Rabu, 18 Desember 2013

De Vlacoure


setelah bolak-balik bukak blog dan M.Word, kembali lagi ke blog dan balik lagi ke M.Word selama beberapa jam, akhirnya keberanian untuk ngepost prolog ini muncul. hehe. selamat membaca,, semoga suka 
PROLOG

Langit timur berubah warna, awalnya pekat perlahan-perlahan menjadi hambar. Tampak seberkas cahaya jingga tua menyirami langit timur yang sudah berwarna ungu. Berusaha mengatakan kepada manusia agar keluar dari persembunyian mereka, membuka selimut yang melindungi mereka dari dinginnya angin malam agar segera membuka jendela dan menyaksikan betapa indahnya pagi ini.
Disaat semua orang disibukkan dengan rutinitas pagi mereka, ada dua remaja yang masih bermalas-malasan di balik selimut kamar asrama mereka. Gerald dan Vlow, mereka belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian menjadi seragam sekolah. Padahal jam weker telah berteriak sedari tadi agar mereka segera bangun. Teman-teman mereka hanya bisa menggeleng-geleng dan menghela nafas.
Namun, diantara teman-teman yang hanya bisa menghela nafas, ada juga yang masih peduli. Salah satunya Katherine, teman satu kamar dengan Vlow. Dengan sedikit menggulung lengan kemeja sekolahnya ia menarik selimut Vlow dan mencimpratkan air ke wajah Vlow yang masih tampak sangat malas.
“Iya, aku bangun sekarang. Apa kau puas?” bentak Vlow dengan mata yang masih mengantuk. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi guna membersihkan diri
Sementara itu, di dalam kamar yang berbeda, Gerald bermain tarik tambang bersama teman sekamarnya. Setiap lima menit Austin akan menarik selimut Gerald, dan setiap itu pula Gerald akan menarik kembali selimut itu hingga menutupi tubuhnya.
“Apa boleh buat, tidak ada cara lain selain itu. Mark apa kau mau mengambilnya untukku?” tanya Austin yang kewalahan dengan teman satu kamarnya itu.
“Oh, tentu. Inilah saat yang selalu aku tunggu-tunggu setiap pagi,” sahutnya belari keluar kamar.
Begitu Mark kembali, di tangannya tampak seekor kelinci berwarna hitam. Saat itu jam menunjukkan pukul enam pagi. Mark langsung menyerahkan kelinci itu kepada Austin yang berdiri di samping ranjang Gerald.
“Kau memaksaku untuk melakukan ini,” tuturnya seraya meletakkan kelinci hitam itu tepat di depan wajah Gerald.
Diletakkan di atas kasur dengan wajah seseorang di depannya, membuat kelinci itu bingung dan memilih untuk menjilati jari-jarinya. Namun, disaat ia melihat hidung Gerald yang mancung dan berwarna orange, kelinci itu menjilati hidung Gerald karena mengira itu adalah wartel. Makanan kesukaannya. Lidah basahnya asik menjilati hidung Gerald yang menurutnya tidak terasa seperti sebuah wartel.
Tanganya melayang menuju gundukan daging di depan wajahnya dan menggaruknya karena terasa geli. Gerald membuka matanya. Menyesuaikan penglihatannya yang masih kabur. Begitu penglihatannya dapat beradaptasi, bulu kuduknya merinding dan ia langsung melompat dan memeluk lemari yang tidak berada jauh dari ranjangnya. “Kenapa monster pemakan wartel itu ada di ranjangku!” bentak Gerald sambil menunjuk kelinci hitam yang tidak tahu apa-apa, “Pasti ulah kaliankan?” tuduhnya dengan wajah pucat dan keringat dingin menguncur di pelipisnya.
“Kau yang meminta kami untuk meletakkannya disana. Jam wekermu itu membuat telinga kami ingin pecah dan kau tidak kunjung bangun. Jadi kami minta saja kelinci itu yang membangunkanmu,” jawab Austin sibuk dengan tombol PSPnya.
“Mandi sana. Baumu seperti aspal terkena hujan,” perintah Reynold sambil memasang jas sekolahnya.
“Begitu aku selesai monster itu tidak ada lagi di ranjangku,” dengan perasaan jijik Gerald meninggalkan lemarinya dan bergegas menuju kamar mandi.
Teman-temannya menggelangkan kepala melihat tingkah aneh teman mereka yang satu ini. Sampai sekarang mereka tidak pernah tahu kenapa dia sangat pobia dengan kelinci. Padahal hewan berbulu itu tidak  akan menggigit dan memakan jarinya.
“Kau sudah menyingkirkan monster itu dari ranjangku?” tanya Gerald berdiri diambang pintu
“Sudah, Mark telah memindahkannya ke kandang,” jawab Austin memasang jaket merahnya. Berbeda dengan murid-murid yang lain. Disaat mereka sibuk dengan jas mereka, Austin malah menyimpannya di lemari dan beralih dengan jeket. Austin tidak suka dengan jas, menurutnya jas itu terlalu resmi dan membuatnya harus berdiri dengan tegap. Karena itu ia lebih menyukai jaket yang membuatnya lebih rileks dan nyaman. Disetiap kesempatan ia tetap setia dengan jeketnya. Tidak hanya itu, Austin juga menyukai lolipop. Walaupun lolipop terdengar kanak-kanak dan banyak guru yang menasehatinya di setiap jam pelajaran agar tidak mengemutnya sepanjang pelajaran, namun para gadis tetap menyukainya. Mereka berfikir itu akan membuatnya bertambah keren dan Cool.
Untuk remaja pria seperti Austin dan Gerald yang masih rentan dengan pengaruh dunia luar, mereka dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif. Mereka hanyalah remaja yang melakukan aktivitas seperti remaja lainnya. Sekolah, game, olah raga, cinta monyet dan nakal yang tidak begitu keterlauan. Mereka tahu dimana mereka harus berbuat nakal dan berbuat sangat jahil. Mereka juga bisa membagi waktu mereka untuk hal yang penting dan hal yang tidak penting. Dimulai dari belajar atau bahkan menyisir rambut mereka. Untuk sikap mereka yang satu itu mereka tidak dapat memungkiri bahwa mereka menjadi idola di kalangan remaja laki-laki, apalagi diantara remaja perempuan. Tidak hanya itu, mereka memiliki wajah yang tampan yang tidak akan membuat seseorang merasa bosan. Mereka juga memiliki otak yang cukup encer yang mampu membuat mereka memiliki nilai yang akan membuat orang lain iri.
Diantara kesamaan yang mereka miliki tentunya mereka juga memiliki perbedaan dalam beberapa hal. Terutama dalam hal gaya. Gerald sangat mementingkan penampilan. Disetiap kesempatan Gerald akan berusaha untuk tetap cool, walaupun itu sebenarnya tidak diperlukan. Karena di dalam dirinya telah tertanam kata anggun sejak ia di lahirkan dari rahim sesosok Elf. Tidak hanya itu, Gerald adalah remaja yang tergolong kepada remaja yang berfikir bahwa kehidupan disediakan untuk orang yang selalu bisa memanfaatkan apa yang telah diberikan kepadanya. Itu terlihat pada wajah tampannya. Ia memanfaatkan wajahnya untuk menarik kaum hawa agar bisa meramaikan hidupnya yang sepi dan sendiri untuk ia jadikan kekasih. Ia bisa memacari 4 gadis sekaligus tanpa di ketahui oleh gadis lainnya. Karena itu ia telah di cap sebagai playboy dikalangan murid maupun guru. Namun dibalik sifat playboynya itu ia memendam rasa kesepian yang amat mendalam. Ia tidak memiliki saudara yang bisa ia ajak bicara di waktu luang kecuali Austin dan Vlow. Ia kadang suka tersenyum sendiri jika mengingat bahwa ada guru muda yang sangat tertarik dengan wajahnya. Ia juga tidak menyadari bahwa ada orang didekatnya yang menaruh perasaan yang benar-benar tulus.
Berbeda dengan Austin. Ia tampak lebih tertutup daripada Gerald. Ia selalu bersembunyi dibalik tudung jeketnya. Ia lebih pendiam dan tidak suka jika ada kaum hawa yang terlalu berisik di telinganya perihal ketampanan yang ia miliki. Setiap ada wanita yang mendekatinya ia akan bersikap amat dingin, bahkan lebih dingin dari sebongkah es. Dan jika ada yang sampai menyatakan cinta kepadanya ia akan berkata, “Kau akan menyesal telah menyatakan cinta kepadaku, karena kau tidak memahami siapa aku. Aku adalah tipe orang yang tidak suka dengan wanita yang agresif. Dan aku rasa ada pria yang jauh lebih baik dariku,” sambil menatap mata gadis yang ada di depannya, “Bukankah lebih nyaman berteman daripada pacaran?” sahutnya sambil berlalu meninggalkan senyuman. Ia pikir dengan melakukan hal itu ia bisa menguragi rasa kagum seseorang terhadap dirinya, namun itu salah. Sikapnya itu malah membuat seorang gadis merasa begitu aman berada si dekatnya dan menghargai setiap kata yang ia ucapkan. Ia akan selalu mempertahankan sikap dinginnya itu sampai kapanpun ia mau, karena ia merasa nyaman. Walaupun ia tidak begitu suka berdekatan dengan seorang wanita, bukan berarti ia menderita kelainan atau homo. Ia juga pernah merasakan ketertarikan terhadap seorang gadis, namun gadis itu pergi sebelum ia sempat menyatakannya. Mungkin karena itu ia menjadi sedikit dingin kepada gadis-gadis didekatnya. Kecuali Vlow. Vlow adalah sahabatnya.
Beranjak menuju gadis berumur 16 tahun yang senantiasa berada di antara pemuda-pemuda tampan. Ia adalah Vlow. Gadis tomboy yang memiliki paras cantik. Ia tinggi dan memiliki rambut panjang berwarna hitam. Banyak pemuda yang mengincarnya, namun mereka tidak berani menyatakannya karena takut akan tinju karate Vlow yang mamatikan. Kalaupun ada yang menyatakannya ia akan menjawab dengan amat lembut dan pemuda-pemuda itu tersipu malu dengan sendirinya. Kecantikan yang menarik perhatian pria itu sudah lumrah terjadi, begitupun dengan kecantikan yang membuat kaum hawa yang sama dengannya merasa iri. Gadis-gadis di sekolah Vlow selalu merasa bahwa Vlow adalah gadis yang beruntung. Tidak hanya memiliki wajah yang cantik ia juga bisa berdekatan dengan dua adam yang menjadi incaran kaum hawa. Ya, Austin dan Gerald. Kaum hawa rela melakukan apasaja agar dapat menjadi dirinya walau hanya sepuluh menit. Dibalik ketomboyannya Vlow bisa bersahabat dengan sebuah biola. Semua orang tergila-gila dengan permainannya. Itu membuat daftar alasan untuk iri dengannya bertambah satu poin. Walaupun seluruh siswa menyanjungnya tidak membuat Vlow sombong dan berfikir bahwa orang lain itu tidaklah penting. Ia bahkan mau membantu gadis-gadis yang ingin “hanya” berbicara dengan dua adam itu dengan cara memanggilnya dan mengajaknya berbaur dengan mereka walau hanya sekejap.
“Kenapa kalian lama sekali sih. Bel sudah berbunyi dari tadi,” bentak Vlow melirik jam tangan hitamnya.
“Ada yang terlambat melihat jam weker,” sahut Austin melirik Gerald yang pura-pura tidak mendengar.
“Langsung ke kelas saja. Bel sudah berderingkan?” ajak Gerald dengan acuh.
Mereka setengah berlari menuju kelas karena semua kelas sudah memulai pelajaran mereka. Beberapa guru yang melihat mereka hanya bisa melototkan mata kearah mereka agar segera masuk kelas. Setiba di depan kelas B, mereka berhenti sejenak karena melihat Ms. Yenly telah berdiri di depan kelas. Namun ia tampak membelakangi pintu masuk sambil mengacak-ngacak isi tasnya.
“Kesempatan bagus, kita masuk dengan jalan mundur. Satu per satu. Pegang tas kalian,” bisik Vlow menoleh kearah Ms. Yenly yang belum berubah posisi, “Aku dulu yang masuk, kalau ketahuan langsung condongkan tubuh kalian ke depan,” tambahnya melepaskan tas dari pundaknya dan memegangnya dengan tangan kanan. Kalau boleh membuka sedikit rahasia, Vlow kadang menggunakan otak encernya disaat seperti ini.
Vlow memutar ganggang pintu dan mendorongnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh. Tampak Ms. Yenly masih mengacak-ngacak isi tasnya.  Begitu Vlow menginjakkan kakinya di lantai kelas, ia langsung membalikkan badannya dan berjalan mundur menuju tempat duduknya. Tanpa pikir panjang, Austin dan Gerald mengikuti langkah yang dilakukan Vlow. Teman sekelas mereka hanya bisa tersenyum-senyum kecil melihat aksi nekat mereka. Belum sempat Gerald menutup pintu hingga tertutup rapat, Ms. Yenly membentak dengan suara cemprengnya, “Kalian!”
Spontan mereka mencondongkan tubuh ke depan memberikan kesan seolah-olah mereka akan meninggalkan kelas.
“Austin, Gerald, Vlow!” panggilnya, “Kembali ketempat duduk kalian. Baru 10 menit duduk di kelas ku kalian sudah berkeinginan untuk keluar!”
Dengan perasaan kecewa-yang sebenarnya senang-mereka membalikkan tubuh mereka dan berjalan menuju tempat duduk mereka. Gerald menyempatkan diri menebar senyumnya yang menawan, menggoda gadis-gadis yang memperhatikannya.
“Kita absen dulu,” ujar Ms. Yenly membuka buku absennya, “Alex Jordan,”
“Amy Hateway,”
“Austin Livistron,”
“Gabriella Scoot,”
“Justin Law,”
Begitu selesai mengabsen murid-muridnya, Ms. Yenly memulai pelajaran biologi dengan suara khasnya.
Bel panjang berbunyi, murid-murid bergegas meninggalkan kelas menuju kantin sekolah, untuk meredakan amukan perut mereka.
“Aku dengar besok ada murid baru di sekolah ini,” tutur Vlow sambil menyeret langkah menuju kelas.
“Laki-laki atau perempuan?” tanya Gerald memasukkan tangannya ke dalam saku.
“Dasar playboy cap gajah, kau sudah punya 4 orang. Kalau sampai ketahuan aku tidak akan membantu,” sahut Austin menjitak kepala Gerald, “Pindahan dari mana?” tanya Austin yang akan sangat terasa hangat jika berada si dekat sahabat-sahabatnya.
“Kalian tidak tahu? Padahal semua orang membicarakan itu,” ujar Vlow sambil membetulkan letak bando  kecil berwarna hitam di rambutnya, “Dia perempuan, pindahan dari Amerika,”
“Amerika? Terdengar cantik dan tinggi, aku akan mengincarnya,” celetuk Gerald mengusap-ngusap dagunya yang masih licin.
Austin dan Vlow hanya bisa menggelengkan kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar