Luas. Terang. Tenang. Aku, Eya,
dan Rika berdiam diri di ruangan itu. Menunggu. Cemas. Berjam-jam lamanya kami
berada di dalam ruangan ini. Ada yang memintanya. Siapa? Untuk alasan apa? Kami
tidak tahu. Tapi, kami harus tetap merada di dalam ruangan ini, apapun yang
terjadi. Ada yang mengatakan bahwa di luar saat ini tengah kacau. Bukanlah
tempat yang aman. Semua orang berusaha menyelamatkan diri mereka. Dari apa?
Kami juga tidak tahu.
“Dila, Unic, Ija, dimana mereka?”
tanya Eya, akhirnya.
Aku dan Rika berfikir sejenak.
Memikirkan hal terakhir yang kami lakukan bersama. Mencari petunjuk. Akhirnya
kami hanya bisa memberikan gelengan. Kami semakin cemas.
Kami kembali diam. Eya berjalan
mondar-mandir. Memotong ruangan menjadi dua bagian. Aku duduk di atas sofa
berwarna putih. Menatap lantai dan melontarkan ribuan pertanyaan yang tidak
akan bisa mereka jawab. Sedangkan Ika duduk di sebelahku. Mematung. Ia tampak
takut namun berusaha untuk tetap tenang.
Sedetik kemudian tanpa dikomando
siapapun, Eya menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku yang juga menoleh
kearahnya. Kami mengangguk. Setuju dengan rencana yang baru saja terbesit di
pikiran kami yang secara ajaib sama.
Aku dan Ika bangkit dari sofa dan
menyusul Eya berjalan menuju pintu yang terbuat dari besi alumunium berwarna
perak. Di pintu itu menempel sebuah jendela kecil. Eya berhenti. Menarik nafas
dan memutar knop pintu setelah mendapat anggukan dariku. Eya menarik pintu
alumunium itu. Pintu itu berderik dan terbuka. Kami dapat mendengar suara
engsel pintu yang berdecit pelan, sangat pelan. Baru kami sadari, di luar
begitu sunyi dan mengancam.
Aku menoleh ke kiri-kanan. Mencari
tahu lokasi yang sedang kami pijaki. Namun nihil, aku tidak mendapatkan hasil
apa-apa. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Ruangan ini terletak di
sebuah lorong buntu. Di sebelah kanan pintu terdapat sebuah lorong pendek.
Tepat di ujung lorong menempel sebuah pintu yang sama dengan pintu ruangan
tempat kami bersembunyi. Eya melangkahkan kakinya ke lorong pendek dan menuntun
kami menuju lorong yang lebih panjang. Lorong itu bercabang dua. Kiri dan
kanan. Tidak ada jendela. Redup. Kami tidak pernah melewati lorong ini ketika
menuju ruangan tadi. Bahkan kami tidak ingat bagaimana bisa kami berada di
ruangan itu tanpa Dila, Unic dan Ija.
“Ke kanan,” tuturku. Menuturkan
instingku yang mulai bekerja.
Kami memulai langkah dengan diam
dan memfokuskan pendengaran. Pelan. Waspada. Kecepatan langkah kamipun
bertambah ketika kami melihat seberkas cahaya keluar dari deretan jendela tidak
jauh di depan kami. Kami setengah berlari ketika sampai di jendela terdekat.
Nafas kami sesak. Senang karena berhasil menemukan jendela yang dapat
memberikan kami petunjuk untuk menerka dimana keberadaan kami. Tapi di lain
sisi kami sedikit kecewa begitu menyadari bahwa kami entah berada di lantai
berapa dari sebuah gedung. Dari sini kami dapat melihat laut dengan bebas.
Perumahan dan pohon-pohon menghalangi kami untuk menemukan garis pantai. Apa
mungkin ini di gedung FBS UNP? Tapi entahlah.
Jantung kami berdegup kencang dan
wajahkan kami memanas ketika menyadari bahwa perkataan orang-orang itu benar.
Di luar sana tengah terjadi kekacauan. Puluhan meter di depan gedung ini
mengepul asap yang berasal dari rumah-rumah, pohon, maupun mobil yang tengah
parkir. Tidak. Mobil itu bukan dalam keadaan terparkir. Tapi dalam posisi yang
tidak semestinya. Kami dapat mendengar suara gemuruh ombak.
“Tidak, ini lebih terdengar
seperti suara jeritan ,” tutur Ika.
Aku dan Eya hanya diam.
Memperhatikan kekacauan yang tergambar di luar dan memfokuskan pendengaran.
Berharap pendengaran Ika salah. Akhirnya kami harus menerima kenyataan bahwa
Ika benar. Ini adalah suara jeritan.
Kami membuka langkah. Melanjutkan
perjalanan yang sempat tertunda. Berharap begitu sampai di bawah kami menemukan
semua pertanyaan yang dapat menjawab semua pertanyaan yang berkelabat di dalam
pikiran kami.
***
Kami berjalan cepat. Bahkan
setengah berlari. Menembus kerumunan orang-orang yang hilir mudik.
Tergesa-gesa. Apa mereka sibuk dengan belanjaan mereka atau takut kehabisan
barang yang ingin mereka beli. Tunggu dulu! Mereka bukan sibuk dengan belanjaan
mereka. Tapi, mereka sibuk menyelamatkan diri dari hal yang tengah menuju
kesini. Mereka tampak menangis. Meraung. Marah. Berteriak. Khawatir.
Kami tetap melangkahkan kaki walau
orang-orang itu memilih jalan yang berlawanan dengan kami. Sebenarnya kami
tidak tahu jalan mana yang harus kami tuju. Apakah kami memilih jalan yang
tepat atau malah mendekati bahaya. Yang pasti kami tetap melangkahkan kaki. Eya
yang memimpin. Sedangkan Ika berjalan di belakangku sambil mengenggam lenganku.
Lebih tepatnya meremas lenganku. Aku ingin memarahinya dan memintanya untuk
melepaskan ngenggamannya karena lengan ini terasa sakit. Ketakutannya memuncak.
Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Tapi aku tidak bisa memarahinya. Aku juga
ketakutan saat menyadari bahwa orang-orang itu beralih memperhatikan kami
dengan tatapan waspada dan mengancam. Seolah mereka akan membunuh kami jika
kami melakukan hal gila.
Kami berusaha untuk tidak mempedulikannya.
Kami tetap melangkah dalam gelap. Ya, tempat ini bercaya redup. Namun aku bisa
melihat setiap ekspresi yang dilontarkan kearah kami.
Eya menghentikan langkahnya. Di
depannya berdiri seorang pria berkaca mata dengan rambut Ikal. Ia memakai jeket
berwarna hijau gelap. Aku mengenalnya. Ia adalah senior kami. Bang Azis, “Makhluk-makhluk terkutuk itu sedang menuju
kesini. Kembali ke tempat tadi!” perintahnya.
Bang Azis tidak sendirian. Ia
bersama seorang pemuda memakai T-shirt putih. Rabutnya kriting seperti bunga
brokoli. Ia juga senior kami, Bang Peb. Dari belakang punggung Bang Peb muncul
seorang gadis bertubuh mungil. Ia memakai baju putih dan jilbab Dongker.
“Ija!” sorak kami serentak dan
memeluknya erat. Bahagia karena ia selamat. Selamat? Selamat dari apa??
“Dila dan Unic?” tanyaku.
Aku tidak mendengar jawaban.
Mereka hanya menatap kami. Seolah jawabannya dapat kami temukan jika
memperhatikan wajah mereka. Tidak ada garis senyuman di wajah mereka. Alis
merekapun tidak menyiratkan sebuah senyuman. Kami mengerti. Tanpa terasa air
mata menggenang di pelupuk mata dan menetes ketika kami harus menerima
kenyataan pahit bahwa Dila dan Unic tidak selamat atau belum ditemukan.
Kamipun melewati langkah Bang Peb dan
Bang Azis. Mereka menuntun kami ke jalan yang baru saja kami lewati.
Lagi, tatapan-tatapan mengerikan
itu ditujukan kepada kami. Kami merasa seperti sekolompok narapidana yang telah
membunuh banyak orang.
“Jangan pedulikan mereka,” tutur
Bang Peb. “Kalian juga akan memberikan tatapan yang sama jika kalian tahu
situasi yang sedang kalian hadapi,” sambungnya.
Kami tidak mengerti. Ijapun
menjawab semua pertanyaan kami dengan jawaban singkat. “Kita diserang Zombi,”
jawabnya dengan suara bergetar.
kami tertawa hambar. Zombi? Di
Padang? Itu hanya cerita fiksi. Tapi kami tetap saja mengikuti langkah kedua
senior kami. Perlahan, rasa percaya tumbuh di hati kami. Mungkin saja semua itu
benar. Ketakutan orang-orang yang ada disini beralasan. Mereka menatap kami
dengan tatapan mengerikan, mengira kami adalah manusia yang telah terkena
infeksi zombie yang tinggal menunggu waktu untuk berubah menjadi zombie dan
menyebarkan virus ke tengah-tengah manusia ini.
Apa yang dikatakan Bang Peb benar.
Sekarang aku memliki pandangan yang sama dengan mereka. Aku mulai menatap waspada ke setiap orang yang
tertangkap oleh pandanganku. Bahkan pada Bang Azis, Bang Peb dan Ija yang baru
saja datang dari arah yang berlawanan dari kami. Mereka tampak berantakan. Noda
darah mengotori pakaian mereka. Apakah itu darah mereka yang keluar dari goresan
di daging mereka akibat tergores aspal, tembok atau benda apa saja yang bisa
merobek daging manusia atau itu adalah darah yang berasal dari tubuh orang lain
yang berusaha mereka selamatkan. Tidak ada yang tahu.
***
Bukankah ini ruangan yang kami tempati tadi? Pikirku. Aku melempar
pandangan kearah Eya dan Rika. Mengharapkan jawaban dari pertanyaanku tapi
mereka sama bingungnya denganku. Mereka hanya menggeleng dan mengangkat bahu.
Tampaknya kali ini semua lampu di
padamkan. Entah untuk apa. Apakah aliran listriknya yang terputus atau memang
harus dimatikan. Yang jelas ruangan yang tadi kami tinggalkan dalam keadaan
terang telah berubah menjadi gelap. Untung ada sebuah lampu yang yang terletak
di atas meja tengah menyala. Cahaya lampu itu berwarna hijau.
Detik berganti menit. Menit
berganti jam. Dan tampa terasa, berjam-jam sudah kami berada di ruangan gelap
ini. Kami hanya diam. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Eya dan Ija duduk
di membelakangi dinding. Mereka tampak frustasi menghadapi persoalan ini.
Sedang Bang Azis duduk di sudut ruangan dengan kepala tertunduk. Bang Peb
berdiri memunggungi dinding. Sedangkan Ika sibuk mencoret-coret kertas di
sampingku. Kami duduk membelakangi sofa putih.
Suasana hening. Hening dan hening.
Bahkan aku dapat mendengar setiap gesekan pensil yang tengah Ika kerjakan. Aku
juga dapat mendengar detak jantungku sendiri. Aku terhenyak saat menyadari bahwa
ada suara yang bukan berasal dari dalam ruangan ini. Suara derap kaki. aku
mendongak. Memperhatikan wajah yang lainnya. Mereka sama terkejutnya denganku.
Kami bangkit. Bersiap menyelamatkan diri jika hal buruk mengunjungi kami.
Keringat dingin menetes dari pelipisku. Aku benar-benar ketakutan. Belum siap menyambut
tamu yang haus darah. langkah itu semakin dekat. Dekat. Aku dapat mendengar
langkah itu memasuki lorong pendek menuju ruangan ini. Aku mendengar suara
tarikan nafas. Pelan dan berat.
Tampak sebuah siluet dari kaca
yang menempel di pintu. Aku semakin ketakutan saat siluet itu mendekati pintu
dan knop pintu berputar. Aku bahkan menahan nafas. Berharap jika aku
melakukannya siluet itu tidak akan melihatku. Pintu terbuka dengan cepat. Masuk
seorang pemuda memakai jeket hitam. Ia langsung menutup pintu dan memunggungi
pintu itu, lega karena telah berada di ruangan ini.
Siapa dia? Pikirku. Tapi semuanya tampak lega dan kembali tertuduk.
Mereka melontarkan sedikit senyuman geli.
Pemuda itu bangkit dan
melangkahkan kaki menuju sofa putih yang aku jadikan sebagai sandaran. Ia
menduduki lengannya. Ika bangkit dan menghampiri pemuda itu sambil membawa
papan sketnya. Ia menyerahkan hasil gambarnya pada pemuda itu dan duduk di
sampingnya. Ia membiarkan pemuda itu memperhatikan gambarnya sejenak. Aku
sadar, Ika mengenakan T-shirt putih berlengan pendek. Rambutnya tergerai di
punggungnya.
“Gambar Ika semakin bagus,” puji
pemuda itu. Ia menarik tangan kanannya ke belakang dan meraih lengan kanan Ika.
Ia membelainya lembut seperti belaian seorang abang ke adiknya. Ika tampak
tersenyum walau aku tidak dapat melihat wajahnya. Aku tidak dapat melihat wajah
pemuda itu. Wajahnya tertutup tudung jeket. Aku hanya bisa melihat punggungnya.
Siapa pemuda ini? Abang Ika? Tidak mungkin. Ia hanya punya dua adik
laki-laki. Ika tidak pernah bercerita kalau dia punya saudara laki-laki yang
lebih tua. Pikirku.
***
Kami mendengar derap kaki di luar
sana. Itu bukan langkah manusia normal. Lebih seperti suara langkah yang di
tarik. Langkahnya begitu berat dan lemah. Tidak hanya satu. Kami mendengar
banyak langkah yang serupa. Apa itu langkah para zombi? Apa mereka berhasil
mencium kehadiran kami? Lagi-lagi jantungku berdegup kencang. Wajhku memanas.
Keringat dingin bermunculan.
Lagi-lagi muncul sebuah siluet dari
jendela. Siluet seorang wanita berambut panjang. Ia berjalan kaku dan pincang.
Kepalanya tertetuk kekanan. Aku tahu, itu adalah zombie. Sontak aku berlari
kearah pintu yang sedikit terbuka. Menutupnya pelan agar zombie itu tidak
mencium bau kami. Aku menahan pintu itu dengan punggungku. Aku terduduk. Masih
menahan pintu agar tetap tertutup rapat.
Sebuah ketukan lemah
mengagetkanku. Mereka menyadari kehadiran kami. Aku memberanikan diri untuk
mendongak dan melihat siluet yang ada di balik jendela. Aku meihat Bang Azis
menebar senyum mengerikan kearahku. Bulu kudukku merinding. Tatapan itu sangat
mengerikan. Namun perlahan senyuman itu berubah menjadi sebuah permohonan.
Mungkin aku berhalusinasi. Cahaya hijau dari lampu itu membuat wajah setiap
orang terlihat mengerikan. Termasuk wajah Bang Azis yang terkena bias cahaya
melewati jendela pintu. Akupun bangkit dan membuka pintu. Mengizinkan Bang Azis
untuk masuk.
***
Getaran dinding semakin kuat.
Seperti ratusan benteng yang membenturkan kepala mereka ke dinding yang telah
diberi cat berwarna merah. Mereka benar-benar berhasil mencium bau kami.
Mungkin karena noda darah yang ada di pakaian Bang Azis, Bang Peb dan Ija yang
menuntun mereka ke lantai ini.
Kami segera berlari menuju pintu yang ada di
dalam ruangan itu. Pintu itu menuntun kami menuju sebuah ruangan kecil
berukuran 3 x 3 meter. Ruangan itu tidak memiliki jendela sekecil apapun. Juga
tidak ada lampu yang menerangi. Namun bercahaya redup. Kami tidak tahu darimana
asal cahaya itu.
Kami berada di ruangan yang
benar-benar tertutup rapat. Sepertinya ruangan ini di desain untuk bersembunyi
dari para zombie karena pintunya yang terbuat dari besi tebal dan cukup berat.
Bahkan pintu itu tidak memiliki celah di bagian bawahnya. Kami merasa cukup
aman untuk sementara waktu.
Kami diam. Tidak mengeluarkan
suara. Bahkan kami menutup mulut kami agar mereka tidak mendengar suara tarikan
nafas yang keluar dari mulut kami. Perlahan, suara dentuman itu menghilang
hingga akhirnya sunyi kembali. Kami lega.
Tiba-tiba, suara dentuman kembali
terdengar. Kali ini lebih kuat. Dinding-dinding kembali di serang. Sepertinya
dinding ruangan di luar telah berhasil mereka hancurkan. Mereka mendekati
ruangan kecil ini. Kami terkepung. Ruangan ini telah di kelilingi puluhan, ratusan
mungkin ribuan zombie. Lantai juga mulai bergetar. Tampaknya zombie-zombi itu
membenturkan tubuh mereka keatap di lantai bawah. Lantai tempat kami berpijak
sekarang. Lantai mulai retak.
Kami semakin putus asa ketika kami
mendengar suara zombie di dalam ruangan ini. Kami melihat sekeliling dan tidak
menemukan satu lubangpun yang bisa dijadikan jalan masuk bagi zombi-zombi itu.
Tapi satuhal yang membuat kami benar-benar ketakutan melebihi ribuan zombie
yang ada di luar. Kami telah menemukan sumber suara itu. Suara itu bersumber
dari Bang Azis yang perlahan berubah menjadi mayat hidup. Tubuhnya mengejang. Matanya
berubah semerah darah. Kulitnya memucat. Urat nadi di sekujur tubuhnya terlihat
jelas. Kepalanya berputar ke kiri kekanan. Putaran itu berhenti ketika
terdengar suara tulang yang patah. Sekarang jelas, penyebab goresan di lengan
Bang Azis adalah bekas gigitan zombie yang berusaha ia elakkan.
Kepanikan menyerbu kami. Kami
berusaha mencari jalan keluar ataupun alat yang bisa menghentikan pergerakan Bang
Azis. Tapi tidak ada satupun alat yang bisa di gunakan. Sementara itu Bang Azis
mulai menyeret kakinya mencari bau darah yang tercium olehnya. Aku hanya bisa
berdiam diri, berdoa dan menutup mata. pasrah.
***
Aku membuka mata. Jantungku berdegup kencang. Nafasku
sesak. Aku berada di ruangan yang bercahaya redup. Aku mengedipkan mata dan
melihat langit-langit ruangan. Dimana
ini? Pikirku, mataku menerawang. Aku melihat lemari, dinding, gambar, dan
buku. Aku mengenal ruangan ini, ini adalah kamarku. Aku menoleh ke kanan dan
mendapati kakakku tertidur pulas. Aku mengangkat tangannku. Gemetaran. Ada
sebuah selimut. Aku menarik nafas. Sepertinya itu hanya mimpi, pikirku. “Ini
hanya mimpi.” Ulangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar