisi kilauan emas yang diukir dengan bentuk yang rumit. Di tengah langit-langit tergantung sebuah lampu hias berwarna putih. Tampak gantungan-gantungan lilin yang meleleh. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah yang sarat akan makna. Di bagian atas dinding berjejer jendela-jendela di sepanjang ruangan. Membuat cahaya marahari dengan leluasa memasuki aula. Di depan mereka tampak dua jenjang yang terbagi menjadi dua. Dan kemudian menyatu kembali di tingkat dua. Di belakang jenjang di lantai dua terpampang sebuah lukisan besar yang menggambarkan dua sosok Elf. Di sebelah kanan terlukis sosok laki-laki gagah, kebijaksanaan terlukis dari matanya. Sedangkan di sebelah kiri sosok wanita yang anggun dan berparas cantik. Mereka adalah Raja dan Ratu kuno yang meminpin De Vlacoure sejak ia terbentuk dan menjadi sebuah kerajaan besar.
“Silahkan tunggu disini sebentar. Aku akan memanggilkan Ratu,” tutur prajurit ketika mereka memasuki ruangan yang yang terletak di bawah jenjang.
Prajurit itu berlalu meninggalkan mereka. Ruangan itu berbentuk bujur sangkar dan jauh lebih kecil dari aula yang baru saja mereka tinggalkan. Jendela-jendela yang dilapisi kaca terpajang di sepanjang dinding. Tirainya terbuka dan menyajikan pemandangan indah di belakang kastil. Sofa-sofa empuk di tata rapi dan menempel pada dinding. Di tengahnya terdapat sebuah meja rendah yang dilapisi emas murni. Tampak di dekat jendela di depan mereka sebuah meja setinggi paha orang dewasa. Diatasnya terpampang sebuah catur yang permainannya di hentikan di tengah jalan. Pertarungan yang sengit tergambar dari pion-pion catur yang terletak di atas kayu bujur sangkar itu. Di kiri kanan meja terdapat kursi yang terlihat sangat nyaman jika diduduki. Di lain tempat berdiri sebuah meja yang di atasnya terdapat cerek dan beberapa cangkir yang terbuat dari kayu.
Pintu berderit dan terbuka. Di balik pintu tampak dua sosok Elf muncul. Mereka adalah Queen Kidivra dan adiknya, Paxton. Ratu mengenakan gaun berwarna putih bersih yang berkilau. Selaras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya berwarna emas terjalin indah dan menggantung di bahu kanannya. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya. Begitu cantik, bahkan Vlow dan Vav tak berpaling sedikitpun darinya. Sang Ratu di juluki Putri sang bulan oleh masyarakat De Vlacoure. Sementara sang adik memakai baju berwarna putih. Dilampisi rompi berwarna hijau lumut yang setara dengan celananya. Di kakinya ia memakai boot yang nyaris menyentuh lututnya. Rambutnya yang juga berwarna emas tergurai indah di belakang punggungnya.
Mereka membungkuk hormat ketika melihat kehadiran Elf yang sangat dihormati di De Vlacoure berada di depan mereka dan berdiri tegap kembali ketika hormat mereka telah dibalas.
“Selamat datang di kastil kecilku ini,” sambut Queen Kidivra dengan lembut sambil menebar senyum hangat yang dapat meruntuhkan kelelahan yang di derita orang yang melihatnya. Suaranya yang lembut dan renyah bergema di ruangan kecil itu, “Seperti janji Alvares, kau membawa tamu berharga kita dengan selamat.”
“Ya, Ratuku. Suatu kehormatan bisa membawa mereka kehadapan Anda,” tutur Skriel sambil membungkuk hormat.
“Kalian telah menempuh perjalanan panjang dan berbahaya. Aku berterima kasih karena kalian sampai dengan selamat,” ujar Ratu kembali menebar senyuman hangatnya.
“Tapi, jauh di belakang kami pasukan Dhomnail telah mengejar,” tutur Skriel tampak cemas.
“Mereka telah di kalahkan masyarakat Aston,” sahut Paxton angkat suara. Terdengar keberanian dari suaranya yang indah.
“Mulai sekarang, kita tinggalkan Ogre-ogre itu. Kalian butuh istirahat setelah perjalanan melelahkan ini. Pelayan kastil ini akan melayani kalian dan menunjukkan tempat kalian untuk beristirahat,” ujar Ratu beranjak dari pintu menuju sebuah kursi dan duduk dengan anggun.
Tampak dari arah luar ruangan datang beberapa pelayan dan mengajak mereka keluar dari ruangan itu.
“Terima kasih ya, Ratuku,” ucap Skriel dan teman-temannya dengan serentak dan mereka berlalu mengikuti pelayan kastil.
“Kecuali!” cegat queen Kidivra ketika mereka mulai melangkahkan kaki keluar ruangan, “Aku ingin mengenal wajah-wajah asing yang baru aku lihat. Apa kalian keberatan?” tanya Queen Kidivra memperhatikan wajah empat remaja yang ia tunggu-tunggu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav berhenti, “Tentu saja tidak Yang Mulia,” sahut Vlow hormat. Dan mereka memisahkan diri dari Skriel dan pasukannya.
 “Apa kalian tidak letih berdiri seperti itu?” tanya Queen Kidivra kepada tamu istimewanya yang hanya berdiri kaku di depan pintu.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav tampak terkejut dan gugup. “Ayo! Bergabung dengan kami,” ajak Queen Kidivra dengan lembut.
“Terima kasih Yang Mulia,” sahut mereka serempak. Dengan gugup mereka melangkahkan kaki menuju meja yang telah ditunggui sang Ratu bersama adiknya.
“Kenapa kalian begitu gugup?” tanya Paxton dengan lembut. Paxton adalah adik semata wayang Ratu. Ia begitu tampan dan menawan. Tidak ada gadis di De Vlacoure yang tidak menyukainya. Namun Ia begitu dingin terhadap gadis-gadis yang tertarik dengannya. Sebenarnya Paxton masih berumur 150 tahun, jika dibandingkan dengan manusia kira-kira ia berumur 20 tahun. Menurut hukum De Vlacoure, Elf yang telah berumur  100 tahun sudah diperbolehkan untuk menikah. Sudah banyak gadis cantik dari Kerajaan lain yang mencalonkan diri, tapi tidak ada yang mampu menarik hatinya.
 “Maaf Yang Mulia, kami belum pernah menemukan suasana seperti ini sebelumnya dan kami begitu senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Anda dan adik Anda,” jawab Austin gugup.
Ratu tersenyum, “Kalian tidak usah seperti itu, Kastil ini juga merupakan rumah kalian, jadi anggap saja kalau kita itu tengah berkumpul di ruang kelurga, kalian sering melakukan itu kan?” tanya Queen Kidivra seraya menuangkan teh ke cangkir mereka.
“Ya, maaf Yang Mulia,” tutur Vlow.
“Dan lagi, aku mohon, jangan panggil aku dengan sebutan Yang Mulia, sebutan itu terdengar tua,” tutur Queen Kidivra berusaha menceriakan suasana. Tawa mereka menggema di ruangan itu.
Tapi, tawa mereka terhenti begitu mendegar suara gemuruh, “Sepertinya akan turun hujan siang ini,” tutur Paxton.
“I..itu bukan suara gemuruh, tapi itu suara perutku,” sanggah Vav dengan pipi yang merah padam.
“Astaga! Betapa kejamnya aku membiarkan kalian kelaparan, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri dan mengisi perut kalian, jangan sampai cacing di perut kalian mengamuk dan memporak-porandakan kastil ini,” ujar Queen Kidivra sambil tertawa.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav lega karena Ratu menyambut mereka dengan sangat hangat. Mereka mulai merasa bahwa mereka bukanlah tamu disana. Tapi mereka disambut sebagai keluarga. Queen Kidivra begitu ramah dan tertawa dengan lepas bahkan dia melarang rakyatnya untuk memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.
Empat orang pelayan wanita muncul dari balik pintu dan berjalan kearah mereka dengan malu-malu. Bagaimana tidak, ada tiga sosok Elf tampan di depan mereka. Dan ketiga Elf itu memperhatikan mereka yang tersipu malu.
“Mari, kami akan mengantar kalian,” tutur salah satu pelayan dengan lembut dan penuh hormat.
“Kalau begitu kami permisi dulu,” pamit Austin kepada Ratu dan Paxton sambil sedikit membungkuk hormat.
Sambil menguap dan memperhatikan struktur bangunan kastil, akhirnya mereka sampai di tempat mereka akan membersihkan diri, tentu saja tempatnya terpisah cukup jauh. Setiba disana mereka disuguhi dengan kolam berdiameter dua meter yang telah diisi dengan air hangat yang beraroma terapi. Mereka sangat menikmatinya, bahkan disaat merendamkan tubuh mereka, tanpa sengaja mata mereka terpejam dan merekapun tertidur sejenak.
Setelah merasa tubuh mereka segar kembali karena mereka disuguhi makanan yang sangat nikmat, mereka mengganti pakaian dengan yang telah disediakan. Begitu mereka terlihat rapi, mereka digiring oleh seorang pelayan menuju ruangan yang cukup besar.
Di ruangan itu kursi bersandaran tinggi disusun rapi saling berhadapan. Kursi-kursi itu telah ditunggui, mereka adalah para mentri Kerajaan. Tepat di depan pintu dengan jarak kira-kira 10 meter berdiri kokoh sebuah kursi yang telah diduduki oleh sesosok Elf yang menawan. Ia tersenyum melihat kehadiran Austin, Gerald, Vlow dan Vav.
Dengan perlahan mereka berjalan meyusuri ruangan menuju kursi yang telah disediakan untuk mereka. Tampak semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu berdiri menyambut mereka sambil menebar senyuman.
“Apa yang mereka lakukan?” bisik Gerald.
“Apa kau tidak tahu, ini adalah salah satu wujud hormat mereka terhadap tamu mereka,” jawab Vlow setengah berbisik.
Mereka langsung dipersilahkan duduk. Tampak senyum terpajang di setiap sudut bibir Elf yang berada di ruangan itu. Diantara mereka ada juga yang berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya.
“Baiklah, saudara ku. Aku sengaja mengadakan pertemuan ini untuk memperkenalkan tamu terhormat kita yang datang dari negeri yang sangat jauh, yaitu dunia manusia. Mereka adalah keturunan Dua Prajurit yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk De Vlacoure. Dia Austin,” tutur Ratu sambil menunjuk kearah Austin yang menebar senyum.
“Gerald...”
“Salam kenal,” sahut Gerald.
“Vlow,”
“Kenalkan,”
“Dan yang paling kecil diantara mereka, Vav,” ujar Ratu memperkenalkan Vav kepada mentri-mentri kerajaan.
“Mohon bantuannya,” sahut Vav lembut sama seperti waktu dihari pertamanya di sekolah.
“Akhirnya setelah sekian lama, kalian datang juga,” tutur seorang mentri dengan jenggot kambing menggantung di dagunya, Lord Trivole.
“Kalau kami tidak salah kalian datang dengan sebuah buku bukan?” tanya mentri yang duduk di sebelah Queen Kidivra.
“Ya, kalian benar. Ini,” jawab Austin sambil menyodorkan buku De Vlacoure yang terlihat sangat kokoh.
Ratu meraih buku itu mengusapnya seperti mengusap anak yang tengah bersedih.
“Karena buku inilah De Vlacoure selamat dan kalian bisa sampai disini guna melakukan misi penting,” tutur Queen Kidivra meletakkan buku itu di atas meja.
“Aku rasa kami tidak siap untuk itu,” celetuk Austin putus asa memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
 Dengan senyuman hangat dan menenangkan Queen Kidivra memecahkan keputusasaan Austin, “Bukan tidak siap, tapi belum siap. Kami akan membantu kalian dalam mempersiapkan diri.”  
Austin, Gerald, Vlow dan Vav mengangguk dan tersenyum yang tanpa keraguan membingkainya.
“Kalau kalian datang dari buku ini menurut ramalan kalian akan membawa kekuatan besar,” tutur Queen Kidivra, “Makanya Julion memutuskan untuk membacakan mantra itu,”
“Kekuatan besar? Sepertinya tidak, menggunakan alat perang saja kami tidak bisa,” timpal Vlow.
“Kekuatan besar disini maksudnya berbeda. Yang kami maksud itu Varius,” sahut Paxton.
“Varius?” tanya Vav bingung.
“Varius itu adalah hewan legendaris De Vlacoure. Ia dihormati sekaligus ditakuti oleh hewan lain. Ia juga ditakuti oleh musuh kita,” jelas Queen Kidivra.
“Apa dia berpihak kepada kita?” tanya Gerlad.
“Ya, itu pasti. Apalagi jika masalah ini ada kaitannya dengan Guidoweld. Lagi pula jika kita mengatakan tentang Jolion dia pasti akan sangat membantu kita,” jawab Paxton.
“Sampai sekarang hanya Jolion yang bisa mengendalikan dan mengerti perasaannya, tapi sekarang dia sudah tidak...”
“Tentunya ada hal yang lebih penting kita bicarakan daripada cerita masa lalu, bukan,” potong Lord Walle yang tampak memperhatikan wajah Ratu yang tampak sedih.
“Kak, sebaiknya kau istirahat,” saran Paxton memegang tangan kakaknya.
“Kalau begitu silahkan lanjutkan,” tutur Ratu.
Semuanya memperhatikan langkah Ratu menuju pintu dengan tampang yang sedih. Sementara itu Austin, Gerald, Vlow dan Vav kebingungan tidak mengerti dengan yang baru saja terjadi. Begitu pintu tertutup Vlow yang sangat penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu ingin menanyakan tentang hal itu tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena Lord Trivole membuka mulutnya.
“Tentunya sebelum ke Guidoweld kalian singgah ke suatu tempat? tanya Lord Trivole.
“Ya, banyak tempat yang kami kunjungi tanpa sengaja dan terpaksa, sebelum kami bertemu dengan penduduk Desa Alvares, kami sempat terkatung-katung di sarang Ogre,” jawab Austin.
“Itu artinya, Dhomnail sudah manemukan kalian tentunya,” sahut Paxton cemas.
“Apakah itu pertanda buruk?” tanya Gerald.
“Tentu, tapi sepertinya dia tidak akan menyerang kita dalam waktu dekat, karena ia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan pasukannya setelah sekian lama, mungkin ia akan menambah atau menciptakan makhluk baru, dan letak Guidoweld kali ini tidak akan mudah di capai hanya dengan kaki-kaki Ogre yang berat,” jawab Paxton.
“Lagi pula, para Ogre telah menyerang Desa Al Vares sepeninggal kita, itu artinya Dhomnail sudah mulai bertindak,” tutur Vlow yang dari tadi hanya diam.
“Baiklah kita harus segera mempersiapkan pasukan kita,” perintah Paxton. Semua Mentri tampak menganggukkan kepala tanda setuju. Hanya dengan sebuah isyarat kepala dari Lord Trivole semua Mentri bangkit dari kursi mereka dan keluar dari aula pertemuan untuk mempersiapkan pasukan.
Suasana hening sejenak, Paxton tampak memikirkan apa yang akan ia lakukan terhadap tamu De Vlacoure.
“Well, berhubung kalian butuh tempat istirahat malam ini, tentu kalian ingin mengetahui dimana letak kamar kalian bukan?” tanya Paxton seraya bangkit dari kursinya.
“Ya, itu ide yang sangat bagus, dan apa kau bersedia membawa kami berkeliling?” ujar Vlow balik bertanya.
“Ayo,” ajak Paxton melangkahkan kaki.
Mereka berjalan pelan sambil mengamati ukiran dan lukisan yang terpajang di tembok kastil yang kokoh.
“Rasanya aku mengenal wajah yang ada di lukisan ini,” tutur Vav sambil menunjuk sebuah lukisan yang bersanding dua di dinding kastil. Kedua lukisan itu, menggambarkan sosok dua pasangan. Lukisan pertama melukiskan seorang wanita yang tengah duduk di kursi dan seorang pria tampan di belakangnya. Lukisan kedua menggambarkan seorang wanita yang menggenggam tangan suaminya yang berdiri disampingnya, lengkap dengan pedang di pinggangnya.
“Tentu kau mengenalnya, mereka adalah pahlawan-pahlawan De Vlacoure yang rela hidup di luar De Vlacoure demi De Valcoure. Tentunya mereka adalah leluhur kalian, Lord Armus dan Lord Coloneir,” jawab Paxton.
“Kalau begitu Vav, berarti kita adalah saudara yang sangat jauh,” tutur Gerald memperhatikan lukisan seorang wanita yang duduk di kursi dan suaminya berdiri di belakangnya.
“Apa kita memiliki leluhur yang sama?” tanya Vav.
“Ya, leluhurku Lord Armus,” jawab Gerald menoleh ke arah Vav yang tersenyum kepadanya.
“Austin, sepertinya ini adalah lukisan yang tidak jauh beda dengan yang ada di rumah kita bukan, hanya saja disini Lord Coloneir terlihat nyata dan mereka sungguh menawan,” puji Vlow.
“Tentu, karena lukisan ini dibuat dua hari sebelum terjadinya perang besar,” jawab Paxton memperhatikan lukisan sepasang Elf yang saling berpegangan tangan.
“Kemampuan manusia melukis sepertinya tidak sebagus kemampuan Elf ya,” tutur Austin.
“Ya, lukisan ini lebih bagus dan mereka seperti bernafas,” sahut Vlow.
“Apa kita akan melanjutkan perjalanan?” tanya Paxton memecah lamunan mereka.
“Oh tentu, apa masih ada lukisan lain?” tanya Vav.
“Tentu, disini ada ratusan lukisan. Disana ada lukisan King Jolion dan Queen Kidivra,” kata Paxton sambil menunjuk ke arah Aula besar.
“Lalu, dimana King Jolion sekarang?” tanya Austin yang penasaran karena tidak melihat King Jolion dari tadi.
“Dia...sudah lama meninggal,” jawab Paxton sedih memperhatikan lukisan yang terpajang di samping lukisan kakaknya.
“Astaga, pantas tadi Queen Kidivra begitu sedih. Kalau boleh tahu, apa penyebab kematiannya? Apa karena sakit?” tanya Vlow.
“Tidak, Jolion itu kuat, tidak mungkin dia meninggal karena sebuah penyakit. Tapi, dia memberikan nyawanya kepada rakyat De Vlacoure,” jawab Paxton menatap sesosok Elf yang memakai baju Raja dengan mahkota berdiam di kepalanya. Lukisan itu tampak tersenyum tulus melihat lima sosok Elf yang memperhatikannya.
“Memberikan nyawanya, apa maksudnya?” tanya Vav.
“Dia rela menukarkan nyawanya dengan keselamatan rakyat De Vlacoure dengan membacakan sebuah mantra yang sangat kuat,” jawab sebuah suara dari ujung ruangan.
Spontan mereka semua menoleh ke arah pintu yang tinggi dan mendapati sesosok Elf yang anggun berjalan kearah mereka. Ia tampak tersenyum sedih memandangi lukisan di dinding.


next week BAB VII part 1 :)