Senin, 30 Desember 2013

De Vlacoure - BAB 1



Pertemuan yang Telah Ditakdirkan

Awan gelap dan berat mulai merangkak pelan menutupi langit London. Anginpun ikut serta seolah menuntun awan mendung itu menuju tanah gersang yang sejak siang tadi terkena teriknya cahaya matahari.
Tetesan hujan mulai menghantam atap-atap rumah yang telah dibangun dengan amat kokoh. Guntur menggelegar. Angin kecil yang awalnya hanya sepoy-sepoy mengamuk menerpa pepohanan. Cahaya bulan memantulkan bayangan pepohonan yang tampak seperti monster yang tegah mengendap mencari mangsanya.
Tidak ada yang memperdulikan kemurkaan alam saat itu. Kecuali seorang remaja, Vavelin Aldridge, terbangun begitu mendengar suara kilat. Ia melirik jam wekernya dan mendapati masih pukul dua malam. Ia kembali menarik selimutnya, memejamkan mata, tapi derasnya hujan membuat ia tidak dapat berkonsentrasi dengan tidurnya. Ia mencoba berbagai cara. Memikirkan teman-temannya, berhitung, bahkan mencoba untuk menikmati cahaya lampu tidur yang menembus kelopak matanya, tapi matanya tetap tidak bisa diajak berkompromi.
Akhirnya, ia memutuskan untuk turun dari tempat tidur, dan menghidupkan lampu kamar. Ia berdiri sejenak di ambang pintu. Memikirkan apa yang akan ia lakukan, sambil memperhatikan kamarnya yang penuh dengan kardus dan koper. Ia kembali teringat akan kenyataan pahit yang harus ia jalani. Bahwa ia baru saja pindah bersama keluarganya dari Amerika karena sang Ayah sangat merindukan kampung halaman yang telah ia tinggalkan semenjak anak gadisnya berumur 7 tahun.
Ia mulai membuka langkah. Menyusuri lantai menuju tumpukan kardus yang berada di samping meja belajarnya. Begitu tubuhnya sampai di depan tumpukan kardus itu. Ia menarik salah satu kardus dan membukanya. Ia mengacak-ngacak isi kardus itu hingga menemukan subuah kotak kayu berwarna coklat. Kotak itu adalah hadiah dari sahabatnya, Vlowrince. Kotak berisi benda-benda kenangannya bersama teman-temannya selama ia tinggal di Amerika. Ia membuka kotak itu, mengambil sebuah album foto berukuran kecil dan mulai membalik-balikkan album itu sambil tersenyum sedih.
Album itu berisi semua kenangan bersama teman-temannya di sekolah. Album itu merupakan hadiah dari teman-temannya, agar disaat ia merindukan mereka, ia dapat melepas rindu dengan melihat isi dari album mini itu. Ia cukup senang dengan ide itu.
Lembaran pada album itu berakhir, ia meletakkannya kembali ke dalam kotak, dan mengambil sebuah gelang pemberian Vlowrince saat ulang tahunnya yang 16, gelang itu berwarna hitam, cocok dengan gaun yang ia pakai di saat perayaan ulang tahunnya. Vlow memang mengetahui seleranya.
Ia mematung. Memperhatikan tumpukan kardus dan koper di dalam kamarnya. Apa yang harus aku lakukan dengan kardus-kardus ini?  pikirnya. Mungkin aku harus memisahkan kardus yang akan aku perlukan di asrama dengan kardus yang tidak akan dibawa, sambungnya sambil menarik kardus yang ia rasa perlu.
Besok pagi ia tidak akan berada di rumahnya yang baru saja ia tempati. Ia tidak akan tidur di kasur yang telah ia tempati sejak berumur delapan tahun itu, mulai besok ia akan menetap di asrama sekolah.
Tanpa disadari, jam telah menunjukkan pukul enam pagi, ia bergegas berdiri dari lantai kamarnya, mengambil baju handuk, dan langsung berjalan menuju kamar mandi yang tidak begitu jauh dari kamarnya.
Dengan enggan, ia menyirami tubuhnya dengan air yang terasa cukup dingin, menyabuni tubuhnya, dan kemudian menyiramnya kembali. Dengan setengah menggigil ia menyeka tubuhnya dengan handuk, dan mengenakan baju handuk.
Dengan langkah malas, ia keluar dari kamar mandi menuju kamarnya. Ia mengambil seragam sekolah yang telah disetrika ibunya dengan rapi di dalam almari dan mengenakannya. Rok, kemeja, rompi, dan jas ia pakai satu per satu. Seragam itu membuat tubuhnya terasa hangat.
Ia menyisir rambut ikalnya yang panjang, dan memberinya pita, membuatnya tampak anggun dan cantik. “Kenapa aku tidak pernah mengikat rambutku, ya?” tanya Vav sambil melihat wajahnya di cermin.
“Itu kerana kau memilliki tanda lahir yang aneh,” jawab sesosok wanita diambang pintu Mrs. Favian. Di tubuhnya terpasang sebuah celemek.
“Yeah, kau benar Mom,” balasnya.
“Waktunya sarapan. Aku telah menyiapkan sereal untukmu,” ajak ibunya.
“Oh, tentu,” jawab Vav sambil manggandeng Ibunya untuk turun ke lantai satu.
Ia mengunyah sarapannya dengan perasaan yang campur aduk. Sedih, antusis, cemas. Ia tidak bisa disalahkan. Karena selama hidupnya ia selalu memakan sereal buatan Ibunya. Namun, besok pagi ia tidak akan memakan sereal buatan ibunya lagi. Ia juga merasa antusias dengan teman-teman di sekolah barunya. Apakah ia akan segera mendapatkan teman baru atau justru ia akan sendirian selama beberapa bulan.
Begitu ia berhasil menghabiskan sarapannya, Ia mencuci peralatan makan mereka, dan langsung menuju kamarnya mengambil koper yang telah ia persiapkan tadi malam.
 “Kau cocok sekali memakai seragam itu, Vav,” ujar ayahnya yang dari tadi memperhatikan anaknya dari pintu.
“Thank’s, Dad,” balas Vav.
“Vav, apa kau yakin akan menetap di asrama itu? Kalau kau berubah pikiran, aku bisa membatalkannya. Lagi pula kita baru saja pindah kesini, apa kau tidak ingin beradaptasi dulu?” tanya Ayahnya sedih, meminta anak satu-satunya mengubah keputusan yang telah ia buat.
“Tidak, Dad. Aku sangat yakin, aku ingin mandiri, selama ini kalian telah merawatku dengan baik,” sanggah gadis berambut ikal itu. “Lagi pula aku ingin merasakan suasana yang berbeda. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bersekolah dengan seragam dan menetap di asrama. Bukankah itu menyenangkan?sambungnya antusias.
Mr. Favian tersenyum hangat. Bangga dengan keputusan anaknya. “Baiklah, jaga dirimu baik-baik dan jangan bikin ulah, ok,” katanya memeluk erat tubuh anaknya.
Ia dan ibunya masuk ke dalam mobil, ketika Mr. Favian sibuk memasukkan barang-barang  putrinya ke dalam bagasi mobil. Di perjalanan menuju sekolah, ibunya memeluknya dengan erat. Air matanya menetes dan mengenai pipi putri tunggalnya itu.
“Tenang Mom, aku tidak akan melupakan kalian,” ujar Vav sambil menghapus air mata ibunya.
Ia memperhatikan ayahnya yang mengemudi dengan tenang. Sekilas terlihat leher ayahnya dan tampak sebuah tanda lahir yang berusaha ia sembunyikan dengan kerah jasnya.
Tanda itu mengingatkan gadis itu dengan asal usul keluarganya yang aneh. Ayahnya selalu menceritakan tentang keluarganya yang merupakan keturunan Elf dari De Vlacoure. Awalnya ia tidak mempercayainya, tapi orang tuanya selalu meyakinkannya dengan sabar. Dengan menunjukkan foto-foto keluarga mereka terdahulu, yang memiliki telinga yang aneh. Vav berusaha mencari tahu mengenai keberadaan bangsa Elf dan beberapa informasi yang ia dapat mengatakan bahwa Elf itu memang ada. Dengan informasi yang ia dapat dan kecocokan yang dimiliki keluarganya, Vav berusaha untuk mempercayainya.
Tapi mereka memiliki satu masalah besar. Mereka tidak mengetahui dimana De Vlacoure berada. Mereka telah mencarinya di Internet, buku dan menanyakannya ke kakek-nenek mereka, tapi yang mereka dapatkan hanyalah informasi tidak jelas. Mereka berkata bahwa yang mengetahui keberadaan De Vlacoure hanyalah leluhur mereka yaitu Lord Armus dan Lord Coloneir.
Ia tersadar dari lamunannya begitu merasakan sesuatu yang dingin mendarat di pipinya. Ia melirik ibunya yang menangis, dan menghapus air mata ibunya. “Sudahlah, Mom. Aku tidak akan meninggalkan kalian untuk selamanya, aku hanya pindah ke sekolah baru dan menetap di asrama,” ujarnya berusaha menenangkan ibunya.
“Vav, aku hanya sedih karena akan berpisah dengan anak tunggalku. Siapa yang akan membuatkan sereal untukmu disana?” tanya ibunya berlinang air mata.
Hayden, dia itu bukan anak kecil lagi yang harus dibuatkan sereal setiap pagi,” jawab Mr. Favian berusaha menolong sang anak dari tangisan ibunya.
“Yeah, Dad benar. Aku sudah besar, aku sudah berumur 17 tahun yang bisa membuat sereal sendiri, Mom,” tambah Vav.
Mereka terdiam sejenak sampai ayahnya berkata,”Baiklah semuanya, kita sampai di sekolah baru Vav,” sambil menuntun mobilnya memasuki gerbang sekolah.
Vav melepaskan pelukan ibunya dan melongok keluar. Sekolah itu sangat bersih dan indah. Bunga-bunga ditata dengan rapi. Pohon-pohon tumbuh dengan rindang.
Mr. Favian menghentikan mobilnya di depan kepala sekolah dan staf sekolah yang telah menunggu kedatangan murid baru. Vav langsung membuka pintu dan keluar dari mobil. Di luar begitu dingin, memaksanya untuk memeluk dirinya sendiri. Mereka berjalan menemui orang-orang yang telah setia menyambut mereka.
“Pak, tolang bawakan koper-kopernya,” perintah kepala sekolah kepada seorang pria yang bertugas menjaga sekolah.
“Hai, Vavelin selamat datang di sekolah barumu.” sambut kepala sekolah.
“Senang bersekolah di sini Mr. Torsten,” balas Vav sambil membungkuk hormat.
“Kalau begitu sebaiknya kita langsung ke ruangan saya, di sini begitu dingin,” saran Mr. Torsten.
Mr. Torsten berjalan sambil mempersilahkan Vav dan kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam. Teras sekolah itu bersih dan mengkilat. Lemari-lemari kaca yang berisikan piala-piala berbagai kejuaraan di tata rapi di sepanjang lorong menuju ruang kepala sekolah. Mr. Torstern dengan bangga menjelaskan tiap-tiap piala yang ada di lemari kaca itu.
“Silahkan masuk,” Mr. Torsten mempersilahkan Vav dan kedua orang tuanya untuk masuk. Ruangan itu hangat. Dinding-dinding ditempeli potret-potret kepala sekolah sebelumnya. Ada yang sudah tua, ada juga yang masih muda. Ada yang pria dan ada juga wanita.
“Kalau begitu silahkan ditandatangani,” ujar Mr. Torsten sambil menyodorkan secarik kertas persetujuan. Surat itu berisi tentang kesepakatan yang menyatakan bahwa Vav setuju untuk menetap di asrama sekolah sampai ia menamatkan studinya di sana.
Setelah mengurus semua surat kepindahannya, salah satu guru  mengantarkan mereka menuju asrama yang akan di tempati oleh Vav. Setiba di kamar baru gadis itu, mereka melihat seisi kamar. Di sana terdapat lima buah ranjang dan sebuah laci yang berdiri di samping ranjang. Di atas laci itu terdapat foto gadis yang menempati ranjang itu. Kecuali satu laci yang belum terisi karena belum ada yang menempatinya.
Vav membuka pintu beranda, keluar dan melihat sekeliling. Kamarnya menghadap ke sebuah bukit, dan setiap sore bukit itu akan berwarna orange karena terkena cahaya matahari yang akan terbenam.
“Sepertinya, aku akan betah di sini,” ujar Vav menyenangkan hati Guru barunya itu.
“Baiklah kalau begitu sepertinya kami harus pamit,” pamit Mr. Favian. “Jaga dirimu baik-baik, ok,” perintahnya sambil memeluk anaknya.
“Yeah, Dad,” balas Vav sambil membalas pelukan ayahnya.
“Kami akan sering mengunjungimu,” tambah ibu Vav sambil berlinang air mata saat memeluk anaknya.
“I love you Mom,” ujar Vav membalas pelukan hangat ibunya.
“I love you to,” balas ibunya.
Mr. Favian dan Mrs. Favian berjalan meninggalkan anak mereka bersama Gurunya.
“Nah Vav, apa kau akan langsung ke kelas?” tanya Gurunya.
“Oh, tentu,” balas Vav sambil berjalan mengikuti Gurunya.
Di tengah perjalanan menuju kelas barunya, tiba-tiba Vav merasa ingin ke toilet untuk buang air kecil. “Bu,” panggilnya, Sepertinya aku harus ke toilet dulu sebelum ke kelas,” ujar Vav, “Dan sebaiknya Anda melanjutkan pekerjaan di kantor, takutnya terganggu,” tambahnya berbasa-basi.
“Baiklah, tapi apa kau tau jalannya?” tanya wanita itu.
“Tenang, aku memiliki peta sekolah ini,” jawab Vav.
Guru itu membalasnya dengan anggukan kecil dan meninggalkan Vav.
Vav mengambil peta sekolah di dalam sakunya, mengembangkannya dan mulai mencari-mencari lokasi toilet. Ia langsung melangkahkan kaki begitu menemukan tulisan toilet di utara tempat ia berdiri sekarang.
Begitu selesai mencuci tangan dan merapikan pakaiannya, ia langsung keluar dan menuju kelas. Vav melihat tangannya yang semula memegang sebuah peta dan memeriksa saku-saku yang ada di pakaiannya, dan tas yang di sandangnya. Tapi ia tetap tidak menemukan peta itu. Ia kembali masuk ke toilet untuk memeriksa, mungkin saja tertinggal atau terjatuh. Tapi tetap saja tidak ada hasil. Ia keluar dengan tampang yang putus asa. Hari pertama yang sangat buruk. Dan mulai sekarang aku berjalan menuju kelas tanpa petunjuk sedikitpun. Bagus, pikirnya.
Ia tidak tahu arah mana yang ia tuju. Ia menimbang-nimbang arah mana yang benar hingga ia melihat tiga orang murid berjalan kearahnya.
Mungkin aku bisa bertanya  pada mereka, pikirnya dengan senyum mengambang di pipinya.
“Permisi, aku Vavelin Aldridge, murid baru, aku ingin bertanya kelas B6 dimana, ya?” tanya Vav sambil menghampiri mereka.
“Kelas B6? Oh...kau lurus dari sini, belok kiri. Ruangan keempat sebelah kanan,” jawab salah satu diantara mereka. Dia adalah seorang gadis berambut hitam. Ia memakai sebuah bando yang juga berwarna hitam.
“Thank you, senang bertemu dengan kalian. Aku harus pergi,” pamitnya sambil berjalan menuju arah yang ditunjukkan gadis tadi.
Aku harap kita bertemu lagi!” teriak pemuda yang mengenakan jas sekolah.
“Ok,” balas Vav membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan kearah mereka.
Mereka memperhatikan punggung siswi baru yang setengah berlari meninggalkan mereka. Mereka tersenyum.
“Teman baru kita tersesat,” tutur gadis berambut hitam itu.
“Sayang sekali, dia tidak setinggi yang aku banyangkan,” keluh pemuda yang menggunakan jas.
“Kau terlalu berharap banyak Gerald,” balas gadis berambut hitam meninju lengan pemuda itu.
“Vlow, jangan memulai pertengkaran denganku ya!” bentak Gerald.
“Sudahlah. Sampai kapan kalian akan berkelahi seperti ini?” lerai pemuda memakai jeket,  Oh ya, Vlow, tumben kau memberinya arah yang benar,” tanya Austin mengalihkan pembicaraan.
Vlow tersenyum, “Hanya ingin memberi kesan yang baik dengan teman baru kita,” jawabnya sambil melangkahkan kaki.
***
Setiba di depan kelas barunya, Vav dengan gugup merapikan pakaiannya, agar tidak memalukan di depan kelas. Ia mengetuk pintu dan menunggu seseorang untuk membukanya. Knop pintu berputar, pintu berderit, muncul seorang wanita muda memakai kaca mata.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya guru yang mengajar di kelas B6.
“Ya, aku Vavelin Aldridge murid baru di kelas ini,” jawab Vav sambil menyerahkan sebuah kertas.
Wanita itu mengambil kertas yang disodorkan kearahnya. Ia membaca isi surat itu dan tersenyum, “Oh...tentu silahkan masuk, kami sudah menunggu. Tapi terlebih dahulu, aku Miss. Cristine,” ujar Miss. Cristine mempersilahkan murid barunya untuk masuk.
Vav mengikuti Miss. Cristine dari belakang dengan malu-malu. Begitu ia sampai di depan kelas ia menghentikan langkahnya dan menghadap kearah murid-murid yang memperhatikan. Mereka tampak saling bisik dengan teman di sebelah mereka.
“Anak-anak, tenang sebentar!” sorak Miss Christine, Hari ini di kelas kalian kedatangan murid baru dari Amerika. Nah silahkan perkenalkan dirimu,” ujar Miss. Cristine mempersilahkan Vav memperkenalkan diri.
Vav berdiri dengan canggung. Ia memperhatikan setiap wajah yang balik memperhatikannya. Ia menelan ludahnya karena gugup. “Hai, guys. Aku Vavelin Aldridge, seperti yang dikatakan Miss. Cristine tadi, aku adalah murid baru di kelas kalian. Mohon bimbingannya,” ujarnya memperkenalkan diri.
Semua murid balik menyapanya dan memberikan senyuman selamat datang.
“Baiklah Vav, kalau begitu silahkan duduk di salah satu kursi yang kosong itu,” perintah Miss. Cristine. “Lagi-lagi mereka terlambat,” gerutunya memperhatikan beberapa kursi yang kosong, Baiklah anak-anak silahkan buka halaman 52...” perintah Miss. Cristine terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Pintu terbuka, masuk tiga orang siswa yang masih menyandang tas.
“Kalian terlambat lagi, pada pelajaran saya,” tegur Ms. Cristine.
“Ayolah Miss. Cristine ini yang terakhir kali kami lakukan pada jam pelajaran Anda,” kata Gerald memohon kepada guru yang mengagumi ketampanannya itu.
Miss Cristine tersipu malu saat mendengar Gerald mengucapkan namanya, “Duduklah, sebelum aku berubah pikiran,” Miss. Cristine mengalah dengan pipi yang memerah.
“Thank you,” balas Vlow dengan hormat.
Mereka berjalan menuju kursi yang kosong disamping Vav.
“Kita bertemu lagi,” sapa Vlow begitu berhasil meraih  kursi di sebelah Vav.
“Ya...” balas Vav dengan senyuman.
Saat mengikuti pelajaran ada hal yang membuat Vav tidak nyaman, Vlow yang duduk di sampingnya memperhatikannya seakan ia memiliki sesuatu yang dilarang untuk dimiliki seorang manusia. Bulu kuduknya merinding, tapi ia tidak sedang ketakutan, beberapa detik kemudian Vav menyadari kalau tanda lahirnya tidak tertutup rambutnya. Vav langsung menutupinya sambil mengatur raut wajahnya, agar tidak aneh. Dan Vlowpun langsung menghadap ke arah Miss. Christine.
Pagi ini Vav tidak tertarik untuk ke kantin karena cuaca dingin, ia lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas dan meladeni teman-teman barunya yang ingin mengetahui semua hal tentangnya.
Bel berbunyi semua murid bergegas menuju kelas masing-masing. Austin, Gerald, dan Vlow masuk dengan anggun ke dalam kelas membuat Vav teringat dengan keluarganya. Austin menebar senyum kearahnya, dan membuat Vav tersadar dari lamunannya sambil menunduk malu.
Selama proses pembelajaran ia hanya melamun dan bermain-main dengan penanya karena bosan. Dua jam kemudian murid-murid dikejutkan dengan bunyi bel panjang yang menandakan mereka diperbolehkan pulang.
Vav berjalan dengan malas menuju kamarnya. Ia geram karena tidak kunjung menemukan kamarnya. Bagaimana tidak, ia kehilangan satu-satunya peta yang ia miliki. Gadis itu merasa sangat gugup saat melewati lorong asrama. Semua orang yang ada di sana memperhatikannya sambil tertawa-tawa kecil. Ia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan mendapati ada banyak laki-laki yang berdiri di ambang pintu dan mentertawakannya, Astaga, ini asrama laki-laki, katanya mengutuk diri sendiri. Ia langsung berbalik arah dan berjalan dengan kepala yang tertunduk karena malu. Ia mempercepat langkahnya dan mencari pintu keluar. Tapi tiba-tiba ia menabrak seseorang dan semua barangnya berhamburan.
“Aw...maaf...aku tidak melihatmu...sekali lagi maafkan aku,” tutur Vav meminta maaf.
“Hei...Kau Vavelin bukan?” tanya pemuda yang ditabraknya sambil menolong Vav mengemasi barang-barangnya.
“Ya...itu aku,” jawab Vav sambil berdiri. “Tunggu, kau...” Vav berusaha menebak nama orang yang di tabraknya itu.
“Oh ya, kita  belum kenalan, aku Austin Livistron, kau Vavelin Aldridge si gadis yang tersesat tadi pagi kan?” tebak Austin menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Ya...ternyata kau masih ingat, itu adalah pengalaman yang sangat memalukan,” jawab Vav meraih tangan Austin sambil tertawa.
“Tunggu...apa yang kau lakukan disini, inikan asrama laki-laki?” tanya Austin bingung.
“Aku harap kau tidak menertawakan ku,” harap Vav.
“Apa kau tersesat lagi?” tanya Austin berusaha menebak.
Vav mengangguk malu. Austin tertawa, Vav baru menyadari ternyata di saat tertawa Austin sangat menawan, pantas perempuan yang ada di sekolah tergila-gila dengannya. Tapi, sayangnya Austin selalu dingin dengan mereka.
“Ayolah, aku bukan robot yang bisa menyimpan dan memutar kembali memori ingatanku,” balas gadis itu.
“Ya...ya...kalau begitu mari aku antar, aku adalah pemandu darmawisata yang baik, yang tidak ingin melihat pengunjungnya ditertawakan karena tersesat,” tutur Austin menawarkan diri.
“Baiklah Bapak pemandu,”  sahut Vav.
Selama diperjalanan mereka terlibat perbincangan kecil. Vav menceritakan alasannya pindah dan menetap di asrama.
“Tunggu, seingatku kau berasal dari Amerika, tapi logat Britishmu sangat bagus,” tanya Austin heran.
“Sebenarnya aku ini lahir di London. Ketika umurku tujuh tahun kami pindah ke Amerika. Aku tidak tahu apa alasannya,” jawab Vav.
Austin mengangguk dan mereka kembali melanjutkan perjalan dengan bercerita.
“Oke...kita sudah sampai di tempat tujuan, terima kasih atas  kunjungannya ke museum kami,” tutur Austin begitu sampai di depan pintu asrama wanita.
“Oh, terima kasih Bapak pemandu. Anda memang pemandu yang profesional,” balas Vav tersenyum manis.
“Hei Austin sedang apa kau disini?” tanya seorang laki-laki.
“Gerald? Aku...” jawab Austin bingung.
“Dia hanya mengantarkanku ke sini karena tersesat,” jawab Vav mambantu Austin.
“Tunggu kau Vavelin yang tadi pagi tersesat, bukan?” tanya Gerald.
“Ya, kau ingat, ha,” balas Vav.
“Oh tentu, aku Gerald Axzalorg,” ujarnya sambil menyodorkan tangan.
“Cukup dengan Vav saja,” balas Vav berjabat tangan. “Sebaiknya aku ke dalam, membereskan barang-barang. Sekali lagi terima kasih,” ujar Vav.
“Oh...tentu. Silahkan,” balas Austin.
Vav berjalan meninggalkan dua orang pria tampan di sekolah barunya itu. Ia merasa bodoh sekali karena di hari pertama sekolah ia sudah dua kali tersesat.
“Tanda lahir yang bagus!sorak Austin dari kejauhan. Begitu Vav menyadari pemuda itu bersorak ke arahnya, ia langsung mengecek kuduknya, ternyata tidak tertutup rambut panjangnya. Ia langsung menutupinya dan berlari menuju kamarnya.
“Tanda lahir?” tanya Gerald bingung.
“Ya...Vlow benar. Gadis itu punya tanda yang sama dengan kita. Apa kau tidak melihatnya tadi?” tanya Austin.
“Tidak,” jawab Gerald.
“Tapi itu mungkin kebetulan saja,” balas Austin.
“Kalau Vav sama dengan kita, bagus bukan,” tambah Gerald.
Vav berhenti di depan kamarnya, mengatur nafas, dan memutar knop pintu. Tiba-tiba suara terompet dan tepuk tangan menyambutnya ketika memasuki kamarnya.
“Selamat datang,” sambut teman-teman se kamarnya.
“Oh...Thank You. Kalian tidak perlu repot seperti ini,” balas Vav berusaha memberi kesan yang baik.
“Aku sudah memperingatkan mereka untuk tidak berlebihan. Tapi satu lawan tiga, aku kalah,” tutur Vlow.
“Hai, kita satu kamar,” ujar Vav senang begitu menyadari keberadaan Vlow.
“Ya, begitulah. Aku Vlow, dia Becca, Ible, dan Kate,” balas Vlow memperkenalkan Vav dengan teman se kamarnya.
“Hai, aku Vavelin Aldridge, panggil aku Vav saja. Mohon bimbingannya,” balas Vav.
Setelah memperkenalkan dirinya, Vav membersihkan barang-barangnya dengan di bantu teman barunya. Mereka memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi kepada Vav dan iapun menjawabnya dengan senang hati, karena kekhawatirannya salah. Ia sempat khawatir kalau mereka tidak akan menyukainya.
Disela-sela perbincangan, Vav melihat Vlow memiliki tanda lahir di tempat yang sama dengannya miliknya. Ia sempat terkejut namun kembali menguasai dirinya. Mungkin itu hanya tato, pikir Vav dan mulai mengabaikannya.