Jumat, 31 Januari 2014

De Vlacoure - BAB 5



Desa Kecil di Delgaquados

Mereka tidak menghiraukan ucapan Roft. Mereka hanya berdiam diri di tempat masing-masing dan menelan kata-kata yang ingin mereka lontarkan. Semakin lama, mereka semakin didesak sehingga mereka terpaksa merapatkan diri.
“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan disini?” tanya sebuah suara dengan tegas.
“Kami hanyalah sekelompok mangsa yang berhasil melarikan diri dari sang pemangsa,” jawab Roft berusaha untuk tetap tenang, “Dan siapa kalian?”
“Itu bukan urusan kalian!” bentak suara itu kembali.
Roft berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan, namun semuanya rusak ketika Vlow tersadar dari tidurnya yang nyenyak.
Saat Vlow mengangkat kepalanya dari pundak Gerald, tanpa sengaja kepala bagian belakangnya mengenai ujung tombak yang dihunuskan ke arahnya. Sontak ia menjerit dan mengambil belatinya dan langsung mengacungkannya ke arah si pemilik tombak.
“Aku paling tidak suka dengan orang yang menusukku dari belakang!” soraknya.
Semua perhatian langsung terarah kepadanya. Roft langsung memanfaatkan situasi. Ia langsung mencabut pedangnya dan melambaikannya berusaha mengusir senjata yang terarah kepadanya. Dengan sigap Ia dapat menjatuhkan beberapa penunggang kuda. Namun jumlah lawan lebih banyak daripada mereka yang hanya berjumlah lima orang dan satu orang yang terluka. Disaat ia sibuk melawan para prajurit itu, terdengar rintihan dari belakangnya. Dan suara itu berasal dari orang yang dikenalnya. Saat ia menoleh ke belakang, tampak Austin, Gerald, Vlow dan Vav jatuh ke tangan para prajurit. Tangan mereka tertahan dan mata pedang siap di leher mereka.
“Jika kau melawan, mereka akan mati di depan matamu,” ujar suara seorang prajurit yang terlihat sebagai pemimpin pasukan itu. Sambil membuka helemnya Ia berjalan mendekati Roft dan memberikan kode kepada salah satu pasukannya untuk menangkapnya.
Roft menilik wajah pria yang ada di depannya. “Kau tidak berubah sama sekali dalam beberapa bulan ini, Skriel,” tutur Roft tenang.
Pria itu menunjukkan reaksi yang berbeda. Dia cukup terkejut mendengar penuturan dari mulut Roft, “Kau berbicara seolah kau mengenaliku. Siapa kau sebenarnya?”
Roft tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan diri dari pegangan prajurit yang menangkapnya. Begitu berhasil melepaskan diri, ia mengambil belati yang menggantung di pinggangnya. Prajurit yang menangkapnya tadi langsung memberikan reaksi, namun pria yang disebut Skriel oleh Roft itu langsung menghentikannya. Setelah ia mendapatkan izin untuk mencabut belatinya, Roft mengikat rambut panjangnya yang tidak terurus dan memotongnya. Meninggalkan setengah dari panjang rambutnya yang sebelumnya.
“Berbulan-bulan di ruangan gelap membuatmu tidak ingat dengan wajah sahabatmu sendiri?” tanya Roft melepaskan potongan rambutnya dan membiarkannya berjatuhan di tanah.
Tampak pria yang berdiri di depannya menyipitkan matanya dan berfikir.
“Roft?” tanyanya.
“Ya, itulah nama yang diberikan orang tuaku sewaktu kecil,” sahut Roft senang karena sahabatnya tidak melupakannya.
Skriel menjatuhkan helem yang dipegangnya dan membuka lebar kedua tangannya. Sambil tertawa renyah ia menyambut Roft ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan dengan hangat, saling melepas rindu setelah tidak bertemu selama beberapa bulan. Semua yang ada disana hanya melihat sambil tersenyum bingung bercampur haru.
“Lihat, tubuhmu sangat kurus dan tidak terurus. Aku hampir tidak mengenalimu. Kemana kau selama ini? Menghilang di tengah perburuan kita,” tanya Skriel menepuk pundak Roft yang bertubuh lebih kecil darinya.
“Itu adalah cerita yang panjang. Aku pasti akan menceritakannya kepadamu,” jawab Roft, “Yang penting kau harus melepaskan mereka. Mereka bersamaku.”
Skriel langsung memerintahkan prajuritnya untuk melepaskan tawanan mereka. Setelah dilepaskan mereka bergegas mendekati Roft, takut prajurit itu akan menangkap mereka lagi.
“Siapa mereka? Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan sepertinya bukan dari daerah sini,” kata Skriel memperhatikan empat remaja yang mengenakan pakaian yang aneh, menurutnya.
Roft meminta Skriel untuk mendekatkan telinganya dan dengan amat pelan ia membisikkan sesuatu yang membuat Skriel terkejut. Ia tampak mengangguk ketika Roft berbisik ke telinganya. Saat pembicaraan rahasia mereka telah selesai, Roft mengedipkan matanya kepada empat remaja yang ia temui di dalam penjara tanpa cahaya Dhomnail. Mereka membalasnya dengan anggukan walaupun tidak tahu dengan maksud dari kedipan itu.
“Teman-teman, sepertinya rencana kita mengalami sedikit perubahan. Kita tidak akan ke Sereen (sebuah desa kecil di utara Rombobterix). Sekarang kita harus mengantarkan tamu kita ke Alvares,” sorak Skriel memerintahkan pasukannya, “Mereka adalah tamu spesial De Vlacoure. Korbankan nyawa kalian untuk melindungi mereka. Ingat apa yang pernah Raja kalian lakukan agar kalian tetap hidup. Percayalah padaku bahwa kita membawa harta berharga,” tambahnya. Terlihat dari raut wajah pasukannya sebuah kebingungan. Namun mereka sama sekali tidak menentang perkataan pemimpin mereka.
Tepat setelah ia mengumumkan rencananya, ia bersiul dan tampak seekor kuda yang tengah menarik kereta berwarna hitam datang mendekatinya.
“Kami telah melepaskan kuda-kuda yang tidak memiliki penunggang, selama di perjalanan kalian bisa menggunakan kereta kuda ini. Sebelumnya kami gunakan untuk membawa bahan makanan, namun semuanya telah habis dan kereta itu telah kosong. Apa kalian keberatan?” tanya Skriel kepada tamunya.
“Tentu saja tidak. Sekarang kami tidak bisa membayangkan tumpangan yang lebih bagus dari ini,” jawab Austin sopan.
“Bagus, kalau begitu kalian harus segera naik. Kita akan segera berangkat begitu kalian siap. Kita tidak bisa menunda keberangkatan lagi, Ogre-ogre itu akan datang menyusul kita,” sahut Skriel menaiki kudanya.
Vlow, Vav, Gerald, Austin dan roft masuk secara bergantian. Begitu mereka semua telah masuk Skriel memerintahkan pasukannya untuk memulai perjalanan menuju Alvares.
“Sepertinya kita tidak akan berhenti untuk istirahat. Kecuali jika kita menemukan masalah di tengah jalan,” tutur Roft menyampaikan pemikirannya.
Dari dalam kareta terdengar suara Skriel memerintahkan kepada 153 pasukannya untuk segera berangkat. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta kuda yang mulai menggelinding di atas tanah berbatu. Kereta itu bergoyang ketika rodanya melindas sebuah kerikil. Membuat penumpangnya juga ikut menggoyangkan tubuh mereka. Terdengar dari derap kaki kuda para penunggang sepertinya mereka menggunakan kekuatan penuh agar segera sampai di Alvares secepatnya. Karena tidak aman berkeliaran di luar hutan ketika kita sedang dalam sebuah pelarian. Roft benar, selama perjalan mereka tidak pernah berhenti sama sekali. Walaupun beberapa diantara mereka merasakan lapar yang amat sangat. Namun mereka tetap menunggang kuda mereka seolah mereka akan dihukum mati jika menghentikan laju kuda mereka di tengah jalan.
Siang beranjak sore. Ufuk timur telah berubah warna menjadi jingga tua. Seperti kebakaran hebat tengah terjadi di arah timur. Namun itu hanyalah biasan cahaya matahari yang hendak hinggap di singgasananya. Mengganti tempat ia bertugas. Menerangi belahan bumi bagian lain. Sementara itu dari arah barat bulan mulai menampakkan dirinya.  Kelopak bunga Crosoft mulai memperlihatkan cahaya putihnya. Menerangi seluruh isi kereta.
“Kalian sebaiknya beristirahat. Kita akan menempuh perjalanan panjang,” tutur Roft menutup jendela kereta.
“Kapan kita akan sampai Roft?” tanya Vav mulai mengantuk.
“Besok pagi kurasa, jika kita tidak memiliki hambatan,” jawab Roft, “Dan sekarang kita telah memasuki hutan Delgaquados.”
Kelelawar mulai menampakkan diri mereka. Terbang mencari makanan. Di dalam hutan mereka sedikit kesulitan membawa kereta kuda dikarenakan banyaknya akar pohon yang mencuat keluar. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil jalanan setapak yang sering di lewati pelancong maupun pemburu agar kereta kuda dapat berjalan tanpa hambatan. Sementara itu di dalam kereta mereka teritidur pulas. Mereka berusaha melupakan mimpi buruk yang baru saja mereka alami. Dan berharap perjalanan kali ini tidak mengalami hambatan dan segera sampai di Alvares.
Namun, tampaknya Roft tidak dapat menutup matanya terlalu lama. Setiap beberapa menit dia akan terbangun dan teringat akan kepahitannya selama berada di penjara Dhomnail. Untuk melupakannya ia memutuskan untuk bergabung bersama teman-temannya di luar. Walaupun tidak ada kuda untuk ia tunggangi, setidaknya ia bisa duduk bersama prajurit yang membawa kereta kuda dan berbincang.
 Begitu malam berganti pagi, mereka telah melewati setengah dari hutan Delgaquados. Dan mereka yakin akan segera sampai ketika matahari berada di atas kepala mereka. Untuk pertama kalinya mereka memutuskan untuk berhenti. Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena telah merusak janji mereka untuk tidak berhenti sebelum sampai. Tapi apa boleh buat, sebelumnya mereka belum pernah melakukan perjalanan tanpa istirahat. Dan tiba-tiba mereka mendapatkan perintah untuk melakukan perjalanan tanpa istirahat sebelum mereka sempat mengatakan kata makanan dari mulut mereka.
“Sebaiknya kalian bangun sebelum semua makanan dilahap oleh mereka,” tutur Roft membuka jendela kereta.
“Kita sudah sampai?” tanya Gerald merenggangkan tubuhnya.
“Tidak secepat itu Gerald,” jawab Roft, “Ayo waktunya untuk makan,” sambungnya membuka pintu kereta.
“Tapi kau mengatakan kita tidak akan berhenti sebelum sampai kecuali ada masalah ditengah jalan,” ujar Vlow merangkak keluar kereta.
“Itu benar, tapi musuh utama semua makhluk hidup adalah perutnya sendiri. Jika kau tidak menuruti kemauan perutmu maka ia bisa menjadi sesuatu yang sangat mengerikan,” sahut Roft membantu Vlow menuruni kereta.
Roft membimbing mereka ke tempat para prajurit beristirahat. Disana tampak beberapa prajurit yang tertidur lelap dan beberapa diantara mereka menyantap makanan dan mengisap pipa. Mereka terlihat seperti musafir yang yang telah berjalan bermil-mil jauhnya. Di tempat lain tampak kuda-kuda juga beristirahat dan mengunyah rumput liar yang berada di dekat mereka. Austin, Gerald, Vlow dan Vav segera membasuh muka mereka dari ember yang telah disediakan pasukan Skriel. Setelah merasa segar kembali mereka duduk di bawah sebuah pohon rindang dan menikmati udara yang menyentuh kulit mereka dan merasakan hangatnya matahari pagi. Namun kenikmatan mereka hilang ketika mendengar bunyi gemuruh di dekat mereka. Sontak semuanya langsung menoleh kearah Vav yang mengusap-ngusap perutnya.
“Haha, maafkan aku karena melupakan kalian. Ini! Aku telah memasaknya untuk kalian. Aku yakin kalian sangat lapar,” tutur Skriel datang sambil menyodorkan makanan di depan mereka. Disana tampak ada semangkuk besar sup yang masih hangat dengan berbagai jamur di dalamnya. Beberapa potong daging ayam hutan dan sebotol susu segar. Mereka langsung menelan air ludah mereka karena ingin segera memakannya namun menahanya agar tidak terlihat memalukan.
“Maaf, kami hanya bisa menyediakan makanan seperti ini untuk saat ini. Berbeda jika kita telah sampai di Alvares, kalian akan mendapatkan satu meja penuh,” ujar Skriel merendah.
“Hanya ini kau bilang?” tanya Vav bingung.
“Maafkan aku. Jika menurut kalian ini kurang aku akan memerintahkan anak buahku untuk menambahnya,” kata Skriel seraya bangkit.
“Jika kau ingin menambahnya, aku rasa itu akan menyiksa kami karena harus menunggu. Ini lebih dari cukup. Kami akan kekenyangan dengan ini,” bantah Vlow memperhatikan makanan yang ada di depannya.
“Syukurlah, karena cukup sulit untuk menangkap ayam hutan. Kalau begitu jangan sungkan, silahkan dimakan,” Skriel manambahkan.
Tanpa sungkan lagi, mereka langsung memasukkan sup yang ada di dalam nampan ke dalam mangkuk yang telah disediakan untuk mereka. Tanpa mempedulikan uap yang muncul dari sup itu mereka menyendoknya langsung ke dalam mulut mereka. Tidak peduli panasnya akan membuat bibir mereka melepuh. Yang ada dipikiran mereka hanyalah memakan semuanya hingga perut mereka terisi penuh. Setelah mereka menghabiskan semua sup yang disediakan, mata mereka beralih kepada ayam yang ada disamping nampan sup. Mereka memakan ayam itu sampai ketulang-tulangnya. Semua prajurit yang memperhatikan mereka hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika semua makanan yang dihadapkan kepada mereka tidak bersisa, baru mereka sadari betapa rakusnya mereka. Dan akhirnya mereka hanya bisa tertawa sambil memohon maaf karena telah bersikap sangat memalukan.
“Sepertinya Bauqh memiliki saingan sekarang,” celetuk seorang prajurit yang mengundang tawa semua pendengarnya.
“Siapa Bauqh?” tanya Gerald menyeka peluh yang mengalir di lehernya.
“Dia adalah troll yang sangat menyukai makanan. Ia akan memakan semua yang ada di depannya selama itu bisa dimakan. Termasuk kotorannya sendiri, haha,” jawab Roft kembali mengundang tawa semuanya. Keempat remaja yang tidak tahu apa-apa itu juga ikut tertawa.
“Maafkan kami, sebenarnya kami belum melihat makanan selama dua hari ini,” kata Vlow malu.
“Tidak apa. Bahkan ada yang lebih parah dari kalian. Roft bahkan tidak menyisakannya untukku,” sahut Skriel sambil tertawa.
Matahari hampir mencapai 15˚ saat mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat mereka berusaha menghilangkan tanda bahwa di tempat itu pernah digunakan untuk beristirahat. Mereka menimbun bekas api unggun mereka dengan tanah dan mengubur sisa-sisa makanan yang tidak mungkin untuk mereka bawa. Saat semuanya selesai mereka melanjutkan perjalanan menuju Alvares. Semuanya kembali bersemangat. Kuda-kuda melangkah dengan cepat. Otot mereka kembali kuat setelah melakukan istirahat. Bermil-mil jauhnya mereka membelah hutan Delgaquados. Kabarnya Delgaquados adalah hutan terluas di De Vlacoure. Jika kita tidak mengenal hutan ini dengan baik, kita bisa berada disana selama beminggu-minggu. Namun jika kita mengenal baik Delgaquados kita akan mampu keluar hutan hanya dalam beberapa hari.
“Apakah Alvares itu sangat jauh?” tanya Vav kepada prajurit yang membawa kereta kuda. Ia menemukan sebuah jendela kecil di belakang punggung sang pengendara ketika ia iseng mencari kotak rahasia seperti yang biasa ada di dalam cerita.
“Itu sangat jauh jika berada di luar hutan Delgaquados. Tapi kita beruntung karena ia berada di dalam hutan,” jawab sang pengendara.
“Apakah itu sebuah kerajaan yang ada kastil kuno yang dihuni oleh Raja, Ratu dan seorang Putri?” tanya Vav polos. Ia menuturkan apa yang pernah ia tonton di televisi.
“Tentu saja tidak,” jawab pengandara itu sambil tertawa, “Alvares itu adalah sebuah desa. Tidak ada kastil, Raja, Ratu atau Putri disana. Yang ada hanyalah perumahan penduduk, Elf dan para tetua. Kau akan betah disana ketika kau bermain bersama anak-anak dan mereka menyentuh wajahmu dengan tangan mungilnya,” jawab pengendara terhanyut dengan kenangannya.
“Kau merindukan Alvares?” tanya Vav.
“Sangat,” jawabnya masih berkonsentrasi dengan jalan kudanya, “Sudah berbulan-bulan aku tidak berada di rumah. Aku sangat merindukan kehangatan sebuah keluarga.”
“Kau memiliki seorang anak?” tanya Vav lagi.
“Ya. Dia masih sangat kecil ketika aku pergi meninggalkan rumah,”
“Kenapa kau pergi?” tanya Vav membuka jendela lebih lebar dan tampak di depannya puluhan kuda dan penunggangnya berlari dengan sangat cepat. Begitu juga dengan kereta kuda yang dinaikinya.
“Jika kau ingin menyelamatkan keluargamu, kau harus pergi meninggalkan mereka,” sahutnya, “Beberapa tahun belakangan ini ada banyak Ogre yang berkeliaran di sekitar desa. Itu sangat meresahkan warga. Jadi kami di utus tetua desa untuk menyelesaikan masalah ini. Ya anggap saja seperti berburu Ogre agar mereka tidak mendekati desa.”
“Karena itu kita bertemu di hutan gelap itu? Jadi kalian mengira bahwa kami adalah buruan kalian?” ujar Vav tertawa manis.
“Ya, maafkan kami. Karena selama kami berpatroli disana kami tidak pernah bertemu dengan Elf,” jawabnya kembali fokus.
Mereka diam sesaat ketika mereka berbelok ke kanan karena sebuah pohon besar berada beberapa meter di depan mereka.
“Jadi, setelah ini kau akan bertemu dengan istri dan anakmu kembali,” tutur Vav memecahkan lamunan.
Pengandara itu diam sesaat, “Ya. Kadang aku bersyukur karena bertemu dengan kalian. Karena kami memiliki alasan untuk pulang,” jawabnya.
“Kau akan kembali berburu Ogre ketika sampai di rumah?”
“Tidak! Aku rasa,” serunya, “Kali ini tugas kami lebih berat dari itu. Sebelumnya kami berburu untuk Alvares, tapi kali ini kami akan berperang untuk De Vlacoure,” jawabnya penuh keyakinan dan semangat juang.
“Tapi, kau harus menemui keluargamu terlabih dahulu,” saran Vav.
“Ya, tentu,” balasnya.
Saat matahari mencapai posisi 120˚ langkah kuda semakin cepat. Terdengar sebuah sorakan dari kejauhan bahwa Alvares sudah dekat. Itu terlihat seperti sebuah cambuk bagi mereka. Sehingga mereka mempercepat laju kuda mereka. Sudah berbulan-bulan mereka meninggalkan desa untuk melaksanakan tugas. Mereka rindu dengan keluarga dan rumah, sehingga tanpa sadar kerinduan itu mempercepat laju mereka.
Mereka dapat melihat atap-atap rumah dari kejauhan ketika matahari berada pada posisi 90˚. Laju mereka semakin cepat ketika terlihat dari kejauhan seorang anak melambaikan tangannya sambil bersorak. Ia tampak memberitahukan kepada penduduk bahwa keluarga mereka telah kembali. Dan membuat mereka berkumpul di bibir hutan. Semua orang bertepuk tangan ketika mereka memasuki gerbang desa. Beberapa diantara warga memanggil-manggil nama orang yang mereka sayangi sambil meneteskan air mata bahagia. Namun beberapa diantara mereka ada yang menangis karena tidak dapat melihat kehadiran suami atau anaknya di dalam barisan berkuda itu.
Mereka menghentikan laju kuda mereka ketika seluruh prajurit telah memasuki desa. Mereka sampai di desa Alvares yang kecil namun damai. Di desa ini mereka membangun rumah-rumah dengan ukuran kecil, dengan atap rumbia dan jendela yang bergandengan dengan pintu untuk menghiasinya. Dengan serempak mereka menuruni kuda masing-masing dan berdiri di sebelahnya. Dengan gagah, Skriel berjalan menghampiri para tetua yang bediri di depan sebuah rumah yang lebih besar dari rumah lainnya. Ia memberi hormat, begitu dibalas ia langsung membisikkan sesuatu ke telinga tetua dan lagi, ekspresi keterkejutan tergambar di wajah para tetua. Mereka memberikan anggukan dan Skriel memerintahkan kepada pengendara kereta kuda untuk mengeluarkan tamu istimewa mereka.
“Sudah waktunya untuk kalian menampakkan diri,” tutur pengendara itu ketika pintu telah terbuka.
Dengan hati-hati mereka keluar dari kereta dan dapat menyaksikan ekspresi ketekejutan penduduk desa. Mereka terdiam saat melihat tamu istimewa mereka keluar. Mereka saling berbisik satu sama lain sambil melirik ke arah tamu mereka.
“Tetua ingin bertemu dengan kalian,” ujar pengendara kereta sambil menunjuk kearah Skriel yang berdiri bersama tetua.
“Dengan penampilan seperti ini? Kurasa tidak,” jawab Vav memperhatikan pekaiannya yang berantakan.
Pengendara itu tertawa, “Tenang saja, mereka sangat menyukai sesuatu yang apa adanya.”
Mereka langsung membuka langkah mereka, namun secara spontan Gerald merangkul Vlow dan memapahnya berjalan. Vlow sedikit terkejut dengan aksi Gerald tapi ia membiarkannya saja. Karena menurutnya niat baik seseorang tidak boleh ditolak.
“Selamat datang di Alvares,” sambut sesosok Elf yang terlihat sangat bijaksana dan menawan dari Elf yang pernah mereka lihat, “Maafkan kami karena tidak menyambut kalian dengan pantas,” tambahnya.
“Harusnya kami yang meminta maaf karena menghadap kalian dengan penampilan yang tidak pantas seperti ini,” bantah Austin segera.
Tetua itu tertawa renyah, “Aku tahu kalian merasa tidak nyaman dengan perjalanan ini. Dan harus aku akui penampilan kalian memang sangat berantakan,” tuturnya lembut, “Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan kepada kalian, tapi melihat kondisi kalian sebaiknya kalian membersihkan diri terlebih dahulu dan beristirahat,” ujar tetua membuka pintu rumah yang ada di belakangnya, “Anakku akan mengurus kalian.”
Dari dalam rumah keluar sesosok Elf perempuan yang mengenakan gaun berwarna coklat muda. Gaun itu menempel di tubuhnya yang langsing. Membentuk setiap lekuk tubuhnya. Gaun itu menutupi kakinya bahkan mencapai lantai. Setiap kali ia melangkahkan kaki maka gaun itu akan menyapu seluruh lantai yang dilewatinya. Rambut emasnya yang panjang terikat dibagian ujungnya. Tampak sangat selaras dengan wajahnya yang cantik. Empat remaja itu memperhatikan wajahnya tanpa berkedip sedikitpun. Menikmati kecantikan yang terpancar dari wajahnya. Di balik tubuh wanita menawan itu muncul dua orang anak yang yang tampak malu-malu.
Wanita itu menghampiri tetua yang berada paling dekat dengan Skriel. Membungkuk hormat. Begitu juga dengan Skriel, ia langsung memeleluknya dengan hangat dan berurai air mata. Skriel langsung menghapusnya dan tersenyum hangat.
“Aku pulang,” tuturnya.
“Kenapa kau lama sekali ayah?” tanya anak laki-laki yang memiliki rambut sepanjang bahunya. Memeluk Skriel dengan manja.
“Maafkan aku. Perjalananku sugguh jauh. Tapi sekarang aku telah pulang,” sahutnya memeluk kedua anaknya yang telah berbulan-bulan ia tinggalkan.
Tetua itu memanggil putrinya dan membisikkan sesuatu ke telinganya dan ia mengangguk sambil tersenyum.
“Silahkan masuk, mulai sekarang aku akan melayani kalian. Jangan sungkan,” ujar wanita itu mempersilahkan mereka masuk.
Mereka hanya bisa menanggapinya dengan anggukan namun tidak menggerakkan kaki mereka sama sekali. Melihat itu, anak-anaknya yang tengah memeluk Skriel berlari menghampiri  Austin, Gerald, Vlow dan Vav dengan senyuman lugu yang menenangkan hati. “Ayo!” ajak mereka sambil menyeret orang-orang yang dibawa oleh ayah mereka.
Wanita itu berjalan di depan mereka dengan anggun. Menuntun mereka menuju beberapa ruangan yang bisa mereka gunakan untuk beristirahat. Ia tidak banyak berbicara namun selalu menebarkan senyum terbaiknya kepada tamu-tamu yang selalu mengikutinya di belakang.
“Kalian bisa menggunakan ruangan ini untuk beristirahat,” ujarnya sambil menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Pintu itu terbuat dari kayu-kayu yang telah diukir sedemikian rupa. Menggambarkan sebuah pemandangan di suatu daerah. Pintu itu terlihat berat, namun begitu wanita itu mendorongnya pintu itu terbuka dengan mudah.
Wanita itu kembali melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Ruangan itu tidak begitu besar, kecil namun tertata rapi. Jendela-jendela tertempel di sepanjang dinding yang ada. Tirai transparan menutupi jendela yang terbuka. Angin-angin menyibakkan tirai yang seringan sutra, menebarkan aroma bunga yang sangat menenangkan pikiran. Disana terdapat beberapa kursi yang dirapatkan ke dinding. Di tengah-tengahnya diletakkan sebuah meja rendah.
“Aku belum mengenal kalian. Jika tidak keberatan, bolehkah aku mengenal kalian?” tanya wanita itu menyadarkan mereka dari lamunan.
“Oh, tentu saja. Maafkan kami yang kurang sopan karena tidak memperkenalkan diri,” ujar Austin sopan.
“Tidak apa,” sahutnya, “Kalian bisa memanggilku Reein jika kalian mau. Dan kalian?”
“Austin,”
“Vlow,”
“Gerald,”
“Dan aku Vav,”
“Baiklah Austin, Vlow, Gerald, Vav, aku akan meninggalkan kalian disini untuk membersihkan tubuh kalian dan beristirahat. Kalian bisa membagi ruangan yang ada di balik tirai itu,” tuturnya menunjuk kearah tirai yang sama sekali tidah bergerak sementara tirai yang lain menari gemulai dihembus angin, “Disana adalah kamar kalian selama kalian berada disini dan disetiap kamarnya disediakan sebuah kamar untuk kalian membersihkan diri. Aku akan meninggalkan kalian untuk mempersiapkan pakaian kalian. Apa kalian keberatan?” tanya Reein dengan lembut.
“Tentu saja tidak,” bantah Vav, “Maaf telah merepotkan.”
Reein membalasnya dengan anggukan yang diiringi dengan senyuman hangat. Seperti yang ia ucapkan tadi, ia berjalan keluar ruangan meninggalkan mereka. Tanpa pikir panjang, mereka langsung memilih ruangan yang akan mereka tempati untuk beristirahat. Vav langsung merangkul tubuh Vlow dan membimbingnya menuju ruangan yang terletak di sebelah kanan. Disetiap kamar terdapat sebuah ranjang yang terbuat dari kayu hutan Delgaquados. Kasurnya di lapisi alas berwarna putih. Bantal-bantal yang terlihat empuk, tampak menggoda untuk digunakan dan selimut yang tampak hangat jika kita berada di dalamnya. Dibagian kepala ranjang terdapat dua buah jendela yang ditutupi tirai putih. Mereka memiliki sebuah peti pakaian di setiap kamar. Di sisi lain mereka menemukan sebuah pintu yang terbuat dari bahan perak. Mereka langsung memasuki ruangan itu karena mendengar tetesan air segar. Begitu mereka masuk tampak sebuah bak berbentuk lingkaran berdiameter 2m dengan air jernih yang terisi penuh.  Di bagian yang menempel pada dinding terdapat dua kran yang akan mengalirkan sabun dan air. Tanpa pikir panjang lagi mereka langsung membersihkan diri di dalam bak mandi yang telah dipenuhi busa.

 “Apa kalian bisa mengenakannya?” tanya Reein kepada dua gadis yang tampak bingung dengan pakaian yang ada di depan mereka.
“No,” jawab mereka serentak.
Reeinpun membantu mereka mengenakan pakaian itu. Setelah pakaian itu mereka kenakan, Reein membantu mereka merapikan rambut agar terlihat cocok dengan pakaian yang mereka kenakan.
 “Reein, baju siapa yang kami kenakan ini?” tanya Vav, “Aku ingin berterima kasih padanya karena telah meminjamkannya pada kami.”
“Oh, ini bajuku sewaktu muda,” jawab Reein merapikan pakaian Vav.
“Sewaktu muda? Memangnya berapa umurmu sekarang?” tanya Vav lagi.
“Baru 200 tahun,” jawab Reein acuh.
“What? 200 tahun? Kami kira kau masih berumur 30 tahun,” ujar Vlow kaget tidak percaya.
30 tahun?? Aku tidak semuda itu?tanya Reein malu-malu.
“Tapi kau tetap cantik lo, malah di negara kami umur 200 tahun itu merupakan umur yang mustahil untuk dicapai,” tutur Vav.
“Ya, di negara kami umur 60 tahun itu sudah keriput dan keropos, kalau kau saja umur 200 tahun seperti ini Skriel tidak akan berpaling,” tambah Vlow.
“Semoga seperti itu,” sahut Reein dengan muka merah.
Vlow dan Vav semakin bersyukur terlahir sebagai Elf, walaupun mereka tidak bisa hidup ratusan tahun, mereka juga memahaminya, karena di darah mereka juga sudah bercampur darah menusia meskipun hanya satu sampai 10%. Tapi berbeda dengan Vav yang dalam tubuhnya mengalir darah manusia yang cukup banyak, mungkin hampir setengah dari darahnya adalah darah manusia. Karena Vav merupakan darah campuran, Ibunya berasal dari keluarga manusia, sedangkan Ayahnya murni keturunan Elf.
Elf adalah makhluk yang luar biasa, jauh berbeda dengan  manusia yang semakin lama semakin tua dan keriput. Para Elf, baik pria maupun wanita semakin umur mereka bertambah, maka mereka akan semakin menawan dan bijaksana. Lihat saja Reein, ia berumur 200 tahun, tapi terlihat seperti wanita berumur 30 tahun.
 “Boleh aku melihat kakimu?” tanya Reein kepada Vlow yang dari tadi mengurut-ngurut pergelangan kakinya.
Ya,”
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Reein lagi sambil mengusap lembut mata kaki Vlow yang bengkak.
“Aku mengalami kecelakan kecil ketika melarikan diri,” jawab Vlow mengalihkan perhatiannya kepada Reein yang tampak cemas.
“Keberatan jika aku mengobatinya?”
“Tentu saja tidak,” sahut Vlow.
“Kalau begitu tunggu saja di luar, aku akan mengambil obatnya,” tutur Reein melangkahkan kakinya keluar kamar mereka.
 “Kira-kira Ratu umurnya berapa ya?” tanya Vav menerka-nerka sambil memapah Vlow keluar kamar.
Austin dan Gerald yang dari tadi menunggu mereka di luar tampak terpesona dengan kehadiran wanita cantik di depan mereka. Tanpa berkedip mereka memperhatikan Vlow dan Vav yang keluar dari kamar.
“Gerald, apakah tidak tergerak di pikiranmu untuk membantuku?” tanya Vav yang membuyarkan lamunan mereka.
“Oh, tentu. Sorry,” sahut Gerald kalut.
“Apa ada yang salah dengan kami?” tanya Vlow yang mulai jengkel karena dua pria yang ada di dekat mereka menatap mereka dengan mata terbelalak.
“Ya, mataku yang salah atau memang kalian yang tampak cantik hari ini?” tanya Austin terus terang.
“Mungkin memang kami yang tampak cantik,” jawab Vav sambil tertawa manis.
“Kanapa kau Gerald?” tanya Vlow yang milihat Gerald tampak berfikir.
“Aku hanya berfikir, ternyata kau bisa juga memakai baju seperti ini, kau kan cowok,” jawab Gerald mengejek Vlow.
“Kau ya, lihat saja nanti kalau kakiku sembuh, aku akan menghajarmu!” bentak Vlow berusaha untuk bangkit, tapi sia-sia Reein langsung manahan tubuhnya.
“Op, tunggu dulu. Kakimu harus di obati supaya bisa mengejar Gerald,” ujar Reein lembut. Iapun menyarankan kepada Vlow agar duduk di kursi.
“Reein? Apa itu?” tanya Vlow yang tampak jijik melihat sesuatu yang ada di dalam nampan yang dibawa Reein.
“Tenang, bentuknya memang menjijikkan, aku saja enggan memegangnya. Tapi, kakimu harus diobati dan kalau tidak kakimu bisa dipotong,” jawab Reein menakut-nakuti Vlow.
“Kalau begitu, tolong obati,” sahut Vlow takut.
Dengan senyuman manis Reein mengangkat kaki kanan Vlow yang bengkak dan meletakkannya di atas pahanya. Dengan lembut Reein mengolesi ramuan yang di raciknya sendiri kepergelangan kaki Vlow. Ramuan yang berwarna hijau itu, adalah campuran dari daun pohon Ashi yang banyak tumbuh di sekitar Desa Alvares dengan getah buah Yulk.
Begitu ramuan itu tampak bekerja, Reein tampak membacakan sebuah mantra dan pergelangan kaki Vlow yang bengkak perlahan-lahan menyusut dan nyaris tak tampak lagi.
“Imposible!” tutur Vlow tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Bahkan lebih cepat dari obat yang diberikan Dokter,”
“Apa masih sakit?” tanya Reein lembut.
“Tidak, bahkan sekarang aku bisa menendang Gerald,” jawab Vlow seraya bangkit.
Tapi baru saja Vlow akan melangkahkan kakinya, Vav ambruk dan Austin dengan sigap langsung menangkapnya.
“Vav, Vav sadarlah,” ujar Austin dengan suara yang bergetar. Tampak darah menetes dari hidung Vav.
Semuanya tampak cemas ketika Austin meletakkan Vav di atas ranjang. “Vav kau bisa mendengar suara ku?” tanya Reein cemas.
Perlahan-lahan Vav membuka matanya dan tampak orang-orang berdiri cemas mengelilinginya, “Reein,” panggil Vav lemas, “Tangan kiriku perih dan kepalaku sakit,”
Mendengar suara Vav yang lemah Reein langsung melihat tangan Vav. Dari telapak tangan  kirinya tampak jejak hitam yang menyebabkan urat disekitar tanda itu muncul dan semakin lama semakin menyebar.
Reein langsung beranjak dari tempatnya dan keluar dari ruangan itu. Terdengar suara kaca-kaca yang saling bersinggungan. Begitu kembali dengan sebuah botol digenggamannya, Reein langsung mengolesi telapak tangan kiri Vav dengan ramuan yang ada di botol itu dengan lembut.
Selang beberapa menit kemudian Vav siuman dan bisa duduk kembali.
“Apa tadi di hutan kau memegang sesuatu?” tanya Reein begitu Vav merasa baikan.
“Pohon,” jawab Vav masih lemas.
“Mungkin tanpa sengaja kau memegang siput pohon dia menyengat tanganmu,” tambah Reein menyodorkan Vav dengan segelas air.
“Tapi aku tidak merasakan apa-apa waktu itu,” sahut Vav.
“Itu wajar, kita tidak akan merasakan apa-apa saat siput pohon menyengat kita, kita akan sadar begitu racunnya mulai menjalar, tapi tenang getah pohon Cano ini bisa menawar racunnya,” terang Reein seperti seorang dokter yang tengah menerangkan penyakit yang diderita pasiennya. “Tapi biasanya tidak akan menimbulkan sakit kepala, bahkan sampai mimisan seperti ini. Mungkin karena kau kelelahan.”
“Kau tahu banyak ya Reein,” puji Vlow yang dapat berdiri seperti biasa kembali.
“Dulu aku sempat menjadi murid tabib di Guidoweld, jadi wajar kalau aku tahu banyak,” sahut Reein. “ Oh ya, sudah waktunya untuk makan malam.
Reein mengantar mereka ke sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah. Ruangan itu tertata rapi. Sebuah meja panjang terletak di tengah ruangan. Berbagai makanan tampak tersusun rapi di atas meja. Kursi-kursi tertata mengelilingi meja itu. Tampak beberapa sosok Elf telah mendiami kursi mereka. Disana tampak lima sosok Elf yang tadi menyambut mereka di depan pintu serta Skriel dan juga roft.
“Ayahku dan para tetua lain ingin bicara dengan kalian,” ujar Reein duduk di sebelah suaminya.
Mereka mangangguk sambil memperhatikan lima sosok elf yang duduk di ujung meja tersenyum kearah mereka. Mereka adalah para tetua Alvares. Jika diperhatikan secara seksama mereka tidak tampak tua, malah mereka tampak menawan dan muda. Kalau disandingkan dengan manusia yang seumuran dengan mereka, manusia akan kalah telak. Bagai buyut dengan cicit.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav tampak begitu terpesona karena sosok tetua-tetua yang menawan. Vlow dan Vav teringat akan perkataan Reein bahwa jika Elf semakin tua ia akan semakin menawan dan mereka menimbang-nimbang umur para tetua yang duduk anggun di ujung meja makan.
“200 tahun,” bisik Vav.
“Tidak, tapi lebih tua dari itu, mungkin lebih dari 250,” bantah Vlow begitu dipersilahkan menyantap makanan.
“Kalian salah, mereka sudah 2000 tahun,” bisik Reein yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
Mendengar bisikan Reein, Vlow dan Vav syok dan muka mereka mengeras seperti batu, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tapi mereka tetap menjaga tingkah agar tidak memalukan.
Ketika mereka menyantap makan malam, mereka tidak begitu banyak melakukan percakapan. Hanya menanyakan hal-hal yang lazim untuk di tanyakan. Kadang mereka juga tertawa ringan menaggapi guarauan yang di lontarkan Roft. Saat makanan telah habis, baru mereka memulai percakapan serius.
“Well, kalian tahu siapa mereka?” tanya Roft dari tempat duduknya.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav menggeleng serentak.
“Mereka adalah para tetua desa ini, ada yang ingin mereka tanyakan kepada kalian,” tutur Roft mempersilahkan para Tetua untuk berbicara.
Para Tetua memasang wajah serius. Salah satu di antara mereka menarik nafas dan mulai membuka mulut, “Sebenarnya ini pertanyaan yang biasa ditanyakan pada orang baru yang menginjakkan kakinya di desa kami,” ujar Tetua yang duduk di meja paling ujung. Sepertinya ia adalah ketua dari semua tetua. Apa kalian pernah kesini sebelumnya, tepatnya ke De Vlacoure?
“Well, kalau boleh jujur, belum sama sekali. Ini kunjungan pertama kami,” jawab Austin jujur.
“Kalau begitu, kalian berasal darimana?”
“Yang pasti daerah yang sangat jauh dari daerah kalian,” jawab Austin.
“Dimana itu, apa kami tahu tempatnya?” tanya tetua yang tampak masih muda.
Untuk sementara Austin diam sambil memperhatikan wajah temannya satu persatu, “London,”
London? Jelaskan kepada kami, pinta tetua yang duduk di sebelah ayah Reein.
London adalah daerah yang dihuni oleh manusia,” jawab Gerald menggantikan Austin.
Para tetua tampak berbisik-bisik mendengar kata manusia.
“Melalui apa kalian kesini?” tanya tetua yang memakai baju berwarna merah.
“Kurasa mereka tahu, jadi tak masalah kalau kita memperlihatkannya,” bisik Vlow kearah Austin yang tampak ragu.
Dengan tarikan nafas panjang Austin mengeluarkan suaranya, “Melalui buku ini,” sambil menyodorkan buku De Vlacoure.
Raut semua wajah yang ada di ruangan itu langsung berubah senang dan puas. Mereka kembali berbisik-bisik satu sama lain.
“Sudah ratusan tahun kami menunggu kedatangan kalian, Ratu pasti senang mendengar berita ini,” tutur Tetua senang.
Em...apa betul De Vlacoure dalam bahaya?” tanya Vav.
Ayah Reein menarik nafas dalam, “Ya anakku, ratusan tahun lalu De Vlacoure diserang dan nyaris kalah. Kalau saja King Julion tidak membacakan mantra dan mengorbankan nyawanya untuk De Vlacoure, mungkin sekarang kita tidak pernah bertemu disini dan sejak perang itu kami terus menunggu keturunan De Vlacoure.
“Kenapa harus menunggu kami?” tanya Vlow.
“Itu karena King Julion begitu yakin bahwa De Vlacoure akan kedatangan kekuatan besar, yaitu kalian keturunan murni De Vlacoure. King Julion yakin kalau kalian akan menyelamatkan De Vlacoure,” jawab Tetua.
“Tapi, aku bukanlah keturunan murni De Vlacoure seperti yang kalian bicarakan. Aku berdarah campuran. Ayahku murni Elf sedangkan Ibuku seorang manusia,” tutur Vav.
“Itu karena kau adalah salah satu keturunan dari dua Jenderal  yang memilih untuk tinggal di luar De Vlacoure dan telah terikat sumpah pasti,” jelas Tetua seraya bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela.
“Sumpah Pasti ?” tanya Austin.
“Ya, sumpah yang mangatakan bahwa ia akan mengutus keturunannya. Yaitu keturunan dari anak tunggal yang mempunyai anak tunggal juga, apa kalian mengerti maksudku?” tanya Tetua.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav diam tak mengerti.
“Begini, kalau tidak salah orang tua kalian anak tunggal bukan dan kakek serta nenek kalian juga anak tunggal. Dan kalau aku tidak salah kalian juga anak tunggal,” jelas Tetua dengan sabar. Akhirnya mereka mengerti dengan apa yang dimaksud para tetua.
“Tunggu, tadi Anda mengatakan kalau hanya dua Prajurit yang pergi, itu artinya, setiba di dunia manusia mereka menikah dengan manusia dan menghasilkan keturunan setengah Elf-Manusia?” tanya Vav penasaran.
“Oh, tidak anakku. Sebenarnya tidak hanya mereka, istri mereka juga ikut. Mereka adalah pahlawan-pahlawan De Vlacoure, kalian bisa melihat lukisan mereka di Guidoweld,” jawab tetua.
“Guidoweld? Apa itu?” tanya Vlow.
“Kediaman Ratu. Itu adalah salah satu Kota Besar di De Vlacoure,” jawab Reein.
“Pasti disana lebih indah dan menakjubkan. Desa kecil seperti ini saja sudah sangat menakjubkan, apalagi Kota Besar,” puji Vav.
“Kalau boleh tanya, saat kami menemukan kalian di hutan, sebenarnya kalian dari mana?” tanya Skriel menoleh kearah Roft.
“Kabur dari penjara tanpa cahaya,” jawab Roft spontan.
Penjara tanpa cahaya?” tanya sesosok Tetua yang duduk di sebelahnya.
“Apakah itu benar-benar ada? Bukankah itu hanya sebuah legenda?” tanya tetua yang duduk sebelah Reein.
“Ternyata itu bukan sekedar legenda, Arter,” bantah Roft, “Aku baru saja kembali dari sana bersama mereka,” 
 “Ya, mereka sangat senang saat mendapatkan kami. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui kami telah kabur,” sahut Vav.
Wajah para Tetua, Skriel dan Reein berubah cemas. Mereka menjauh dari Austin, Gerald, Vlow dan Vav dan mereka beerdiskusi sejenak. Mereka tampak serius, dengan anggukan dan gelengan mereka saling memberikan pendapat.
“Sudah waktunya kalian pergi ke Guidoweld,” tutur Tetua yang paling jangkung dari Tetua yang lain.
“Kanapa begitu?” tanya Austin bingung.
“Penjara tanpa cahaya adalah penjara milik seorang penyihir yang ratusan tahun lalu ingin merebut De vlacoure. Aku sangat yakin kalian baru saja ditangap oleh Dhomnail. Dan itu adalah berita buruk. Ditambah lagi kalian kabur dari sana, aku yakin dalam waktu dekat ia akan menyerang Alvares karena desa ini adalah desa terdekat dari Rombopterix,” jawab Ayah Reein.
“Besok pagi kalian akan dibawa ke Guidoweld. Disana adalah tempat yang aman untuk kalian,” tambah Skriel.

Keesokan paginya kesibukan terjadi di Alvares. Penduduk desa sibuk mempersiapkan keamanan desa. Mereka memasang bambu-bambu runcing di sekeliling desa. Jerami-jerami mereka kumpulkan dan mereka lumuri dengan minyak. Para ibu mempersiapkan ruang bawah tanah untuk perlindungan mereka. Sebisa mungkin mereka menyelamatkan barang yang bisa diselamatkan. Ketika Ogre itu datang mereka telah siap untuk menyerang.
Tidak ingin berleha-leha, Austinpun mengemasi barang-barangnya. Buku De Vlacoure di masukkannya ke dalam tas dan sebuah pedang yang diberikan Roft ketika di penjara. Sebenarnya ia tidak tahu cara menggunakan pedang itu, tapi ia tetap membawanya untuk berjaga-jaga.
Gerald juga ikut mempersiapkan barang bawaannya. Ia hanya membawa sebuah pistol yang hanya berisi satu selongsong peluru. Sebenarnya pistol itu adalah milik ayahnya yang seorang polisi, Gerald mencurinya disaat liburan musim panas. Awalnya ia mengira pistol itu hanya korek api dan dijadikannya sebagai bahan gaya di sekolah. Tapi ternyata itu adalah pistol sungguhan yang di letakkan ayahnya bersebalahan dengan pistol korek api. Begitu mengetahuinya ia tidak berniat untuk mengembalikannya.
Semua prajurit telah siap, kuda-kuda telah ditunggangi, tapi Vlow dan Vav tampak bingung.
“Kalian bisa menunggang kuda bukan?” tanya Skriel saat melihat Vlow dan Vav tengah kebingunan.
“Sebenarnya kami tidak bisa melakukannya, di tempat tinggal kami tidak menggunakan kuda untuk bepergian,” jawab Vav.
“Dan, aku tidak akan naik kuda,” tambah Vlow sedikit takut.
“Ayolah, kau takut? Lalu dengan apa kau akan pergi, dengan mobil, ha?” ledek Gerald.
“Aku tidak bisa Gerald,” bantah Vlow..
“Kalau begitu apa kalian keberatan jika menumpang dengan Austin dan Gerald?” tanya Reein.
“Tergantung mereka,” jawab Vlow sedikit ragu.
“Tidak masalah. Ayo!” ajak Gerald menjulurkan tangannya kepada Vlow yang berdiri tidak jauh darinya.
Vlow tampak sedikit ragu karena menurutnya tak biasanya Gerald seperti itu. Syukurlah kalau ia mau berubah, pikir Vlow. Dan akhirnya Gerald bersama Vlow dan Austin bersama Vav.
Begitu semua persiapan telah selesai, mereka berpamitan pada penduduk dan segera berangkat ke Guidoweld dengan senyum mangambang di pipi mereka karena akhirnya dapat bertemu dengan sang Ratu. Pasukan yang dipimpin oleh Skriel melaju menuju Guidoweld. Mereka melaju kuda mereka dengan cepat dengan maksud tiga hari kedepan mereka sudah bisa memijakkan kaki di tanah Guidoweld.