setelah bolak-balik bukak blog dan M.Word, kembali lagi ke blog dan balik lagi ke M.Word selama beberapa jam, akhirnya keberanian untuk ngepost prolog ini muncul. hehe. selamat membaca,, semoga suka
PROLOG
Langit timur
berubah warna, awalnya pekat perlahan-perlahan menjadi hambar. Tampak seberkas
cahaya jingga tua menyirami langit timur yang sudah berwarna ungu. Berusaha
mengatakan kepada manusia agar keluar dari persembunyian mereka, membuka
selimut yang melindungi mereka dari dinginnya angin malam agar segera membuka
jendela dan menyaksikan betapa indahnya pagi ini.
Disaat semua orang
disibukkan dengan rutinitas pagi mereka, ada dua remaja yang masih
bermalas-malasan di balik selimut kamar asrama mereka. Gerald dan Vlow, mereka
belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus bergegas membersihkan diri dan
mengganti pakaian menjadi seragam sekolah. Padahal jam weker telah berteriak sedari
tadi agar mereka segera bangun. Teman-teman mereka hanya bisa menggeleng-geleng
dan menghela nafas.
Namun, diantara
teman-teman yang hanya bisa menghela nafas, ada juga yang masih peduli. Salah
satunya Katherine, teman satu kamar dengan Vlow. Dengan sedikit menggulung
lengan kemeja sekolahnya ia menarik selimut Vlow dan mencimpratkan air ke wajah
Vlow yang masih tampak sangat malas.
“Iya, aku bangun
sekarang. Apa kau puas?” bentak Vlow dengan mata yang masih mengantuk. Ia
langsung bergegas menuju kamar mandi guna membersihkan diri
Sementara itu, di
dalam kamar yang berbeda, Gerald bermain tarik tambang bersama teman
sekamarnya. Setiap lima menit Austin akan menarik selimut Gerald, dan setiap
itu pula Gerald akan menarik kembali selimut itu hingga menutupi tubuhnya.
“Apa boleh buat,
tidak ada cara lain selain itu. Mark apa kau mau mengambilnya untukku?” tanya
Austin yang kewalahan dengan teman satu kamarnya itu.
“Oh, tentu. Inilah
saat yang selalu aku tunggu-tunggu setiap pagi,” sahutnya belari keluar kamar.
Begitu Mark
kembali, di tangannya tampak seekor kelinci berwarna hitam. Saat itu jam
menunjukkan pukul enam pagi. Mark langsung menyerahkan kelinci itu kepada
Austin yang berdiri di samping ranjang Gerald.
“Kau memaksaku
untuk melakukan ini,” tuturnya seraya meletakkan kelinci hitam itu tepat di
depan wajah Gerald.
Diletakkan di atas
kasur dengan wajah seseorang di depannya, membuat kelinci itu bingung dan
memilih untuk menjilati jari-jarinya. Namun, disaat ia melihat hidung Gerald
yang mancung dan berwarna orange, kelinci itu menjilati hidung Gerald karena
mengira itu adalah wartel. Makanan kesukaannya. Lidah basahnya asik menjilati
hidung Gerald yang menurutnya tidak terasa seperti sebuah wartel.
Tanganya melayang
menuju gundukan daging di depan wajahnya dan menggaruknya karena terasa geli. Gerald
membuka matanya. Menyesuaikan penglihatannya yang masih kabur. Begitu
penglihatannya dapat beradaptasi, bulu kuduknya merinding dan ia langsung
melompat dan memeluk lemari yang tidak berada jauh dari ranjangnya. “Kenapa
monster pemakan wartel itu ada di ranjangku!” bentak Gerald sambil menunjuk
kelinci hitam yang tidak tahu apa-apa, “Pasti ulah kaliankan?” tuduhnya dengan
wajah pucat dan keringat dingin menguncur di pelipisnya.
“Kau yang meminta
kami untuk meletakkannya disana. Jam wekermu itu membuat telinga kami ingin
pecah dan kau tidak kunjung bangun. Jadi kami minta saja kelinci itu yang
membangunkanmu,” jawab Austin sibuk dengan tombol PSPnya.
“Mandi sana. Baumu
seperti aspal terkena hujan,” perintah Reynold sambil memasang jas sekolahnya.
“Begitu aku selesai
monster itu tidak ada lagi di ranjangku,” dengan perasaan jijik Gerald
meninggalkan lemarinya dan bergegas menuju kamar mandi.
Teman-temannya
menggelangkan kepala melihat tingkah aneh teman mereka yang satu ini. Sampai
sekarang mereka tidak pernah tahu kenapa dia sangat pobia dengan kelinci.
Padahal hewan berbulu itu tidak akan
menggigit dan memakan jarinya.
“Kau sudah
menyingkirkan monster itu dari ranjangku?” tanya Gerald berdiri diambang pintu
“Sudah, Mark telah
memindahkannya ke kandang,” jawab Austin memasang jaket merahnya. Berbeda
dengan murid-murid yang lain. Disaat mereka sibuk dengan jas mereka, Austin
malah menyimpannya di lemari dan beralih dengan jeket. Austin tidak suka dengan
jas, menurutnya jas itu terlalu resmi dan membuatnya harus berdiri dengan tegap.
Karena itu ia lebih menyukai jaket yang membuatnya lebih rileks dan nyaman.
Disetiap kesempatan ia tetap setia dengan jeketnya. Tidak hanya itu, Austin
juga menyukai lolipop. Walaupun lolipop terdengar kanak-kanak dan banyak guru
yang menasehatinya di setiap jam pelajaran agar tidak mengemutnya sepanjang
pelajaran, namun para gadis tetap menyukainya. Mereka berfikir itu akan
membuatnya bertambah keren dan Cool.
Untuk remaja pria
seperti Austin dan Gerald yang masih rentan dengan pengaruh dunia luar, mereka
dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif. Mereka hanyalah
remaja yang melakukan aktivitas seperti remaja lainnya. Sekolah, game, olah
raga, cinta monyet dan nakal yang tidak begitu keterlauan. Mereka tahu dimana
mereka harus berbuat nakal dan berbuat sangat jahil. Mereka juga bisa membagi
waktu mereka untuk hal yang penting dan hal yang tidak penting. Dimulai dari
belajar atau bahkan menyisir rambut mereka. Untuk sikap mereka yang satu itu
mereka tidak dapat memungkiri bahwa mereka menjadi idola di kalangan remaja
laki-laki, apalagi diantara remaja perempuan. Tidak hanya itu, mereka memiliki
wajah yang tampan yang tidak akan membuat seseorang merasa bosan. Mereka juga
memiliki otak yang cukup encer yang mampu membuat mereka memiliki nilai yang akan
membuat orang lain iri.
Diantara kesamaan
yang mereka miliki tentunya mereka juga memiliki perbedaan dalam beberapa hal.
Terutama dalam hal gaya. Gerald sangat mementingkan penampilan. Disetiap
kesempatan Gerald akan berusaha untuk tetap cool, walaupun itu sebenarnya tidak
diperlukan. Karena di dalam dirinya telah tertanam kata anggun sejak ia di
lahirkan dari rahim sesosok Elf. Tidak hanya itu, Gerald adalah remaja yang
tergolong kepada remaja yang berfikir bahwa kehidupan disediakan untuk orang
yang selalu bisa memanfaatkan apa yang telah diberikan kepadanya. Itu terlihat
pada wajah tampannya. Ia memanfaatkan wajahnya untuk menarik kaum hawa agar
bisa meramaikan hidupnya yang sepi dan sendiri untuk ia jadikan kekasih. Ia
bisa memacari 4 gadis sekaligus tanpa di ketahui oleh gadis lainnya. Karena itu
ia telah di cap sebagai playboy dikalangan murid maupun guru. Namun dibalik
sifat playboynya itu ia memendam rasa kesepian yang amat mendalam. Ia tidak
memiliki saudara yang bisa ia ajak bicara di waktu luang kecuali Austin dan
Vlow. Ia kadang suka tersenyum sendiri jika mengingat bahwa ada guru muda yang
sangat tertarik dengan wajahnya. Ia juga tidak menyadari bahwa ada orang
didekatnya yang menaruh perasaan yang benar-benar tulus.
Berbeda dengan
Austin. Ia tampak lebih tertutup daripada Gerald. Ia selalu bersembunyi dibalik
tudung jeketnya. Ia lebih pendiam dan tidak suka jika ada kaum hawa yang
terlalu berisik di telinganya perihal ketampanan yang ia miliki. Setiap ada
wanita yang mendekatinya ia akan bersikap amat dingin, bahkan lebih dingin dari
sebongkah es. Dan jika ada yang sampai menyatakan cinta kepadanya ia akan
berkata, “Kau akan menyesal telah menyatakan cinta kepadaku, karena kau tidak
memahami siapa aku. Aku adalah tipe orang yang tidak suka dengan wanita yang
agresif. Dan aku rasa ada pria yang jauh lebih baik dariku,” sambil menatap
mata gadis yang ada di depannya, “Bukankah lebih nyaman berteman daripada
pacaran?” sahutnya sambil berlalu meninggalkan senyuman. Ia pikir dengan
melakukan hal itu ia bisa menguragi rasa kagum seseorang terhadap dirinya,
namun itu salah. Sikapnya itu malah membuat seorang gadis merasa begitu aman
berada si dekatnya dan menghargai setiap kata yang ia ucapkan. Ia akan selalu
mempertahankan sikap dinginnya itu sampai kapanpun ia mau, karena ia merasa
nyaman. Walaupun ia tidak begitu suka berdekatan dengan seorang wanita, bukan
berarti ia menderita kelainan atau homo. Ia juga pernah merasakan ketertarikan
terhadap seorang gadis, namun gadis itu pergi sebelum ia sempat menyatakannya.
Mungkin karena itu ia menjadi sedikit dingin kepada gadis-gadis didekatnya.
Kecuali Vlow. Vlow adalah sahabatnya.
Beranjak menuju
gadis berumur 16 tahun yang senantiasa berada di antara pemuda-pemuda tampan.
Ia adalah Vlow. Gadis tomboy yang memiliki paras cantik. Ia tinggi dan memiliki
rambut panjang berwarna hitam. Banyak pemuda yang mengincarnya, namun mereka
tidak berani menyatakannya karena takut akan tinju karate Vlow yang mamatikan.
Kalaupun ada yang menyatakannya ia akan menjawab dengan amat lembut dan
pemuda-pemuda itu tersipu malu dengan sendirinya. Kecantikan yang menarik
perhatian pria itu sudah lumrah terjadi, begitupun dengan kecantikan yang
membuat kaum hawa yang sama dengannya merasa iri. Gadis-gadis di sekolah Vlow
selalu merasa bahwa Vlow adalah gadis yang beruntung. Tidak hanya memiliki
wajah yang cantik ia juga bisa berdekatan dengan dua adam yang menjadi incaran
kaum hawa. Ya, Austin dan Gerald. Kaum hawa rela melakukan apasaja agar dapat
menjadi dirinya walau hanya sepuluh menit. Dibalik ketomboyannya Vlow bisa
bersahabat dengan sebuah biola. Semua orang tergila-gila dengan permainannya.
Itu membuat daftar alasan untuk iri dengannya bertambah satu poin. Walaupun
seluruh siswa menyanjungnya tidak membuat Vlow sombong dan berfikir bahwa orang
lain itu tidaklah penting. Ia bahkan mau membantu gadis-gadis yang ingin
“hanya” berbicara dengan dua adam itu dengan cara memanggilnya dan mengajaknya
berbaur dengan mereka walau hanya sekejap.
“Kenapa kalian lama
sekali sih. Bel sudah berbunyi dari tadi,” bentak Vlow melirik jam tangan
hitamnya.
“Ada yang terlambat
melihat jam weker,” sahut Austin melirik Gerald yang pura-pura tidak mendengar.
“Langsung ke kelas
saja. Bel sudah berderingkan?” ajak Gerald dengan acuh.
Mereka setengah
berlari menuju kelas karena semua kelas sudah memulai pelajaran mereka.
Beberapa guru yang melihat mereka hanya bisa melototkan mata kearah mereka agar
segera masuk kelas. Setiba di depan kelas B, mereka berhenti sejenak karena
melihat Ms. Yenly telah berdiri di depan kelas. Namun ia tampak membelakangi
pintu masuk sambil mengacak-ngacak isi tasnya.
“Kesempatan bagus,
kita masuk dengan jalan mundur. Satu per satu. Pegang tas kalian,” bisik Vlow
menoleh kearah Ms. Yenly yang belum berubah posisi, “Aku dulu yang masuk, kalau
ketahuan langsung condongkan tubuh kalian ke depan,” tambahnya melepaskan tas
dari pundaknya dan memegangnya dengan tangan kanan. Kalau boleh membuka sedikit
rahasia, Vlow kadang menggunakan otak encernya disaat seperti ini.
Vlow memutar
ganggang pintu dan mendorongnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara
gaduh. Tampak Ms. Yenly masih mengacak-ngacak isi tasnya. Begitu Vlow menginjakkan kakinya di lantai
kelas, ia langsung membalikkan badannya dan berjalan mundur menuju tempat
duduknya. Tanpa pikir panjang, Austin dan Gerald mengikuti langkah yang
dilakukan Vlow. Teman sekelas mereka hanya bisa tersenyum-senyum kecil melihat
aksi nekat mereka. Belum sempat Gerald menutup pintu hingga tertutup rapat, Ms.
Yenly membentak dengan suara cemprengnya, “Kalian!”
Spontan mereka
mencondongkan tubuh ke depan memberikan kesan seolah-olah mereka akan
meninggalkan kelas.
“Austin, Gerald,
Vlow!” panggilnya, “Kembali ketempat duduk kalian. Baru 10 menit duduk di kelas
ku kalian sudah berkeinginan untuk keluar!”
Dengan perasaan
kecewa-yang sebenarnya senang-mereka membalikkan tubuh mereka dan berjalan
menuju tempat duduk mereka. Gerald menyempatkan diri menebar senyumnya yang
menawan, menggoda gadis-gadis yang memperhatikannya.
“Kita absen dulu,”
ujar Ms. Yenly membuka buku absennya, “Alex Jordan,”
“Amy Hateway,”
“Austin Livistron,”
…
“Gabriella Scoot,”
“Justin Law,”
…
Begitu selesai
mengabsen murid-muridnya, Ms. Yenly memulai pelajaran biologi dengan suara
khasnya.
Bel panjang
berbunyi, murid-murid bergegas meninggalkan kelas menuju kantin sekolah, untuk
meredakan amukan perut mereka.
“Aku dengar besok
ada murid baru di sekolah ini,” tutur Vlow sambil menyeret langkah menuju
kelas.
“Laki-laki atau
perempuan?” tanya Gerald memasukkan tangannya ke dalam saku.
“Dasar playboy cap
gajah, kau sudah punya 4 orang. Kalau sampai ketahuan aku tidak akan membantu,”
sahut Austin menjitak kepala Gerald, “Pindahan dari mana?” tanya Austin yang
akan sangat terasa hangat jika berada si dekat sahabat-sahabatnya.
“Kalian tidak tahu?
Padahal semua orang membicarakan itu,” ujar Vlow sambil membetulkan letak bando
kecil berwarna hitam di rambutnya, “Dia
perempuan, pindahan dari Amerika,”
“Amerika? Terdengar
cantik dan tinggi, aku akan mengincarnya,” celetuk Gerald mengusap-ngusap
dagunya yang masih licin.
Austin dan Vlow
hanya bisa menggelengkan kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar