Desa Kecil di Delgaquados
Mereka tidak menghiraukan ucapan Roft. Mereka hanya
berdiam diri di tempat masing-masing dan menelan kata-kata yang ingin mereka
lontarkan. Semakin lama, mereka semakin didesak sehingga mereka terpaksa
merapatkan diri.
“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan disini?”
tanya sebuah suara dengan tegas.
“Kami hanyalah sekelompok mangsa yang berhasil
melarikan diri dari sang pemangsa,” jawab Roft berusaha untuk tetap tenang,
“Dan siapa kalian?”
“Itu bukan urusan kalian!” bentak suara itu kembali.
Roft berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk
dilontarkan, namun semuanya rusak ketika Vlow tersadar dari tidurnya yang
nyenyak.
Saat Vlow mengangkat kepalanya dari pundak Gerald,
tanpa sengaja kepala bagian belakangnya mengenai ujung tombak yang dihunuskan
ke arahnya. Sontak ia menjerit dan mengambil belatinya dan langsung
mengacungkannya ke arah si pemilik tombak.
“Aku paling tidak suka dengan orang yang menusukku
dari belakang!” soraknya.
Semua perhatian langsung terarah kepadanya. Roft
langsung memanfaatkan situasi. Ia langsung mencabut pedangnya dan
melambaikannya berusaha mengusir senjata yang terarah kepadanya. Dengan sigap
Ia dapat menjatuhkan beberapa penunggang kuda. Namun jumlah lawan lebih banyak
daripada mereka yang hanya berjumlah lima orang dan satu orang yang terluka.
Disaat ia sibuk melawan para prajurit itu, terdengar rintihan dari belakangnya.
Dan suara itu berasal dari orang yang dikenalnya. Saat ia menoleh ke belakang,
tampak Austin, Gerald, Vlow dan Vav jatuh ke tangan para prajurit. Tangan
mereka tertahan dan mata pedang siap di leher mereka.
“Jika kau melawan, mereka akan mati di depan matamu,”
ujar suara seorang prajurit yang terlihat sebagai pemimpin pasukan itu. Sambil
membuka helemnya Ia berjalan mendekati Roft dan memberikan kode kepada salah
satu pasukannya untuk menangkapnya.
Roft menilik wajah pria yang ada di depannya. “Kau
tidak berubah sama sekali dalam beberapa bulan ini, Skriel,” tutur Roft tenang.
Pria itu menunjukkan reaksi yang berbeda. Dia cukup
terkejut mendengar penuturan dari mulut Roft, “Kau berbicara seolah kau
mengenaliku. Siapa kau sebenarnya?”
Roft tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan diri
dari pegangan prajurit yang menangkapnya. Begitu berhasil melepaskan diri, ia
mengambil belati yang menggantung di pinggangnya. Prajurit yang menangkapnya
tadi langsung memberikan reaksi, namun pria yang disebut Skriel oleh Roft itu
langsung menghentikannya. Setelah ia mendapatkan izin untuk mencabut belatinya,
Roft mengikat rambut panjangnya yang tidak terurus dan memotongnya.
Meninggalkan setengah dari panjang rambutnya yang sebelumnya.
“Berbulan-bulan di ruangan gelap membuatmu tidak ingat
dengan wajah sahabatmu sendiri?” tanya Roft melepaskan potongan rambutnya dan
membiarkannya berjatuhan di tanah.
Tampak pria yang berdiri di depannya menyipitkan
matanya dan berfikir.
“Roft?” tanyanya.
“Ya, itulah nama yang diberikan orang tuaku sewaktu
kecil,” sahut Roft senang karena sahabatnya tidak melupakannya.
Skriel menjatuhkan helem yang dipegangnya dan membuka
lebar kedua tangannya. Sambil tertawa renyah ia menyambut Roft ke dalam
pelukannya. Mereka berpelukan dengan hangat, saling melepas rindu setelah tidak
bertemu selama beberapa bulan. Semua yang ada disana hanya melihat sambil
tersenyum bingung bercampur haru.
“Lihat, tubuhmu sangat kurus dan tidak terurus. Aku
hampir tidak mengenalimu. Kemana kau selama ini? Menghilang di tengah perburuan
kita,” tanya Skriel menepuk pundak Roft yang bertubuh lebih kecil darinya.
“Itu adalah cerita yang panjang. Aku pasti akan
menceritakannya kepadamu,” jawab Roft, “Yang penting kau harus melepaskan
mereka. Mereka bersamaku.”
Skriel langsung memerintahkan prajuritnya untuk
melepaskan tawanan mereka. Setelah dilepaskan mereka bergegas mendekati Roft,
takut prajurit itu akan menangkap mereka lagi.
“Siapa mereka? Dilihat dari pakaian yang mereka
kenakan sepertinya bukan dari daerah sini,” kata Skriel memperhatikan empat
remaja yang mengenakan pakaian yang aneh, menurutnya.
Roft meminta Skriel untuk mendekatkan telinganya dan
dengan amat pelan ia membisikkan sesuatu yang membuat Skriel terkejut. Ia
tampak mengangguk ketika Roft berbisik ke telinganya. Saat pembicaraan rahasia
mereka telah selesai, Roft mengedipkan matanya kepada empat remaja yang ia
temui di dalam penjara tanpa cahaya Dhomnail. Mereka membalasnya dengan
anggukan walaupun tidak tahu dengan maksud dari kedipan itu.
“Teman-teman, sepertinya rencana kita mengalami
sedikit perubahan. Kita tidak akan ke Sereen (sebuah desa kecil di utara
Rombobterix). Sekarang kita harus mengantarkan tamu kita ke Alvares,” sorak
Skriel memerintahkan pasukannya, “Mereka adalah tamu spesial De Vlacoure.
Korbankan nyawa kalian untuk melindungi mereka. Ingat apa yang pernah Raja
kalian lakukan agar kalian tetap hidup. Percayalah padaku bahwa kita membawa
harta berharga,” tambahnya. Terlihat dari raut wajah pasukannya sebuah
kebingungan. Namun mereka sama sekali tidak menentang perkataan pemimpin
mereka.
Tepat setelah ia mengumumkan rencananya, ia bersiul
dan tampak seekor kuda yang tengah menarik kereta berwarna hitam datang
mendekatinya.
“Kami telah melepaskan kuda-kuda yang tidak memiliki
penunggang, selama di perjalanan kalian bisa menggunakan kereta kuda ini.
Sebelumnya kami gunakan untuk membawa bahan makanan, namun semuanya telah habis
dan kereta itu telah kosong. Apa kalian keberatan?” tanya Skriel kepada
tamunya.
“Tentu saja tidak. Sekarang kami tidak bisa
membayangkan tumpangan yang lebih bagus dari ini,” jawab Austin sopan.
“Bagus, kalau begitu kalian harus segera naik. Kita
akan segera berangkat begitu kalian siap. Kita tidak bisa menunda keberangkatan
lagi, Ogre-ogre itu akan datang menyusul kita,” sahut Skriel menaiki kudanya.
Vlow, Vav, Gerald, Austin dan roft masuk secara
bergantian. Begitu mereka semua telah masuk Skriel memerintahkan pasukannya
untuk memulai perjalanan menuju Alvares.
“Sepertinya kita tidak akan berhenti untuk istirahat.
Kecuali jika kita menemukan masalah di tengah jalan,” tutur Roft menyampaikan
pemikirannya.
Dari dalam kareta terdengar suara Skriel memerintahkan
kepada 153 pasukannya untuk segera berangkat. Terdengar suara derap kaki kuda
dan roda kereta kuda yang mulai menggelinding di atas tanah berbatu. Kereta itu
bergoyang ketika rodanya melindas sebuah kerikil. Membuat penumpangnya juga
ikut menggoyangkan tubuh mereka. Terdengar dari derap kaki kuda para penunggang
sepertinya mereka menggunakan kekuatan penuh agar segera sampai di Alvares
secepatnya. Karena tidak aman berkeliaran di luar hutan ketika kita sedang
dalam sebuah pelarian. Roft benar, selama perjalan mereka tidak pernah berhenti
sama sekali. Walaupun beberapa diantara mereka merasakan lapar yang amat
sangat. Namun mereka tetap menunggang kuda mereka seolah mereka akan dihukum
mati jika menghentikan laju kuda mereka di tengah jalan.
Siang beranjak sore. Ufuk timur telah berubah warna
menjadi jingga tua. Seperti kebakaran hebat tengah terjadi di arah timur. Namun
itu hanyalah biasan cahaya matahari yang hendak hinggap di singgasananya.
Mengganti tempat ia bertugas. Menerangi belahan bumi bagian lain. Sementara itu
dari arah barat bulan mulai menampakkan dirinya. Kelopak bunga Crosoft mulai memperlihatkan
cahaya putihnya. Menerangi seluruh isi kereta.
“Kalian sebaiknya beristirahat. Kita akan menempuh
perjalanan panjang,” tutur Roft menutup jendela kereta.
“Kapan kita akan sampai Roft?” tanya Vav mulai mengantuk.
“Besok pagi kurasa, jika kita tidak memiliki
hambatan,” jawab Roft, “Dan sekarang kita telah memasuki hutan Delgaquados.”
Kelelawar mulai menampakkan diri mereka. Terbang
mencari makanan. Di dalam hutan mereka sedikit kesulitan membawa kereta kuda
dikarenakan banyaknya akar pohon yang mencuat keluar. Dan akhirnya mereka
memutuskan untuk mengambil jalanan setapak yang sering di lewati pelancong
maupun pemburu agar kereta kuda dapat berjalan tanpa hambatan. Sementara itu di
dalam kereta mereka teritidur pulas. Mereka berusaha melupakan mimpi buruk yang
baru saja mereka alami. Dan berharap perjalanan kali ini tidak mengalami
hambatan dan segera sampai di Alvares.
Namun, tampaknya Roft tidak dapat menutup matanya
terlalu lama. Setiap beberapa menit dia akan terbangun dan teringat akan
kepahitannya selama berada di penjara Dhomnail. Untuk melupakannya ia
memutuskan untuk bergabung bersama teman-temannya di luar. Walaupun tidak ada
kuda untuk ia tunggangi, setidaknya ia bisa duduk bersama prajurit yang membawa
kereta kuda dan berbincang.
Begitu malam
berganti pagi, mereka telah melewati setengah dari hutan Delgaquados. Dan mereka
yakin akan segera sampai ketika matahari berada di atas kepala mereka. Untuk
pertama kalinya mereka memutuskan untuk berhenti. Kita tidak bisa menyalahkan
mereka karena telah merusak janji mereka untuk tidak berhenti sebelum sampai.
Tapi apa boleh buat, sebelumnya mereka belum pernah melakukan perjalanan tanpa
istirahat. Dan tiba-tiba mereka mendapatkan perintah untuk melakukan perjalanan
tanpa istirahat sebelum mereka sempat mengatakan kata makanan dari mulut
mereka.
“Sebaiknya kalian bangun sebelum semua makanan dilahap
oleh mereka,” tutur Roft membuka jendela kereta.
“Kita sudah sampai?” tanya Gerald merenggangkan
tubuhnya.
“Tidak secepat itu Gerald,” jawab Roft, “Ayo waktunya
untuk makan,” sambungnya membuka pintu kereta.
“Tapi kau mengatakan kita tidak akan berhenti sebelum
sampai kecuali ada masalah ditengah jalan,” ujar Vlow merangkak keluar kereta.
“Itu benar, tapi musuh utama semua makhluk hidup
adalah perutnya sendiri. Jika kau tidak menuruti kemauan perutmu maka ia bisa
menjadi sesuatu yang sangat mengerikan,” sahut Roft membantu Vlow menuruni
kereta.
Roft membimbing mereka ke tempat para prajurit
beristirahat. Disana tampak beberapa prajurit yang tertidur lelap dan beberapa
diantara mereka menyantap makanan dan mengisap pipa. Mereka terlihat seperti
musafir yang yang telah berjalan bermil-mil jauhnya. Di tempat lain tampak
kuda-kuda juga beristirahat dan mengunyah rumput liar yang berada di dekat
mereka. Austin, Gerald, Vlow dan Vav segera membasuh muka mereka dari ember
yang telah disediakan pasukan Skriel. Setelah merasa segar kembali mereka duduk
di bawah sebuah pohon rindang dan menikmati udara yang menyentuh kulit mereka
dan merasakan hangatnya matahari pagi. Namun kenikmatan mereka hilang ketika
mendengar bunyi gemuruh di dekat mereka. Sontak semuanya langsung menoleh kearah
Vav yang mengusap-ngusap perutnya.
“Haha, maafkan aku karena melupakan kalian. Ini! Aku
telah memasaknya untuk kalian. Aku yakin kalian sangat lapar,” tutur Skriel
datang sambil menyodorkan makanan di depan mereka. Disana tampak ada semangkuk
besar sup yang masih hangat dengan berbagai jamur di dalamnya. Beberapa potong
daging ayam hutan dan sebotol susu segar. Mereka langsung menelan air ludah
mereka karena ingin segera memakannya namun menahanya agar tidak terlihat memalukan.
“Maaf, kami hanya bisa menyediakan makanan seperti ini
untuk saat ini. Berbeda jika kita telah sampai di Alvares, kalian akan
mendapatkan satu meja penuh,” ujar Skriel merendah.
“Hanya ini kau bilang?” tanya Vav bingung.
“Maafkan aku. Jika menurut kalian ini kurang aku akan
memerintahkan anak buahku untuk menambahnya,” kata Skriel seraya bangkit.
“Jika kau ingin menambahnya, aku rasa itu akan
menyiksa kami karena harus menunggu. Ini lebih dari cukup. Kami akan
kekenyangan dengan ini,” bantah Vlow memperhatikan makanan yang ada di
depannya.
“Syukurlah, karena cukup sulit untuk menangkap ayam
hutan. Kalau begitu jangan sungkan, silahkan dimakan,” Skriel manambahkan.
Tanpa sungkan lagi, mereka langsung memasukkan sup
yang ada di dalam nampan ke dalam mangkuk yang telah disediakan untuk mereka.
Tanpa mempedulikan uap yang muncul dari sup itu mereka menyendoknya langsung ke
dalam mulut mereka. Tidak peduli panasnya akan membuat bibir mereka melepuh.
Yang ada dipikiran mereka hanyalah memakan semuanya hingga perut mereka terisi
penuh. Setelah mereka menghabiskan semua sup yang disediakan, mata mereka
beralih kepada ayam yang ada disamping nampan sup. Mereka memakan ayam itu
sampai ketulang-tulangnya. Semua prajurit yang memperhatikan mereka hanya bisa
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika semua makanan yang dihadapkan kepada mereka
tidak bersisa, baru mereka sadari betapa rakusnya mereka. Dan akhirnya mereka
hanya bisa tertawa sambil memohon maaf karena telah bersikap sangat memalukan.
“Sepertinya Bauqh memiliki saingan sekarang,” celetuk
seorang prajurit yang mengundang tawa semua pendengarnya.
“Siapa Bauqh?” tanya Gerald menyeka peluh yang
mengalir di lehernya.
“Dia adalah troll yang sangat menyukai makanan. Ia
akan memakan semua yang ada di depannya selama itu bisa dimakan. Termasuk
kotorannya sendiri, haha,” jawab Roft kembali mengundang tawa semuanya. Keempat
remaja yang tidak tahu apa-apa itu juga ikut tertawa.
“Maafkan kami, sebenarnya kami belum melihat makanan
selama dua hari ini,” kata Vlow malu.
“Tidak apa. Bahkan ada yang lebih parah dari kalian.
Roft bahkan tidak menyisakannya untukku,” sahut Skriel sambil tertawa.
Matahari hampir mencapai 15˚ saat mereka memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat mereka berusaha menghilangkan
tanda bahwa di tempat itu pernah digunakan untuk beristirahat. Mereka menimbun
bekas api unggun mereka dengan tanah dan mengubur sisa-sisa makanan yang tidak
mungkin untuk mereka bawa. Saat semuanya selesai mereka melanjutkan perjalanan
menuju Alvares. Semuanya kembali bersemangat. Kuda-kuda melangkah dengan cepat.
Otot mereka kembali kuat setelah melakukan istirahat. Bermil-mil jauhnya mereka
membelah hutan Delgaquados. Kabarnya Delgaquados adalah hutan terluas di De
Vlacoure. Jika kita tidak mengenal hutan ini dengan baik, kita bisa berada
disana selama beminggu-minggu. Namun jika kita mengenal baik Delgaquados kita
akan mampu keluar hutan hanya dalam beberapa hari.
“Apakah Alvares itu sangat jauh?” tanya Vav kepada
prajurit yang membawa kereta kuda. Ia menemukan sebuah jendela kecil di
belakang punggung sang pengendara ketika ia iseng mencari kotak rahasia seperti
yang biasa ada di dalam cerita.
“Itu sangat jauh jika berada di luar hutan
Delgaquados. Tapi kita beruntung karena ia berada di dalam hutan,” jawab sang
pengendara.
“Apakah itu sebuah kerajaan yang ada kastil kuno yang
dihuni oleh Raja, Ratu dan seorang Putri?” tanya Vav polos. Ia menuturkan apa
yang pernah ia tonton di televisi.
“Tentu saja tidak,” jawab pengandara itu sambil tertawa,
“Alvares itu adalah sebuah desa. Tidak ada kastil, Raja, Ratu atau Putri
disana. Yang ada hanyalah perumahan penduduk, Elf dan para tetua. Kau akan
betah disana ketika kau bermain bersama anak-anak dan mereka menyentuh wajahmu
dengan tangan mungilnya,” jawab pengendara terhanyut dengan kenangannya.
“Kau merindukan Alvares?” tanya Vav.
“Sangat,” jawabnya masih berkonsentrasi dengan jalan
kudanya, “Sudah berbulan-bulan aku tidak berada di rumah. Aku sangat merindukan
kehangatan sebuah keluarga.”
“Kau memiliki seorang anak?” tanya Vav lagi.
“Ya. Dia masih sangat kecil ketika aku pergi
meninggalkan rumah,”
“Kenapa kau pergi?” tanya Vav membuka jendela lebih
lebar dan tampak di depannya puluhan kuda dan penunggangnya berlari dengan
sangat cepat. Begitu juga dengan kereta kuda yang dinaikinya.
“Jika kau ingin menyelamatkan keluargamu, kau harus
pergi meninggalkan mereka,” sahutnya, “Beberapa tahun belakangan ini ada banyak
Ogre yang berkeliaran di sekitar desa. Itu sangat meresahkan warga. Jadi kami
di utus tetua desa untuk menyelesaikan masalah ini. Ya anggap saja seperti
berburu Ogre agar mereka tidak mendekati desa.”
“Karena itu kita bertemu di hutan gelap itu? Jadi
kalian mengira bahwa kami adalah buruan kalian?” ujar Vav tertawa manis.
“Ya, maafkan kami. Karena selama kami berpatroli
disana kami tidak pernah bertemu dengan Elf,” jawabnya kembali fokus.
Mereka diam sesaat ketika mereka berbelok ke kanan karena
sebuah pohon besar berada beberapa meter di depan mereka.
“Jadi, setelah ini kau akan bertemu dengan istri dan
anakmu kembali,” tutur Vav memecahkan lamunan.
Pengandara itu diam sesaat, “Ya. Kadang aku bersyukur
karena bertemu dengan kalian. Karena kami memiliki alasan untuk pulang,”
jawabnya.
“Kau akan kembali berburu Ogre ketika sampai di
rumah?”
“Tidak! Aku rasa,” serunya, “Kali ini tugas kami lebih
berat dari itu. Sebelumnya kami berburu untuk Alvares, tapi kali ini kami akan
berperang untuk De Vlacoure,” jawabnya penuh keyakinan dan semangat juang.
“Tapi, kau harus menemui keluargamu terlabih dahulu,”
saran Vav.
“Ya, tentu,” balasnya.
Saat matahari mencapai posisi 120˚ langkah kuda
semakin cepat. Terdengar sebuah sorakan dari kejauhan bahwa Alvares sudah
dekat. Itu terlihat seperti sebuah cambuk bagi mereka. Sehingga mereka
mempercepat laju kuda mereka. Sudah
berbulan-bulan mereka meninggalkan desa untuk melaksanakan
tugas. Mereka rindu dengan keluarga dan
rumah, sehingga tanpa sadar kerinduan itu mempercepat laju mereka.
Mereka dapat melihat atap-atap rumah dari kejauhan
ketika matahari berada pada posisi 90˚. Laju mereka semakin cepat ketika
terlihat dari kejauhan seorang anak melambaikan tangannya sambil bersorak. Ia
tampak memberitahukan kepada penduduk bahwa keluarga mereka telah kembali. Dan
membuat mereka berkumpul di bibir hutan. Semua orang bertepuk tangan ketika
mereka memasuki gerbang desa. Beberapa diantara warga memanggil-manggil nama
orang yang mereka sayangi sambil meneteskan air mata bahagia. Namun beberapa
diantara mereka ada yang menangis karena tidak dapat melihat kehadiran suami
atau anaknya di dalam barisan berkuda itu.
Mereka menghentikan laju kuda mereka ketika seluruh
prajurit telah memasuki desa. Mereka
sampai di desa Alvares yang kecil namun damai. Di desa ini mereka membangun
rumah-rumah dengan ukuran kecil, dengan atap rumbia dan jendela yang
bergandengan dengan pintu untuk menghiasinya. Dengan serempak mereka menuruni kuda masing-masing dan berdiri di
sebelahnya. Dengan gagah, Skriel berjalan menghampiri para tetua yang bediri di
depan sebuah rumah yang lebih besar dari rumah lainnya. Ia memberi hormat, begitu
dibalas ia langsung membisikkan sesuatu ke telinga tetua dan lagi, ekspresi
keterkejutan tergambar di wajah para tetua. Mereka memberikan anggukan dan
Skriel memerintahkan kepada pengendara kereta kuda untuk mengeluarkan tamu
istimewa mereka.
“Sudah waktunya untuk kalian menampakkan diri,” tutur
pengendara itu ketika pintu telah terbuka.
Dengan hati-hati mereka keluar dari kereta dan dapat
menyaksikan ekspresi ketekejutan penduduk desa. Mereka terdiam saat melihat
tamu istimewa mereka keluar. Mereka saling berbisik satu sama lain sambil
melirik ke arah tamu mereka.
“Tetua ingin bertemu dengan kalian,” ujar pengendara
kereta sambil menunjuk kearah Skriel yang berdiri bersama tetua.
“Dengan penampilan seperti ini? Kurasa tidak,” jawab
Vav memperhatikan pekaiannya yang berantakan.
Pengendara itu tertawa, “Tenang saja, mereka sangat
menyukai sesuatu yang apa adanya.”
Mereka langsung membuka langkah mereka, namun secara
spontan Gerald merangkul Vlow dan memapahnya berjalan. Vlow sedikit terkejut
dengan aksi Gerald tapi ia membiarkannya saja. Karena menurutnya niat baik
seseorang tidak boleh ditolak.
“Selamat datang di Alvares,” sambut sesosok Elf yang
terlihat sangat bijaksana dan menawan dari Elf yang pernah mereka lihat,
“Maafkan kami karena tidak menyambut kalian dengan pantas,” tambahnya.
“Harusnya kami yang meminta maaf karena menghadap
kalian dengan penampilan yang tidak pantas seperti ini,” bantah Austin segera.
Tetua itu tertawa renyah, “Aku tahu kalian merasa
tidak nyaman dengan perjalanan ini. Dan harus aku akui penampilan kalian memang
sangat berantakan,” tuturnya lembut, “Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang
ingin aku lontarkan kepada kalian, tapi melihat kondisi kalian sebaiknya kalian
membersihkan diri terlebih dahulu dan beristirahat,” ujar tetua membuka pintu
rumah yang ada di belakangnya, “Anakku akan mengurus kalian.”
Dari dalam rumah keluar sesosok Elf perempuan yang
mengenakan gaun berwarna coklat muda. Gaun itu menempel di tubuhnya yang
langsing. Membentuk setiap lekuk tubuhnya. Gaun itu menutupi kakinya bahkan
mencapai lantai. Setiap kali ia melangkahkan kaki maka gaun itu akan menyapu
seluruh lantai yang dilewatinya. Rambut emasnya yang panjang terikat dibagian
ujungnya. Tampak sangat selaras dengan wajahnya yang cantik. Empat remaja itu
memperhatikan wajahnya tanpa berkedip sedikitpun. Menikmati kecantikan yang
terpancar dari wajahnya. Di balik tubuh wanita menawan itu muncul dua orang
anak yang yang tampak malu-malu.
Wanita itu menghampiri tetua yang berada paling dekat
dengan Skriel. Membungkuk hormat. Begitu juga dengan Skriel, ia langsung
memeleluknya dengan hangat dan berurai air mata. Skriel langsung menghapusnya
dan tersenyum hangat.
“Aku pulang,” tuturnya.
“Kenapa kau lama sekali ayah?” tanya anak laki-laki
yang memiliki rambut sepanjang bahunya. Memeluk Skriel dengan manja.
“Maafkan aku. Perjalananku sugguh jauh. Tapi sekarang
aku telah pulang,” sahutnya memeluk kedua anaknya yang telah berbulan-bulan ia
tinggalkan.
Tetua itu memanggil putrinya dan membisikkan sesuatu
ke telinganya dan ia mengangguk sambil tersenyum.
“Silahkan masuk, mulai
sekarang aku akan melayani kalian. Jangan sungkan,” ujar wanita itu
mempersilahkan mereka masuk.
Mereka hanya bisa menanggapinya dengan anggukan namun
tidak menggerakkan kaki mereka sama sekali. Melihat itu, anak-anaknya yang
tengah memeluk Skriel berlari menghampiri Austin, Gerald, Vlow dan Vav dengan senyuman
lugu yang menenangkan hati. “Ayo!” ajak mereka sambil menyeret orang-orang yang dibawa
oleh ayah mereka.
Wanita itu berjalan di depan mereka dengan anggun.
Menuntun mereka menuju beberapa ruangan yang bisa mereka gunakan untuk
beristirahat. Ia tidak banyak berbicara namun selalu menebarkan senyum
terbaiknya kepada tamu-tamu yang selalu mengikutinya di belakang.
“Kalian bisa menggunakan ruangan ini untuk
beristirahat,” ujarnya sambil menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu.
Pintu itu terbuat dari kayu-kayu yang telah diukir sedemikian rupa.
Menggambarkan sebuah pemandangan di suatu daerah. Pintu itu terlihat berat,
namun begitu wanita itu mendorongnya pintu itu terbuka dengan mudah.
Wanita itu kembali melangkahkan kakinya memasuki
ruangan itu. Ruangan itu tidak begitu besar, kecil namun tertata rapi.
Jendela-jendela tertempel di sepanjang dinding yang ada. Tirai transparan
menutupi jendela yang terbuka. Angin-angin menyibakkan tirai yang seringan
sutra, menebarkan aroma bunga yang sangat menenangkan pikiran. Disana terdapat
beberapa kursi yang dirapatkan ke dinding. Di tengah-tengahnya diletakkan
sebuah meja rendah.
“Aku belum mengenal kalian. Jika tidak keberatan,
bolehkah aku mengenal kalian?” tanya wanita itu menyadarkan mereka dari
lamunan.
“Oh, tentu saja. Maafkan kami yang kurang sopan karena
tidak memperkenalkan diri,” ujar Austin sopan.
“Tidak apa,” sahutnya, “Kalian bisa memanggilku Reein
jika kalian mau. Dan kalian?”
“Austin,”
“Vlow,”
“Gerald,”
“Dan aku Vav,”
“Baiklah Austin, Vlow, Gerald, Vav, aku akan
meninggalkan kalian disini untuk membersihkan tubuh kalian dan beristirahat.
Kalian bisa membagi ruangan yang ada di balik tirai itu,” tuturnya menunjuk
kearah tirai yang sama sekali tidah bergerak sementara tirai yang lain menari
gemulai dihembus angin, “Disana adalah kamar kalian selama kalian berada disini
dan disetiap kamarnya disediakan sebuah kamar untuk kalian membersihkan diri.
Aku akan meninggalkan kalian untuk mempersiapkan pakaian kalian. Apa kalian
keberatan?” tanya Reein dengan lembut.
“Tentu saja tidak,” bantah Vav, “Maaf telah
merepotkan.”
Reein membalasnya dengan anggukan yang diiringi dengan
senyuman hangat. Seperti yang ia ucapkan tadi, ia berjalan keluar ruangan
meninggalkan mereka. Tanpa pikir panjang, mereka langsung memilih ruangan yang
akan mereka tempati untuk beristirahat. Vav langsung merangkul tubuh Vlow dan
membimbingnya menuju ruangan yang terletak di sebelah kanan. Disetiap kamar
terdapat sebuah ranjang yang terbuat dari kayu hutan Delgaquados. Kasurnya di
lapisi alas berwarna putih. Bantal-bantal yang terlihat empuk, tampak menggoda
untuk digunakan dan selimut yang tampak hangat jika kita berada di dalamnya.
Dibagian kepala ranjang terdapat dua buah jendela yang ditutupi tirai putih.
Mereka memiliki sebuah peti pakaian di setiap kamar. Di sisi lain mereka menemukan
sebuah pintu yang terbuat dari bahan perak. Mereka langsung memasuki ruangan
itu karena mendengar tetesan air segar. Begitu mereka masuk tampak sebuah bak
berbentuk lingkaran berdiameter 2m dengan air jernih yang terisi penuh. Di bagian yang menempel pada dinding terdapat
dua kran yang akan mengalirkan sabun dan air. Tanpa pikir panjang lagi mereka
langsung membersihkan diri di dalam bak mandi yang telah dipenuhi busa.
“Apa kalian bisa
mengenakannya?” tanya Reein kepada dua gadis yang tampak bingung dengan pakaian yang ada di depan
mereka.
“No,” jawab mereka serentak.
Reeinpun membantu mereka
mengenakan pakaian itu. Setelah pakaian itu mereka kenakan, Reein membantu
mereka merapikan rambut agar terlihat cocok dengan pakaian yang mereka kenakan.
“Reein, baju
siapa yang kami kenakan ini?” tanya Vav, “Aku ingin berterima kasih padanya karena telah meminjamkannya
pada kami.”
“Oh, ini bajuku sewaktu muda,” jawab Reein merapikan
pakaian Vav.
“Sewaktu muda? Memangnya berapa umurmu sekarang?” tanya
Vav lagi.
“Baru 200 tahun,” jawab Reein acuh.
“What? 200 tahun? Kami kira kau masih berumur 30 tahun,” ujar
Vlow kaget tidak percaya.
“30 tahun?? Aku
tidak semuda itu?” tanya
Reein malu-malu.
“Tapi kau tetap cantik lo, malah di negara kami umur 200
tahun itu merupakan umur yang mustahil untuk dicapai,” tutur Vav.
“Ya, di negara kami umur 60 tahun itu sudah keriput dan
keropos, kalau kau saja umur 200 tahun seperti ini Skriel tidak akan berpaling,” tambah Vlow.
“Semoga seperti itu,” sahut Reein dengan muka merah.
Vlow dan Vav semakin bersyukur terlahir sebagai Elf,
walaupun mereka tidak bisa hidup ratusan tahun, mereka juga memahaminya, karena
di darah mereka juga sudah bercampur darah menusia meskipun hanya satu sampai
10%. Tapi berbeda dengan Vav yang dalam tubuhnya mengalir darah
manusia yang cukup banyak, mungkin hampir setengah dari darahnya adalah darah
manusia. Karena Vav merupakan darah campuran, Ibunya berasal dari keluarga
manusia, sedangkan Ayahnya murni keturunan Elf.
Elf adalah makhluk yang luar biasa, jauh berbeda
dengan manusia yang semakin lama semakin
tua dan keriput. Para Elf, baik pria maupun wanita semakin umur mereka bertambah, maka
mereka akan semakin menawan dan bijaksana. Lihat saja Reein, ia berumur 200
tahun, tapi terlihat seperti wanita berumur 30 tahun.
“Boleh aku
melihat kakimu?” tanya Reein kepada Vlow yang dari tadi mengurut-ngurut
pergelangan kakinya.
“Ya,”
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Reein lagi sambil
mengusap lembut mata kaki Vlow yang bengkak.
“Aku mengalami kecelakan kecil ketika melarikan diri,” jawab Vlow
mengalihkan perhatiannya kepada Reein yang tampak cemas.
“Keberatan jika aku mengobatinya?”
“Tentu saja tidak,” sahut Vlow.
“Kalau begitu tunggu saja di luar, aku akan mengambil
obatnya,” tutur Reein melangkahkan kakinya keluar kamar mereka.
“Kira-kira Ratu
umurnya berapa ya?” tanya Vav menerka-nerka sambil memapah Vlow keluar kamar.
Austin dan Gerald yang dari tadi menunggu mereka di luar
tampak terpesona dengan kehadiran wanita cantik di depan mereka. Tanpa berkedip
mereka memperhatikan Vlow dan Vav yang keluar dari kamar.
“Gerald, apakah tidak tergerak di pikiranmu untuk
membantuku?” tanya Vav yang membuyarkan lamunan mereka.
“Oh, tentu. Sorry,” sahut Gerald kalut.
“Apa ada yang salah dengan kami?” tanya Vlow yang mulai
jengkel karena dua pria yang ada
di dekat mereka menatap mereka dengan mata terbelalak.
“Ya, mataku yang salah atau memang kalian yang tampak
cantik hari ini?” tanya Austin terus terang.
“Mungkin memang kami yang tampak cantik,” jawab Vav
sambil tertawa manis.
“Kanapa kau Gerald?” tanya Vlow yang milihat Gerald
tampak berfikir.
“Aku hanya berfikir, ternyata kau bisa juga memakai baju
seperti ini, kau kan cowok,” jawab Gerald mengejek Vlow.
“Kau ya, lihat saja nanti kalau kakiku sembuh, aku akan menghajarmu!” bentak Vlow berusaha untuk bangkit, tapi sia-sia Reein
langsung manahan tubuhnya.
“Op, tunggu dulu. Kakimu harus di obati supaya bisa
mengejar Gerald,” ujar Reein lembut. Iapun menyarankan
kepada Vlow agar duduk di kursi.
“Reein? Apa itu?” tanya Vlow yang tampak jijik melihat
sesuatu yang ada di dalam nampan yang dibawa Reein.
“Tenang, bentuknya memang menjijikkan, aku saja enggan
memegangnya. Tapi, kakimu harus diobati dan kalau tidak kakimu bisa
dipotong,” jawab Reein menakut-nakuti Vlow.
“Kalau begitu, tolong obati,” sahut Vlow takut.
Dengan senyuman manis Reein mengangkat kaki kanan Vlow
yang bengkak dan meletakkannya di atas pahanya. Dengan lembut Reein mengolesi
ramuan yang di raciknya sendiri kepergelangan kaki Vlow. Ramuan yang berwarna
hijau itu, adalah campuran dari daun pohon Ashi yang banyak tumbuh di sekitar
Desa Alvares dengan getah buah Yulk.
Begitu ramuan itu tampak bekerja, Reein tampak membacakan
sebuah mantra dan pergelangan kaki Vlow yang bengkak perlahan-lahan menyusut
dan nyaris tak tampak lagi.
“Imposible!” tutur Vlow tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya, “Bahkan lebih cepat dari obat
yang diberikan Dokter,”
“Apa masih sakit?” tanya Reein lembut.
“Tidak, bahkan sekarang aku bisa menendang Gerald,” jawab
Vlow seraya bangkit.
Tapi baru saja Vlow akan melangkahkan kakinya, Vav ambruk
dan Austin dengan sigap langsung menangkapnya.
“Vav, Vav sadarlah,” ujar Austin dengan suara yang
bergetar. Tampak darah menetes dari
hidung Vav.
Semuanya tampak cemas ketika Austin meletakkan Vav di
atas ranjang.
“Vav kau bisa mendengar suara ku?” tanya Reein cemas.
Perlahan-lahan Vav membuka matanya dan tampak orang-orang
berdiri cemas mengelilinginya, “Reein,” panggil Vav lemas, “Tangan kiriku perih dan kepalaku sakit,”
Mendengar suara Vav yang lemah Reein langsung melihat
tangan Vav. Dari telapak tangan kirinya
tampak jejak hitam yang menyebabkan urat disekitar tanda itu muncul dan semakin
lama semakin
menyebar.
Reein langsung beranjak
dari tempatnya dan keluar dari ruangan itu. Terdengar suara kaca-kaca yang saling bersinggungan.
Begitu kembali dengan sebuah botol digenggamannya, Reein langsung mengolesi
telapak tangan kiri Vav dengan ramuan yang ada di botol itu dengan lembut.
Selang beberapa menit kemudian Vav siuman dan bisa duduk
kembali.
“Apa tadi di hutan kau memegang sesuatu?” tanya Reein
begitu Vav merasa baikan.
“Pohon,” jawab Vav masih lemas.
“Mungkin tanpa sengaja kau memegang siput pohon dia
menyengat tanganmu,” tambah Reein menyodorkan Vav dengan segelas air.
“Tapi aku tidak merasakan apa-apa waktu itu,” sahut Vav.
“Itu wajar, kita tidak akan merasakan apa-apa saat siput
pohon menyengat kita, kita akan sadar begitu racunnya mulai menjalar, tapi
tenang getah pohon Cano ini bisa menawar racunnya,” terang Reein seperti
seorang dokter yang tengah menerangkan penyakit yang diderita pasiennya. “Tapi biasanya tidak akan menimbulkan sakit kepala,
bahkan sampai mimisan seperti ini. Mungkin karena kau kelelahan.”
“Kau tahu banyak ya Reein,” puji Vlow yang dapat berdiri seperti biasa kembali.
“Dulu aku sempat menjadi murid tabib di
Guidoweld, jadi wajar kalau aku tahu banyak,” sahut Reein. “ Oh ya,
sudah waktunya untuk makan malam.”
Reein mengantar mereka ke sebuah ruangan yang terletak
di ujung rumah. Ruangan itu tertata rapi. Sebuah meja panjang terletak di
tengah ruangan. Berbagai makanan tampak tersusun rapi di atas meja. Kursi-kursi
tertata mengelilingi meja itu. Tampak beberapa sosok Elf telah mendiami kursi
mereka. Disana tampak lima sosok Elf yang tadi menyambut mereka di depan pintu
serta Skriel dan juga roft.
“Ayahku dan para tetua lain ingin bicara dengan
kalian,” ujar Reein duduk di sebelah suaminya.
Mereka mangangguk sambil memperhatikan lima sosok elf
yang duduk di ujung meja tersenyum kearah mereka. Mereka adalah para tetua Alvares. Jika
diperhatikan secara seksama mereka tidak tampak tua, malah mereka tampak
menawan dan muda. Kalau disandingkan dengan manusia yang seumuran dengan
mereka, manusia akan kalah telak. Bagai buyut dengan cicit.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav tampak begitu terpesona
karena sosok tetua-tetua yang menawan. Vlow dan Vav teringat akan perkataan Reein bahwa jika Elf semakin tua ia
akan semakin menawan dan mereka menimbang-nimbang umur
para tetua yang duduk anggun di
ujung meja makan.
“200 tahun,” bisik Vav.
“Tidak, tapi lebih tua dari itu, mungkin lebih dari 250,” bantah
Vlow begitu dipersilahkan menyantap
makanan.
“Kalian salah, mereka sudah 2000
tahun,” bisik Reein yang tidak sengaja
mendengar pembicaraan mereka.
Mendengar bisikan Reein, Vlow dan Vav syok dan muka
mereka mengeras seperti batu, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Tapi
mereka tetap menjaga tingkah agar tidak memalukan.
Ketika mereka menyantap makan malam, mereka tidak
begitu banyak melakukan percakapan. Hanya menanyakan hal-hal yang lazim untuk
di tanyakan. Kadang mereka juga tertawa ringan menaggapi guarauan yang di
lontarkan Roft. Saat makanan telah habis, baru mereka memulai percakapan
serius.
“Well, kalian tahu siapa mereka?” tanya Roft dari tempat duduknya.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav menggeleng serentak.
“Mereka adalah para tetua desa ini, ada yang
ingin mereka tanyakan kepada kalian,” tutur Roft mempersilahkan para Tetua untuk berbicara.
Para Tetua memasang wajah serius. Salah satu di antara
mereka menarik nafas dan mulai membuka mulut, “Sebenarnya ini pertanyaan yang biasa ditanyakan pada
orang baru yang menginjakkan kakinya di desa kami,” ujar Tetua yang duduk di meja paling ujung. Sepertinya ia adalah
ketua dari semua tetua. “Apa
kalian pernah kesini sebelumnya, tepatnya ke De Vlacoure?
“Well, kalau boleh jujur, belum sama sekali. Ini
kunjungan pertama kami,” jawab Austin jujur.
“Kalau begitu, kalian berasal darimana?”
“Yang pasti daerah yang sangat jauh dari daerah kalian,”
jawab Austin.
“Dimana itu, apa kami tahu tempatnya?” tanya tetua yang
tampak masih muda.
Untuk sementara Austin diam sambil memperhatikan wajah
temannya satu persatu, “London,”
“London? Jelaskan kepada
kami,” pinta tetua yang duduk di sebelah ayah Reein.
“London adalah daerah yang dihuni oleh manusia,” jawab Gerald
menggantikan Austin.
Para tetua tampak berbisik-bisik mendengar kata manusia.
“Melalui apa kalian kesini?” tanya tetua yang memakai
baju berwarna merah.
“Kurasa mereka tahu, jadi tak masalah kalau kita
memperlihatkannya,” bisik Vlow kearah Austin yang tampak ragu.
Dengan tarikan nafas panjang Austin mengeluarkan
suaranya, “Melalui buku ini,” sambil menyodorkan buku De
Vlacoure.
Raut semua wajah yang ada di ruangan itu langsung berubah
senang dan puas. Mereka kembali
berbisik-bisik satu sama lain.
“Sudah ratusan tahun kami menunggu kedatangan kalian, Ratu pasti senang
mendengar berita ini,” tutur Tetua senang.
“Em...apa betul De Vlacoure dalam bahaya?” tanya Vav.
Ayah Reein menarik nafas dalam, “Ya anakku, ratusan tahun lalu De Vlacoure diserang dan nyaris kalah. Kalau saja King
Julion tidak membacakan mantra dan mengorbankan nyawanya untuk De Vlacoure,
mungkin sekarang kita tidak pernah bertemu disini dan sejak perang itu kami
terus menunggu keturunan De Vlacoure.”
“Kenapa harus menunggu kami?” tanya Vlow.
“Itu karena King Julion begitu yakin bahwa De Vlacoure
akan kedatangan kekuatan besar, yaitu kalian keturunan murni De Vlacoure. King
Julion yakin kalau kalian akan menyelamatkan De Vlacoure,” jawab Tetua.
“Tapi, aku bukanlah keturunan murni De Vlacoure seperti
yang kalian bicarakan. Aku berdarah campuran. Ayahku murni Elf sedangkan Ibuku
seorang manusia,” tutur Vav.
“Itu karena kau adalah salah satu keturunan dari dua Jenderal yang memilih untuk tinggal di luar De
Vlacoure dan telah terikat sumpah pasti,” jelas Tetua seraya bangkit dari
kursinya dan berjalan ke arah jendela.
“Sumpah Pasti ?” tanya Austin.
“Ya, sumpah yang mangatakan bahwa ia akan mengutus
keturunannya. Yaitu keturunan dari anak tunggal yang mempunyai anak tunggal
juga, apa kalian mengerti maksudku?” tanya Tetua.
Austin, Gerald, Vlow dan Vav diam tak mengerti.
“Begini, kalau tidak salah orang tua kalian anak tunggal
bukan dan kakek serta nenek kalian juga anak tunggal. Dan kalau aku tidak salah
kalian juga anak tunggal,” jelas Tetua dengan sabar. Akhirnya mereka mengerti
dengan apa yang dimaksud para tetua.
“Tunggu, tadi Anda mengatakan kalau hanya dua Prajurit
yang pergi, itu artinya, setiba di dunia manusia mereka menikah dengan manusia
dan menghasilkan keturunan setengah Elf-Manusia?” tanya Vav penasaran.
“Oh, tidak anakku. Sebenarnya tidak hanya mereka, istri
mereka juga ikut. Mereka adalah pahlawan-pahlawan De Vlacoure, kalian bisa
melihat lukisan mereka di Guidoweld,” jawab tetua.
“Guidoweld? Apa itu?” tanya Vlow.
“Kediaman Ratu. Itu adalah salah satu Kota Besar di De
Vlacoure,” jawab Reein.
“Pasti disana lebih indah dan menakjubkan. Desa kecil
seperti ini saja sudah sangat menakjubkan, apalagi Kota Besar,” puji Vav.
“Kalau boleh tanya, saat kami menemukan kalian di hutan,
sebenarnya kalian dari mana?” tanya Skriel
menoleh kearah Roft.
“Kabur dari penjara
tanpa cahaya,” jawab Roft
spontan.
“Penjara tanpa
cahaya?” tanya sesosok Tetua yang duduk di sebelahnya.
“Apakah itu benar-benar ada? Bukankah itu hanya sebuah
legenda?” tanya tetua yang duduk sebelah Reein.
“Ternyata itu bukan sekedar legenda, Arter,” bantah
Roft, “Aku baru saja kembali dari sana bersama mereka,”
“Ya, mereka sangat
senang saat mendapatkan kami. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui kami
telah kabur,” sahut Vav.
Wajah
para Tetua, Skriel dan Reein berubah cemas. Mereka menjauh dari Austin,
Gerald, Vlow dan Vav dan mereka beerdiskusi sejenak. Mereka tampak serius,
dengan anggukan dan gelengan mereka saling memberikan pendapat.
“Sudah waktunya kalian pergi ke Guidoweld,” tutur Tetua
yang paling jangkung dari Tetua yang lain.
“Kanapa begitu?” tanya Austin bingung.
“Penjara tanpa cahaya adalah penjara milik seorang
penyihir yang ratusan tahun lalu ingin merebut De vlacoure. Aku sangat yakin
kalian baru saja ditangap oleh Dhomnail. Dan itu adalah berita buruk. Ditambah
lagi kalian kabur dari sana, aku yakin dalam waktu dekat ia akan menyerang
Alvares karena desa ini adalah desa terdekat dari Rombopterix,” jawab Ayah
Reein.
“Besok pagi kalian akan dibawa ke Guidoweld. Disana
adalah tempat yang aman untuk kalian,” tambah Skriel.
Keesokan paginya kesibukan terjadi di Alvares.
Penduduk desa sibuk mempersiapkan keamanan desa. Mereka memasang bambu-bambu
runcing di sekeliling desa. Jerami-jerami mereka kumpulkan dan mereka lumuri
dengan minyak. Para ibu mempersiapkan ruang bawah tanah untuk perlindungan
mereka. Sebisa mungkin mereka menyelamatkan barang yang bisa diselamatkan.
Ketika Ogre itu datang mereka telah siap untuk menyerang.
Tidak ingin berleha-leha, Austinpun mengemasi
barang-barangnya. Buku De Vlacoure di masukkannya ke dalam tas dan sebuah
pedang yang diberikan Roft ketika di
penjara. Sebenarnya ia tidak
tahu cara menggunakan pedang itu, tapi ia tetap membawanya untuk berjaga-jaga.
Gerald juga ikut mempersiapkan barang bawaannya. Ia hanya
membawa sebuah pistol yang hanya berisi satu selongsong peluru. Sebenarnya
pistol itu adalah milik ayahnya yang seorang polisi, Gerald mencurinya disaat
liburan musim panas. Awalnya ia mengira pistol itu hanya korek
api dan dijadikannya sebagai bahan
gaya di sekolah. Tapi ternyata itu adalah
pistol sungguhan yang di letakkan ayahnya bersebalahan dengan pistol korek api.
Begitu mengetahuinya ia tidak berniat untuk mengembalikannya.
Semua prajurit telah siap, kuda-kuda telah ditunggangi,
tapi Vlow dan Vav tampak bingung.
“Kalian bisa menunggang kuda bukan?” tanya Skriel saat
melihat Vlow dan Vav tengah kebingunan.
“Sebenarnya kami tidak bisa melakukannya, di tempat
tinggal kami tidak menggunakan kuda untuk bepergian,” jawab Vav.
“Dan, aku tidak akan naik kuda,” tambah Vlow sedikit
takut.
“Ayolah, kau takut? Lalu dengan apa kau akan pergi,
dengan mobil, ha?” ledek Gerald.
“Aku tidak bisa Gerald,” bantah Vlow..
“Kalau begitu apa kalian keberatan jika menumpang dengan
Austin dan Gerald?” tanya Reein.
“Tergantung mereka,” jawab Vlow sedikit ragu.
“Tidak masalah. Ayo!” ajak Gerald menjulurkan tangannya
kepada Vlow yang berdiri tidak jauh darinya.
Vlow tampak sedikit ragu karena menurutnya tak biasanya
Gerald seperti itu. Syukurlah
kalau ia mau berubah, pikir Vlow. Dan akhirnya Gerald
bersama Vlow dan Austin bersama Vav.
Begitu semua persiapan
telah selesai, mereka berpamitan
pada penduduk dan segera berangkat ke Guidoweld dengan senyum mangambang di
pipi mereka karena akhirnya dapat bertemu dengan sang Ratu. Pasukan yang dipimpin oleh Skriel melaju menuju
Guidoweld. Mereka melaju kuda
mereka dengan cepat dengan maksud tiga
hari kedepan mereka sudah bisa
memijakkan kaki di tanah Guidoweld.