Pertemuan yang Telah
Ditakdirkan
Awan gelap dan berat mulai merangkak pelan menutupi
langit London. Anginpun ikut serta seolah menuntun awan mendung itu menuju
tanah gersang yang sejak siang tadi terkena teriknya cahaya matahari.
Tetesan hujan
mulai menghantam atap-atap rumah
yang telah dibangun dengan amat kokoh. Guntur
menggelegar. Angin kecil yang awalnya hanya sepoy-sepoy mengamuk menerpa pepohanan. Cahaya
bulan memantulkan bayangan pepohonan yang tampak seperti monster yang tegah
mengendap mencari mangsanya.
Tidak ada yang memperdulikan kemurkaan alam saat itu. Kecuali seorang remaja, Vavelin Aldridge,
terbangun begitu mendengar suara kilat. Ia melirik jam wekernya dan mendapati masih pukul dua
malam. Ia kembali menarik selimutnya, memejamkan mata, tapi derasnya hujan
membuat ia
tidak dapat
berkonsentrasi dengan tidurnya. Ia
mencoba berbagai cara. Memikirkan
teman-temannya, berhitung, bahkan
mencoba untuk menikmati cahaya lampu tidur yang menembus kelopak matanya, tapi matanya tetap tidak bisa diajak berkompromi.
Akhirnya, ia memutuskan untuk turun dari tempat tidur, dan menghidupkan lampu kamar.
Ia berdiri sejenak di ambang pintu. Memikirkan apa yang akan ia lakukan, sambil
memperhatikan kamarnya yang penuh dengan kardus dan koper. Ia kembali teringat akan kenyataan pahit yang harus
ia jalani. Bahwa ia baru saja
pindah bersama keluarganya dari Amerika karena sang Ayah sangat merindukan kampung halaman yang telah ia tinggalkan
semenjak anak gadisnya berumur 7 tahun.
Ia mulai membuka
langkah. Menyusuri lantai menuju
tumpukan kardus yang berada di samping meja belajarnya. Begitu tubuhnya sampai di depan tumpukan kardus itu.
Ia menarik salah satu kardus dan
membukanya. Ia mengacak-ngacak isi kardus itu hingga
menemukan subuah kotak kayu
berwarna coklat. Kotak itu adalah
hadiah dari sahabatnya, Vlowrince. Kotak berisi
benda-benda kenangannya bersama teman-temannya selama ia tinggal di Amerika.
Ia membuka kotak itu, mengambil sebuah album foto berukuran kecil dan mulai membalik-balikkan album itu sambil tersenyum sedih.
Album itu berisi semua
kenangan bersama teman-temannya di
sekolah. Album itu merupakan hadiah dari teman-temannya, agar disaat ia merindukan mereka, ia dapat melepas rindu
dengan melihat isi dari album mini itu. Ia
cukup senang dengan ide itu.
Lembaran pada album itu berakhir, ia meletakkannya kembali ke dalam kotak, dan mengambil
sebuah gelang pemberian Vlowrince saat ulang tahunnya yang 16, gelang itu
berwarna hitam, cocok dengan gaun yang ia pakai di saat perayaan ulang tahunnya. Vlow memang mengetahui
seleranya.
Ia mematung. Memperhatikan tumpukan kardus dan koper di
dalam kamarnya. Apa yang harus aku
lakukan dengan kardus-kardus ini? pikirnya. Mungkin
aku harus memisahkan kardus yang akan aku perlukan di asrama dengan kardus yang
tidak akan dibawa, sambungnya sambil menarik kardus yang ia rasa perlu.
Besok pagi ia tidak akan berada di rumahnya yang baru saja ia tempati. Ia tidak akan tidur di kasur yang telah ia
tempati sejak berumur delapan tahun itu, mulai besok ia akan
menetap di asrama sekolah.
Tanpa disadari, jam telah menunjukkan pukul enam
pagi, ia
bergegas berdiri dari lantai kamarnya, mengambil baju handuk, dan langsung
berjalan menuju kamar mandi yang tidak begitu jauh dari kamarnya.
Dengan
enggan, ia menyirami
tubuhnya dengan air yang terasa cukup
dingin, menyabuni tubuhnya, dan kemudian
menyiramnya kembali. Dengan setengah menggigil ia menyeka tubuhnya dengan
handuk, dan mengenakan baju handuk.
Dengan langkah malas, ia keluar dari kamar mandi menuju kamarnya. Ia mengambil
seragam sekolah yang telah disetrika ibunya dengan rapi di dalam almari dan
mengenakannya. Rok, kemeja, rompi, dan jas ia pakai satu per satu. Seragam itu
membuat tubuhnya terasa hangat.
Ia
menyisir rambut ikalnya yang panjang, dan memberinya pita, membuatnya tampak
anggun dan cantik. “Kenapa aku tidak pernah mengikat rambutku, ya?” tanya Vav
sambil melihat wajahnya di cermin.
“Itu kerana kau memilliki tanda lahir yang aneh,” jawab sesosok wanita diambang pintu Mrs. Favian. Di tubuhnya
terpasang sebuah celemek.
“Yeah, kau benar Mom,” balasnya.
“Waktunya sarapan. Aku telah menyiapkan sereal untukmu,” ajak ibunya.
“Oh, tentu,” jawab Vav sambil manggandeng Ibunya untuk
turun ke lantai satu.
Ia mengunyah sarapannya dengan perasaan yang campur
aduk. Sedih, antusis, cemas. Ia tidak bisa disalahkan. Karena selama hidupnya ia
selalu memakan sereal buatan Ibunya. Namun, besok pagi ia tidak akan memakan sereal buatan ibunya
lagi. Ia juga merasa antusias dengan teman-teman di sekolah
barunya. Apakah ia akan segera mendapatkan teman baru atau justru ia akan
sendirian selama beberapa bulan.
Begitu ia berhasil menghabiskan sarapannya, Ia mencuci peralatan makan mereka, dan langsung menuju
kamarnya mengambil koper yang telah ia persiapkan tadi malam.
“Kau cocok sekali
memakai seragam itu, Vav,” ujar ayahnya yang dari tadi memperhatikan anaknya
dari pintu.
“Thank’s, Dad,” balas Vav.
“Vav, apa kau yakin akan menetap di asrama itu?
Kalau kau berubah pikiran, aku bisa membatalkannya. Lagi pula kita baru saja pindah kesini, apa kau
tidak ingin beradaptasi dulu?”
tanya Ayahnya sedih, meminta anak
satu-satunya mengubah keputusan yang telah ia buat.
“Tidak, Dad. Aku sangat yakin, aku ingin mandiri, selama
ini kalian telah merawatku dengan baik,”
sanggah gadis berambut ikal itu. “Lagi pula aku ingin merasakan suasana yang
berbeda. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bersekolah dengan seragam dan menetap
di asrama. Bukankah itu menyenangkan?” sambungnya antusias.
Mr. Favian tersenyum hangat. Bangga dengan keputusan
anaknya. “Baiklah, jaga dirimu
baik-baik dan jangan bikin ulah, ok,” katanya memeluk
erat tubuh anaknya.
Ia dan
ibunya masuk ke dalam mobil, ketika Mr.
Favian sibuk memasukkan barang-barang putrinya ke dalam bagasi mobil. Di perjalanan menuju sekolah, ibunya
memeluknya dengan erat. Air matanya menetes dan mengenai pipi putri tunggalnya
itu.
“Tenang Mom, aku tidak akan melupakan kalian,” ujar Vav
sambil menghapus air mata ibunya.
Ia
memperhatikan ayahnya yang mengemudi dengan tenang. Sekilas
terlihat leher ayahnya dan tampak sebuah tanda lahir yang berusaha ia sembunyikan dengan kerah jasnya.
Tanda itu mengingatkan gadis itu dengan asal usul
keluarganya yang aneh. Ayahnya selalu menceritakan
tentang keluarganya yang merupakan keturunan Elf dari De Vlacoure. Awalnya ia
tidak mempercayainya, tapi orang tuanya selalu
meyakinkannya dengan sabar. Dengan menunjukkan foto-foto keluarga mereka
terdahulu, yang memiliki telinga yang aneh. Vav berusaha mencari tahu mengenai
keberadaan bangsa Elf dan beberapa informasi yang ia dapat mengatakan bahwa Elf
itu memang ada.
Dengan informasi yang ia dapat dan kecocokan yang dimiliki keluarganya, Vav berusaha
untuk mempercayainya.
Tapi mereka memiliki satu masalah besar. Mereka tidak
mengetahui dimana De Vlacoure berada. Mereka telah mencarinya di Internet, buku
dan menanyakannya ke kakek-nenek mereka, tapi yang mereka dapatkan hanyalah
informasi tidak jelas. Mereka berkata bahwa yang mengetahui keberadaan De Vlacoure hanyalah leluhur
mereka yaitu Lord Armus dan Lord Coloneir.
Ia
tersadar dari lamunannya begitu merasakan sesuatu yang dingin mendarat di
pipinya. Ia melirik ibunya yang menangis, dan menghapus air mata
ibunya. “Sudahlah, Mom. Aku tidak akan meninggalkan kalian untuk selamanya, aku
hanya pindah ke sekolah baru dan menetap di asrama,” ujarnya
berusaha menenangkan ibunya.
“Vav, aku hanya sedih karena akan berpisah dengan anak
tunggalku. Siapa
yang akan membuatkan sereal untukmu
disana?” tanya ibunya berlinang air
mata.
“Hayden, dia itu bukan anak kecil lagi yang harus dibuatkan
sereal setiap
pagi,” jawab Mr. Favian berusaha menolong sang
anak dari tangisan
ibunya.
“Yeah, Dad benar. Aku sudah besar, aku sudah berumur 17
tahun yang bisa membuat sereal sendiri, Mom,” tambah Vav.
Mereka terdiam sejenak sampai ayahnya berkata,”Baiklah
semuanya, kita sampai di sekolah baru Vav,” sambil menuntun mobilnya memasuki
gerbang sekolah.
Vav melepaskan pelukan ibunya dan melongok keluar. Sekolah itu sangat bersih dan
indah. Bunga-bunga ditata dengan rapi. Pohon-pohon tumbuh dengan rindang.
Mr. Favian menghentikan mobilnya di depan kepala sekolah dan staf sekolah yang telah
menunggu kedatangan murid baru. Vav langsung membuka pintu dan keluar dari
mobil. Di
luar begitu
dingin, memaksanya untuk memeluk dirinya sendiri. Mereka berjalan menemui
orang-orang yang telah setia menyambut mereka.
“Pak, tolang bawakan koper-kopernya,” perintah kepala
sekolah kepada seorang pria yang bertugas menjaga sekolah.
“Hai, Vavelin selamat datang di sekolah barumu.” sambut kepala
sekolah.
“Senang bersekolah di sini Mr. Torsten,” balas Vav sambil
membungkuk hormat.
“Kalau begitu sebaiknya kita langsung ke ruangan saya, di
sini begitu
dingin,” saran Mr. Torsten.
Mr. Torsten berjalan sambil mempersilahkan Vav dan kedua orang
tuanya untuk masuk ke dalam. Teras sekolah itu bersih dan
mengkilat. Lemari-lemari kaca yang berisikan piala-piala berbagai kejuaraan di tata rapi di sepanjang lorong menuju ruang
kepala sekolah. Mr. Torstern dengan bangga menjelaskan tiap-tiap piala yang ada
di lemari kaca itu.
“Silahkan masuk,” Mr. Torsten mempersilahkan Vav dan kedua orang
tuanya untuk
masuk. Ruangan itu hangat. Dinding-dinding
ditempeli potret-potret kepala sekolah sebelumnya. Ada yang sudah tua, ada juga yang masih muda.
Ada yang pria dan ada juga wanita.
“Kalau begitu silahkan ditandatangani,” ujar
Mr. Torsten sambil menyodorkan secarik kertas persetujuan. Surat itu berisi
tentang kesepakatan yang menyatakan bahwa Vav setuju untuk menetap di asrama
sekolah sampai ia menamatkan studinya di sana.
Setelah mengurus semua
surat kepindahannya, salah satu guru
mengantarkan mereka menuju asrama yang akan di tempati oleh Vav. Setiba
di kamar baru gadis itu, mereka melihat
seisi kamar. Di sana terdapat
lima buah ranjang dan sebuah laci
yang berdiri di samping ranjang. Di atas laci itu terdapat foto gadis yang
menempati ranjang itu. Kecuali satu laci yang
belum terisi karena belum ada yang menempatinya.
Vav membuka pintu beranda, keluar dan melihat sekeliling.
Kamarnya
menghadap ke sebuah bukit, dan setiap sore bukit itu akan berwarna orange
karena terkena cahaya matahari yang akan terbenam.
“Sepertinya, aku akan betah di sini,” ujar Vav
menyenangkan hati Guru barunya itu.
“Baiklah kalau begitu sepertinya kami harus pamit,” pamit Mr. Favian. “Jaga dirimu baik-baik, ok,” perintahnya
sambil memeluk anaknya.
“Yeah, Dad,” balas Vav sambil membalas pelukan ayahnya.
“Kami akan sering mengunjungimu,” tambah ibu Vav sambil
berlinang air mata saat memeluk anaknya.
“I love you Mom,” ujar Vav membalas pelukan hangat ibunya.
“I love you to,” balas ibunya.
Mr. Favian dan Mrs. Favian berjalan meninggalkan
anak mereka bersama Gurunya.
“Nah Vav, apa kau akan langsung ke kelas?” tanya Gurunya.
“Oh, tentu,” balas Vav sambil berjalan mengikuti Gurunya.
Di tengah perjalanan menuju kelas barunya, tiba-tiba Vav
merasa ingin ke toilet untuk buang air kecil. “Bu,” panggilnya, “Sepertinya
aku harus ke toilet dulu sebelum ke kelas,” ujar Vav, “Dan sebaiknya Anda
melanjutkan pekerjaan di kantor, takutnya terganggu,” tambahnya
berbasa-basi.
“Baiklah, tapi apa kau tau jalannya?” tanya wanita itu.
“Tenang, aku memiliki peta sekolah ini,” jawab Vav.
Guru itu membalasnya dengan anggukan kecil dan
meninggalkan Vav.
Vav mengambil peta sekolah di dalam sakunya,
mengembangkannya dan mulai mencari-mencari lokasi toilet. Ia langsung
melangkahkan kaki begitu menemukan tulisan toilet di utara tempat ia berdiri
sekarang.
Begitu selesai mencuci tangan dan merapikan pakaiannya,
ia langsung keluar dan menuju kelas. Vav melihat tangannya yang semula memegang
sebuah peta dan memeriksa saku-saku yang ada di pakaiannya, dan tas yang di
sandangnya. Tapi ia tetap tidak menemukan peta itu. Ia kembali masuk
ke toilet untuk memeriksa, mungkin saja tertinggal atau terjatuh. Tapi tetap saja tidak ada
hasil. Ia
keluar dengan tampang yang putus asa. Hari
pertama yang sangat buruk. Dan mulai sekarang aku berjalan menuju kelas tanpa
petunjuk sedikitpun. Bagus, pikirnya.
Ia tidak tahu arah mana yang ia tuju. Ia menimbang-nimbang arah mana yang benar hingga ia melihat tiga orang murid berjalan
kearahnya.
Mungkin aku bisa bertanya pada
mereka, pikirnya
dengan senyum mengambang di pipinya.
“Permisi, aku Vavelin Aldridge, murid baru, aku ingin bertanya kelas B6
dimana, ya?” tanya Vav sambil menghampiri mereka.
“Kelas B6? Oh...kau lurus dari sini, belok kiri. Ruangan
keempat sebelah kanan,” jawab salah satu diantara mereka. Dia adalah seorang gadis berambut hitam. Ia memakai
sebuah bando yang juga berwarna hitam.
“Thank you, senang bertemu dengan kalian. Aku harus
pergi,” pamitnya sambil berjalan menuju arah yang ditunjukkan gadis
tadi.
“Aku harap kita bertemu lagi!” teriak pemuda yang mengenakan jas sekolah.
“Ok,” balas Vav membalikkan
tubuhnya dan melambaikan tangan kearah mereka.
Mereka memperhatikan punggung siswi baru yang setengah
berlari meninggalkan mereka. Mereka tersenyum.
“Teman baru kita tersesat,” tutur gadis berambut hitam
itu.
“Sayang sekali, dia tidak setinggi yang aku
banyangkan,” keluh pemuda yang menggunakan jas.
“Kau terlalu berharap banyak Gerald,” balas gadis
berambut hitam meninju lengan pemuda itu.
“Vlow, jangan memulai pertengkaran denganku ya!”
bentak Gerald.
“Sudahlah. Sampai kapan kalian akan berkelahi
seperti ini?” lerai pemuda memakai jeket,
“Oh ya, Vlow, tumben kau
memberinya arah yang benar,” tanya Austin
mengalihkan pembicaraan.
Vlow tersenyum, “Hanya ingin memberi kesan yang baik dengan teman baru kita,”
jawabnya sambil melangkahkan kaki.
***
Setiba di depan kelas barunya, Vav dengan gugup merapikan
pakaiannya, agar tidak memalukan di depan kelas. Ia mengetuk pintu dan
menunggu seseorang untuk membukanya. Knop pintu berputar, pintu berderit, muncul
seorang wanita muda memakai kaca mata.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya guru yang mengajar di
kelas B6.
“Ya, aku Vavelin Aldridge murid baru di kelas ini,” jawab Vav sambil
menyerahkan sebuah kertas.
Wanita itu mengambil kertas yang disodorkan kearahnya.
Ia membaca isi surat itu dan tersenyum, “Oh...tentu silahkan masuk, kami sudah menunggu. Tapi terlebih dahulu, aku
Miss.
Cristine,” ujar Miss. Cristine mempersilahkan murid barunya untuk
masuk.
Vav mengikuti Miss. Cristine dari belakang dengan malu-malu. Begitu ia sampai di depan kelas ia menghentikan
langkahnya dan menghadap kearah murid-murid yang memperhatikan. Mereka tampak
saling bisik dengan teman di sebelah mereka.
“Anak-anak, tenang sebentar!” sorak Miss Christine, “Hari
ini di kelas kalian kedatangan murid baru dari Amerika.
Nah silahkan perkenalkan dirimu,” ujar Miss. Cristine mempersilahkan Vav memperkenalkan diri.
Vav berdiri dengan canggung. Ia memperhatikan setiap
wajah yang balik memperhatikannya. Ia menelan ludahnya karena gugup. “Hai, guys. Aku Vavelin Aldridge, seperti yang dikatakan Miss.
Cristine tadi, aku adalah murid baru di kelas kalian. Mohon bimbingannya,” ujarnya
memperkenalkan diri.
Semua murid balik menyapanya dan memberikan senyuman
selamat datang.
“Baiklah Vav, kalau begitu silahkan duduk di salah satu
kursi yang kosong itu,” perintah Miss. Cristine. “Lagi-lagi mereka terlambat,” gerutunya memperhatikan beberapa kursi yang kosong, “Baiklah anak-anak silahkan buka halaman 52...” perintah Miss.
Cristine terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Pintu
terbuka, masuk tiga orang siswa yang masih menyandang tas.
“Kalian terlambat lagi, pada pelajaran saya,” tegur Ms.
Cristine.
“Ayolah Miss. Cristine ini yang terakhir kali
kami lakukan pada jam pelajaran Anda,” kata Gerald memohon kepada guru yang mengagumi
ketampanannya itu.
Miss Cristine tersipu malu saat mendengar Gerald
mengucapkan namanya, “Duduklah,
sebelum aku berubah pikiran,” Miss. Cristine mengalah
dengan pipi yang memerah.
“Thank you,” balas Vlow dengan hormat.
Mereka berjalan menuju kursi yang kosong disamping Vav.
“Kita bertemu lagi,” sapa Vlow begitu berhasil meraih
kursi di sebelah Vav.
“Ya...” balas Vav dengan senyuman.
Saat mengikuti pelajaran ada hal yang
membuat Vav tidak nyaman, Vlow yang duduk di sampingnya memperhatikannya seakan
ia memiliki sesuatu yang dilarang untuk dimiliki seorang manusia. Bulu kuduknya
merinding, tapi ia tidak sedang ketakutan, beberapa detik kemudian Vav
menyadari kalau tanda lahirnya tidak tertutup rambutnya. Vav
langsung menutupinya sambil mengatur raut wajahnya, agar tidak aneh. Dan Vlowpun langsung menghadap ke arah Miss. Christine.
Pagi ini Vav tidak tertarik untuk ke kantin karena cuaca
dingin, ia lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas dan meladeni
teman-teman barunya yang ingin mengetahui semua hal tentangnya.
Bel berbunyi semua murid bergegas menuju kelas
masing-masing. Austin, Gerald, dan Vlow masuk dengan anggun ke dalam kelas
membuat Vav teringat dengan keluarganya. Austin menebar senyum kearahnya,
dan membuat Vav tersadar dari lamunannya sambil menunduk malu.
Selama proses pembelajaran ia hanya melamun dan bermain-main dengan penanya karena bosan. Dua jam kemudian murid-murid dikejutkan
dengan bunyi bel panjang yang menandakan mereka diperbolehkan pulang.
Vav berjalan dengan malas menuju kamarnya. Ia geram karena tidak kunjung menemukan kamarnya. Bagaimana tidak, ia kehilangan satu-satunya peta yang ia miliki. Gadis itu merasa sangat gugup saat melewati lorong
asrama. Semua orang yang ada di sana memperhatikannya sambil tertawa-tawa
kecil. Ia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan mendapati ada
banyak laki-laki yang berdiri di ambang pintu dan mentertawakannya, Astaga, ini asrama laki-laki, katanya
mengutuk diri sendiri. Ia langsung
berbalik arah dan berjalan dengan kepala yang tertunduk karena malu. Ia mempercepat
langkahnya dan mencari pintu keluar. Tapi tiba-tiba ia menabrak seseorang dan
semua barangnya berhamburan.
“Aw...maaf...aku tidak melihatmu...sekali lagi maafkan
aku,” tutur Vav meminta maaf.
“Hei...Kau Vavelin bukan?” tanya pemuda yang ditabraknya sambil menolong Vav mengemasi barang-barangnya.
“Ya...itu aku,” jawab Vav sambil berdiri. “Tunggu,
kau...” Vav berusaha menebak nama orang yang di tabraknya itu.
“Oh ya, kita belum
kenalan, aku
Austin Livistron, kau Vavelin Aldridge si gadis yang tersesat tadi pagi kan?” tebak
Austin menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Ya...ternyata kau masih ingat, itu adalah pengalaman
yang sangat memalukan,” jawab Vav meraih tangan Austin sambil tertawa.
“Tunggu...apa yang kau lakukan disini, inikan asrama
laki-laki?” tanya Austin bingung.
“Aku harap kau tidak menertawakan ku,” harap Vav.
“Apa kau tersesat lagi?” tanya Austin berusaha menebak.
Vav mengangguk malu. Austin tertawa, Vav baru menyadari
ternyata di saat tertawa Austin sangat menawan, pantas perempuan yang ada di
sekolah tergila-gila dengannya. Tapi, sayangnya Austin selalu dingin dengan
mereka.
“Ayolah, aku bukan robot yang bisa menyimpan dan memutar
kembali memori ingatanku,” balas gadis itu.
“Ya...ya...kalau begitu mari aku antar, aku adalah
pemandu darmawisata yang baik, yang tidak ingin melihat pengunjungnya
ditertawakan karena tersesat,” tutur Austin menawarkan diri.
“Baiklah Bapak pemandu,” sahut Vav.
Selama diperjalanan mereka terlibat perbincangan
kecil. Vav menceritakan alasannya pindah dan menetap di asrama.
“Tunggu, seingatku kau berasal dari Amerika, tapi
logat Britishmu sangat bagus,” tanya Austin heran.
“Sebenarnya aku ini lahir di London. Ketika umurku
tujuh tahun kami pindah ke Amerika. Aku tidak tahu apa alasannya,” jawab Vav.
Austin mengangguk dan mereka kembali melanjutkan
perjalan dengan bercerita.
“Oke...kita sudah sampai di tempat tujuan, terima kasih
atas kunjungannya ke museum kami,” tutur
Austin begitu sampai di depan pintu asrama wanita.
“Oh, terima kasih Bapak pemandu. Anda memang pemandu yang
profesional,” balas Vav tersenyum manis.
“Hei Austin sedang apa kau disini?” tanya seorang
laki-laki.
“Gerald? Aku...” jawab Austin bingung.
“Dia hanya mengantarkanku ke sini karena tersesat,” jawab
Vav mambantu Austin.
“Tunggu kau Vavelin yang tadi pagi tersesat, bukan?” tanya
Gerald.
“Ya, kau ingat, ha,” balas Vav.
“Oh tentu, aku Gerald Axzalorg,” ujarnya sambil
menyodorkan tangan.
“Cukup dengan Vav saja,” balas Vav berjabat tangan.
“Sebaiknya aku ke dalam, membereskan barang-barang.
Sekali lagi terima kasih,” ujar Vav.
“Oh...tentu. Silahkan,” balas Austin.
Vav berjalan meninggalkan dua orang pria tampan di
sekolah barunya itu. Ia merasa bodoh sekali karena di hari pertama sekolah ia
sudah dua kali tersesat.
“Tanda lahir yang bagus!” sorak
Austin dari kejauhan. Begitu Vav menyadari pemuda
itu bersorak ke arahnya, ia
langsung mengecek kuduknya, ternyata tidak tertutup rambut panjangnya. Ia
langsung menutupinya dan berlari menuju kamarnya.
“Tanda lahir?” tanya Gerald bingung.
“Ya...Vlow benar.
Gadis itu punya tanda yang sama
dengan kita. Apa kau tidak melihatnya tadi?” tanya Austin.
“Tidak,” jawab Gerald.
“Tapi itu mungkin kebetulan saja,” balas Austin.
“Kalau Vav sama dengan kita, bagus bukan,” tambah Gerald.
Vav berhenti di depan kamarnya, mengatur nafas, dan
memutar knop pintu. Tiba-tiba suara terompet dan tepuk tangan menyambutnya ketika
memasuki kamarnya.
“Selamat datang,” sambut teman-teman se kamarnya.
“Oh...Thank You. Kalian tidak perlu repot seperti ini,”
balas Vav berusaha memberi kesan yang baik.
“Aku sudah memperingatkan mereka untuk tidak berlebihan.
Tapi satu lawan tiga, aku kalah,” tutur
Vlow.
“Hai, kita satu
kamar,” ujar Vav senang begitu menyadari keberadaan Vlow.
“Ya, begitulah. Aku Vlow, dia Becca, Ible, dan Kate,”
balas Vlow memperkenalkan Vav dengan teman se kamarnya.
“Hai, aku Vavelin Aldridge, panggil aku Vav saja. Mohon bimbingannya,”
balas Vav.
Setelah memperkenalkan dirinya, Vav membersihkan
barang-barangnya dengan di bantu teman barunya. Mereka memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi kepada
Vav dan iapun
menjawabnya dengan senang hati, karena kekhawatirannya salah. Ia
sempat khawatir kalau mereka tidak akan menyukainya.
Disela-sela perbincangan, Vav melihat Vlow memiliki tanda lahir di tempat yang sama dengannya miliknya. Ia sempat terkejut
namun kembali menguasai dirinya. Mungkin itu hanya tato, pikir Vav dan mulai mengabaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar