Kita Menemukannya
Sebelumnya tidak ada yang mampu
menyurutkan niat mereka untuk mengunjungi satu persatu perpustakaan yang ada di
kota. Bahkan hari ini mereka sudah mengatur rencana besar untuk kabur lagi dari
sekolah dan pergi ke salah satu perpustakaan. Tapi, semua rencana mereka hancur
dalam sekejap. Guru sains mereka memberikan mereka tugas kelompok yang harus
diserahkan besok. Jadi mereka harus menghabiskan waktu mereka di perpustakaan
sekolah sepanjang hari. Untung saja guru sains mereka memberikan kelonggaran
dalam menentukan anggota kelompok sehingga mereka bisa memilih anggota yang
mereka inginkan. Tentu saja mereka memlilih orang yang tepat dan memiliki
tujuan yang sama.
Sepulang sekolah mereka langsung menuju perpustakaan,
untuk mencari bahan diskusi. Semua buku sains yang berhubungan dengan tugas,
mareka kumpulkan satu persatu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan setumpuk buku
sains.
Mereka mulai mambuka lembar demi lembar buku-buku itu,
mencari-cari penjelasan tentang tugas mereka. Belum cukup 10 menit di depan tumpukan
buku-buku itu, mereka mulai bosan.
“Sepertinya aku ingin mencari buku bacaan yang lain,
bosan melihat-lihat gambar yang tidak jelas ini,” ujar Gerald seraya bangkit
dari kursinya.
“Aku juga,” ucap Austin menyetujui Gerald.
“Dasar pria, 10 menit saja di depan buku langsung pergi,”
bisik Vlow sambil menggeleng kecil. Vav hanya bisa mengangguk karena juga mulai
merasa bosan.
Lima menit kemudian.
“Vlow, sepertinya aku sama dengan mereka, aku
bosan. Apa kau ingin ikut?” tanya Vav seraya menutup buku yang sedang ia baca dan bangkit
dari kursinya.
“Aku ingin menarik kata-kataku tadi, ternyata 15 menit di depan buku
sains, pusing juga,” balas Vlow sambil tertawa.
Saat sampai dideretan rak yang berisi novel-nevel, disana sudah ada
Austin yang masih mencari–cari buku untuk di baca. Vav memutuskan mencari buku
di lemari itu, karena banyak novel menarik disana. Sedangkan Vlow mencari buku
di lemari yang bertolak belakang dengan lemari Vav. Judul demi judul
mereka baca. Mencari-cari novel yang menarik untuk dibaca.
Pada rak paling atas tempat Austin mencari-cari novel, dia menemukan sebuah
buku yang sangat aneh. Tebal, covernya entah terbuat dari bahan apa dan
berwarna gelap. Austin melihat sekeliling, baru menyadari kehadiran Vav di
belakangnya.
“Vav, lihat apa yang aku temukan,” bisiknya memanggil
Vav. Vav yang merasa penasaran langsung menghampirinya. Austin langsung
menyodorkan buku aneh itu. Dengan hati-hati Vav meraih buku itu. Tampak
kekaguman yang tepancar dari raut wajahnya. Dari dulu Vav sangat tertarik dengan
buku-buku kuno seperti buku yang ditemukan Austin itu.
Austin langsung memanggil Gerald dan Vlow yang tidak
begitu jauh darinya. Dengan wajah yang penasaran mereka berlari menghampiri
Vav. Vlow mengamati buku itu sejenak, dan timbul sebuah pertanyaan difikirannya.
“Dimana kau temukan buku ini, Austin?” tanya Vlow.
“Disini, di rak buku ini,” jawab Austin.
Mendengar jawaban Austin Vlow bertanya kembali. “Apa
menurut kalian tidak aneh. Buku seperti ini ada di tempat seperti ini?” semua
termenung memikirkan apa yang di katakan Vlow.
Mereka mengamati buku itu kembali secara seksama dan menemukan
beberapa kejanggalan. Pertama, buku itu sangatlah
kuno, kedua, pada sampul buku terdapat lubang yang berbentuk lubang
kunci bangunan kuno dan beberapa tulisan yang sulit dibacabuku, dan yang ketiga, itu
tidak bisa dibuka.
Vav sangat tertarik dengan buku itu, pandanganya tak
lepas dari buku itu bahkan saat Austin, Gerald, dan Vlow memanggilpun, ia tak
menghiraukannya. Setelah sekian lama mengamati buku itu, Vav menyadari bahwa
salah satu tulisan itu betuliskan De Vlacoure. Jangan-jangan ini buku yang diceritakan Austin kemarin? pikirnya.
“Hei, apakah ini buku yang diceritakan Austin kemarin?”
tanya Vav. “Lihat, tulisan ini bacaannya De Vlacoure, bukan?” tanya Vav lagi. Mereka
langsung melihat tulisan itu dan terpancar kegembiran di wajah mereka,
sampai-sampai mereka lupa akan tujuan utama mereka ke perpustakaan.
Vlow mengamati buku itu kembali mengeja kata demi kata,
“Hai, sepertinya ini sebuah mantera,”
Mendengar kata-kata mantera, Austin teringat akan
sesuatu.
“Tidak salah lagi ini buku yang kita cari-cari beberapa
hari ini, Ibuku pernah mengatakan tentang sebuah mantra yang dapat membuka
pintu menuju De Vlacoure,” tutur
Austin.
“Hai, bukankah kita di suruh mencari tugas di Perpustakaan ini?
Tapi kalian malah mencari novel. Ngomong-ngomong
novel apa itu?” tanya Carrew yang melongok ke arah buku yang di pegang Vav. “Journey To The
Center Of The Earth, wah cerita itu sangat menarik, sebaiknya kalian
membacanya, aku sudah lima kali membacanya,” ujarnya menyombongkan diri sambil
berlalu.
“Apa maksudnya? Jelas-jelas ini bukan novel, apa matanya
buta?” tanya Vlow jengkel.
“Itu karena dia manusia, Ibuku pernah mengatakan kalau
manusia hanya melihat buku itu sebatas buku biasa, hanya buku bacaan, karena
leluhur De Vlacoure sudah membacakan mantra-mantra untuk melindunginya,”
sanggah Austin.
Mereka semakin yakin bahwa buku itu adalah buku De
Vlacoure. Gerald yang semakin penasaran, mengambil buku itu dan memperhatikan kata demi kata.
Tulisannya sulit dibaca karena buku itu mulai lusuh.
“Sepertinya ini bahasa Elf, tapi aku tidak tahu artinya,”
ujar Gerald setelah membaca tulisan itu satu persatu. Gerald kembali
memperhatikan kata-kata itu.
Dengan terbata-bata ia membaca kata demi kata, ”Locopoules.... Lebensrum...De
Vlacoure...Revanches...” sebut Gerald.
“Locopoules Lebensrum De Vlacoure Revanches?” tanya Vlow
bingung.
Vlow tidak mendengar jawaban dari teman-temannya, karena
mereka sama dengannya, tidak mengerti sama sekali.
Di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba dari sampul buku
itu timbul seberkas cahaya emas beriringan dengan sebuah kunci yang sangat
kuno.
Dengan rasa kagum Vav mengambil kunci itu, memperhatikan
detailnya dan memperlihatkannya kepada yang lain.
“Hai...jangan-jangan untuk membuka buku ini!” tebak
Austin spontan.
Tanpa pikir panjang Austin memasukkan kunci itu ke lubang
kunci yang ada di sampul buku.....
Austin memasukkan kunci itu dengan sedikit gugup ke
lubang kunci yang terdapat di bagian sampul buku. Begitu
masuk ke lubangnya, Austin memutarnya satu kali ke kanan dan terdengar bunyi
besi yang saling beradu.
Buku itu terbuka dengan kuat
layaknya seorang raksasa telah menendangnya. Sampul itu nyaris terlepas dari
tangan Austin. Untung saja Austin memegangnya dengan kuat, sehingga tubuh
Austin sedikit terlonjak karena menahannya. Perlahan dari buku itu muncul cahaya emas beserta hembusan angin yang lembab dan suara
kicauan burung yang merdu. Gerald menyentuh sumber cahaya itu dan tangannya
hilang, seolah-olah masuk ke dalam buku itu.
“Kita menemukannya. Gerbang
menuju De Vlacoure!” seru Austin dengan mata yang berbinar dan senyuman yang
selalu mengambang di pipinya.
Gerald yang tidak sabar lagi ingin ke kampung halamannya
bergegas masuk ke dalam buku tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
“Tunggu dulu. Kita tidak boleh
sembarangan memasukinya,” cegat Austin menghentikan tindakan Gerald.
“Ayolah Austin, bukankah ini
tujuan kita mencari buku ini. Lalu untuk apa kita mencarinya jika pada saat
kita menemukannya kita tidak berbuat apa-apa?” sanggah Gerald. Dan iapun mulai
melangkahkan kakinya memasuki buku itu.
“Gerald benar, menemukan
kesempatan kedua itu sangat sulit Austin,” tutur Vlow menyetujui tindakan
Gerald dan menyusul pemuda itu.
“Jika kita tidak melakukannya
sekarang kita akan menyesal,” sambung Vav berusaha meyakinkan Austin.
Austin berfikir sejenak dan
menimbang-nimbang semua perkataan teman-temannya. Setelah berfikir sejenak,
iapun mengangguk dan meminta Vav untuk menunggunya, sedangkan ia berlari ke
meja mereka dan menyandang tas salempangnya.
“Aku rasa kita akan
membutuhkannya nanti,” jawabnya saat Vav melemparkan pandangan dengan penuh
tanda tanya. Begitu ia sampai di depan Vav, ia memberikan sebuah anggukan
kearah gadis itu menandakan ia telah
siap dan meminta Vav untuk masuk ke dalam cahaya itu.
Setelah mengantarkan keempat
remaja itu dengan selamat, cahaya dari buku itu perlahan meredup. Begitu cahayanya
padam, buku itu langsung tertutup dan meninggalkan bunyi “Buum,” yang cukup
pelan. Setelah memperhatikan buku itu sejenak dan tidak terjadi apa-apa, Austin
mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam tas salempangnya. ”Hai, kalian jangan berpencar dulu, nanti kita terpi....”
kata-kata Austin terhenti begitu ia mengangkat kepalanya dan menyaksikan
pemandangan yang sangat indah.
Hamparan hutan yang sangat luas
terbentang di depan mereka. Pohon-pohon
menjulang tinggi seolah puncak
mereka dapat meraih langit yang terlihat
jernih. Dari sela-sela
daun tampak langit biru tanpa ada kehadiran awan
sedikitpun. Angin berhembus
sepoy-sepoy. Menggerakkan setiap daun yang di sentuhnya agar berdansa dengan
mereka. Burung-burung berkicauan, seakan menyambut kedatangan keempat remaja itu di negeri mereka.
“Impossible,” ujar Austin kagum menghampiri sebuah pohon
yang sangat besar.
“Begitu berbeda,” tutur
Vav
“Ya...pohon-pohon
ini lebih dari besar dari dugaanku,”
ujar Vlow mengukur sebuah pohon dengan tangannya. Pohon itu sangat besar
kira-kira berdiameter satu meter lebih.
“Apakah aku
bermimpi menginjakkan kaki di De Vlacoure?” tanyanya masih mengagumi apa yang
dilihatnya.
“Sepertinya tidak, karena baru kali ini aku melihat
tampang bodohmu,” jawab Vlow tertawa.
“Thanks Vlow,” balas Gerald jengkel dengan kepala yang masih menengadah.
Mereka terdiam sejenak sampai akhirnya sinar matahari
menyentuh kulit mereka.
“Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Vav
memecahkan kesunyian.
“Mungkin sebaiknya kita harus mencari pemukiman penduduk
dulu,” sahut Austin.
“Di tengah hutan seperti ini?
Mana ada yang mau tinggal di tempat seperti ini,” bantah Gerald sambil tertawa
kecil.
“Kau pikir ini adalah dunia
kita? Dimana semua orang memilih kota untuk dijadikan tempat tinggal bagi
mereka. Ini De Vlacoure, Gerald. Apa yang tidak kau temukan di London akan kau
temukan disini. Dan kau akan terkejut,” sanggah Vlow melihat sekeliling.
“Terserah apa yang ingin kau
katakana. Aku tidak peduli,” sahut Gerald, “Kalau begitu arah mana yang akan
kita tuju? Menurut teori Vlow pemukiman penduduk bisa ada dimana saja.”
Semuanya bergerak mencari jalan
yang akan dituju. Berpencar mencari jejak yang bisa mereka jadikan petunjuk
untuk menentukan arah. Tapi sia-sia, seteliti apapun mereka mencari, hasilnya
nihil. Dan akhirnya mereka putus asa dan memilih untuk duduk di bawah pohon.
Berusaha untuk membuat mata mereka terjaga dan menerka-nerka jalan mana yang
harus mereka pilih.
“Aku tahu!” seru Austin bangkit
dari duduknya, “Colnie pernah berkata padaku, jika kau tersesat jadilah seekor
binatang,”
“Maksudmu berjalan dengan empat
kaki?” tanya Vav menghitung jumlah kakinya.
“Tidak, kita bisa menggunakan
penciuman kita,” jawab Austin mulai mengaktifkan penciumannya.
“Kita tidak seperti binatang
yang memiliki penciuman tajam Austin,” bantah Vav kurang yakin dengan pendapat
Austin.
“Aku tidak ingin mengatakan
ini, tapi sebenarnya jika kau adalah Elf murni, maksudku bukan berdarah
campuran maka kau juga akan memiliki penciuman yang kuat,” tutur Vlow menjentik
hidungnya.
“Satu daftar lagi di catatanku
kenapa aku harus iri dengan kalian,” keluh Vav bersandar ke sebuah pohon dan
melipat tangannya di depan dada.
“Jalan ini. Kalau penciumanku
tidak salah,” sorak Gerald menunjuk sebuah jalan yang tampak gelap karena
pohon-pohon dan semak yang rapat.
“Apa kau yakin?” tanya Vav
bangkit.
“Bagaimana menurut kalian?”
tanya Gerald menoleh kearah teman-temannya.
Vlow tampak mengangkat bahu
karena ragu sementara itu Austin mengangguk setuju.
“Dan kau Vav?” tanya Austin.
“Andai saja aku memiliki
penciuman seperti kalian, aku akan memilih jalan yang lain,” tuturnya berjalan
menuju Gerald yang mulai melangkahkan kaki.
Dengan perasaan yang kurang
yakin mereka merentang langkah memasuki hutan lebih dalam lagi. Gerald menuntun
mereka berjalan lurus melewati pohon-pohon tinggi yang tidak mereka ketahui
berapa tingginya. Kadang angin yang menerpa pepohonan membuat pohon-pohon itu
berderit seolah-olah menjerit, membuat mereka ketakutan. Saat sampai di depan
sebuah semak, jalan mereka terputus. Mereka menemukan jalan buntu. Geraldpun
mengendus-ngendus sekeliling dan memutuskan untuk berbelok ke kiri.
“Sebenarnya apa yang kau ikuti
Gerald?” tanya Vav bertanya masih bigung dengan penciuman Gerald ketika ia
melangkahi akar pohon yang mencuat keluar.
“Aroma. Aroma khas rumah-rumah
pedesaan. Walaupun penciumanku tidak sebagus anjing ataupun hewan lainnya.,”
jawab Gerald tetap melangkah maju.
“Aku harap penciumanmu tidak
salah Gerald,” ledek Vlow melangkahkan kakinya menjauihi sebuah pohon yang
memiliki daun yang lebar.
“Ikuti saja dia. Kalau dia
membawa kita kepada kematian kita bunuh dia,” tutur Austin berusaha membuat
suasana menjadi ceria sambil membuka bungkus lolipop kesukaannya.
“Aku pikir itu bukanlah ide
yang buruk,” sahut Vlow setuju dan menyambut tawa Austin.
Yang lainnya pun ikut tertawa,
termasuk Gerald sendiri.
Berjam-jam sudah mereka
melakukan perjalanan. Tapi Gerald belum juga berhasil menemukan pemukiman
penduduk. Ia juga mulai ragu dengan jalan yang ia pilih. Namun Austin kembali
memberinya semangat dengan mengatakan ia juga akan memilih jalan yang sama.
Suasana hening dan damai, yang terdengar hanyalah suara
derap kaki mereka, keluhan, dan suara mulut Austin yang dari tadi mengemut
lolipop kesukaannya. Lolipop itu tersimpan di saku jaket yang selalu
dipakainya.
Siang beranjak sore, awan hitam menutupi langit biru yang
telah menemani perjalanan mereka. Lelah mulai menjalar disekujur tubuh mereka,
di tambah rasa takut yang menggerogoti tubuh yang lelah kerena hari mulai gelap
dan akan turun hujan. Namun mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan asumsi
mereka akan mememukan pemukiman penduduk.
Perjalanan mereka terhenti begitu tetes demi tetes air
menyirami bumi yang telah kering
cukup lama. Sambil melindungi kepala dengan
tangan masing-masing, mereka berlari menuju sebuah pohon yang sangat rindang
sehingga tetesan hujan tidak mengenai tanah di bawahnya.
Hujan turun dengan lebat disertai angin kencang membuat
mereka harus memeluk diri sendiri. Sesaat mereka hanya diam membisu karena
sibuk menghangatkan tubuh masing-masing, sampai Austin melihat Vav yang
menggigil kedinginan.
Secara spontan Austin langsung
membuka jaketnya dan memasangkannya ke tubuh Vav yang basah.
“Oh, thank’s,” ujar Vav malu. “Tapi, apa kau tidak kedinginan tanpa jaket?”
“Aku? Tentu saja tidak apa-apa, aku ini pria, jadi lebih
kuat,” bantah Austin membanggakan diri membuat Vav tersenyum manis. “Kau masih
kedinginan, ya?” tanya Austin cemas begitu melihat Vav yang masih kedinginan.
“Ya, sedikit,” jawab Vav jujur.
Beberapa saat kemudian Vav merasakan tubuhnya menjadi
hangat kembali. Ternyata Austin yang duduk di sisi kanannya mendekat dan
merangkul bahu Vav.
“Lebih mendingan?” tanya Austin.
“Ya, terima kasih,” balas Vav dengan pipi yang memerah.
Suasana sunyi kembali, yang terdengar hanya bunyi
rintik-rintik hujan yang masih saja membasahi dedaunan dan tanah hutan itu. Sementara itu Gerald yang merasa terpanggil
hatinya untuk membantu Vlow yang kedinginan membuka jasnya dan menyelimutkannya
ke tubuh Vlow.
“Aku kasihan melihatmu yang
kedinginan,” tutur Gerald saat Vlow menatapnya heran, “Jangan berfikir yang
macam-macam.”
Vlow hanya membalasnya dengan senyuman
manis.
Hujan telah reda, tapi langit masih saja mendung, dan semakin lama
semakin gelap. Genangan air
dimana-mana. Tidak ada tanah kering di depan mereka. Bahkan tanah tempat mereka
berpijak terasa lembab.
“Bagaimana sekarang?” tanya Gerald memecahkan kesunyian.
Kali ini suasana benar-benar sunyi. Tidak terdengar suara kicauan burung
sedikitpun, anginpun tak bertiup. Yang terdengar hanya suara tarikan nafas
mereka dan bunyi tetesan butiran air yang terlepas dari dedaunan, “Hujan telah menghapus satu-satunya penunjuk arah
kita.”
Tak ada
sahutan, karena mereka juga tidak tau harus berkata apa,
tapi yang jelas mereka cemas karena langit berubah warna menjadi orange yang
artinya senja sudah menjelang. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari samping mereka,
spontan mereka terkejut dan wajah mereka mulai pucat karena takut kalau itu
suara binatang buas.
“Maaf, itu suara perutku,” ujar Vav memudarkan rasa takut
mereka. Mereka tertawa karena merasa sangat takut dengan suara keroncongan
perut Vav. Begitu lepasnya tawa mereka, sampai-sampai perut mereka terasa sakit dan
perlahan-lahan tawa itu tidak terdengar lagi.
Suasana hening kembali, gelap semakin membuat mereka ketakutan dan lagi-lagi suara gemuruh kembali bergema disekitar
mereka, tapi kali ini terdengar berkali-kali.
Dengan serentak mereka melihat ke arah Vav. Tapi Vav
malah menggeleng-geleng tak mengerti.
“Mungkin itu suara mereka,” tutur Gerald menunjuk ke arah
kanan dan tampak dua sosok bertubuh besar, dengan pakaian yang sedikit kacau
berjalan kearah mereka. Badan mereka terkesan berat tergambar dari cara mereka
melangkahkan kaki.
“Sebaiknya, kita tanya pada mereka,” ide Gerald seraya
melangkahkan kakinya. Tapi langkahnya terhenti begitu Vav menghentikannya.
“Tunggu dulu, kita harus waspada dengan mereka.
Gerak-gerik mereka mencurigakan,” ujar Vav. Geraldpun
menuruti perkataan gadis itu, karena perkataannya memang benar.
Saat kedua orang itu berhenti di depan mereka, dengan
pandangan aneh kedua orang itu memperhatikan Austin, Gerald, Vlow dan Vav
secara bergantian.
Kedua orang itu berbau
aneh, mereka memiliki wajah yang mengerikan. Mereka memiliki gigi yang besar dan runcing. Mata mereka yang
semerah darah. Tangan mereka
memegang sebuah kapak tajam. Sejenak mereka berfikir bahwa dua orang yang
berada di hadapan mereka adalah dua orang pemburu atau penjaga hutan. Tapi
ketika mereka tidak berhasil menemukan bangkai hewan atau tumpukan kayu yang
dibawa sang pelancong, naluri mereka mangatakan bahwa mereka dalam bahaya.
Kedua orang itu saling pandang, sambil tersenyum jahat
salah satu dari mereka memegang lengan Vav. Spontan, Vav yang
ketakutan menjerit dan tanpa sadar kaki mereka melangkah dengan cepat. Berlari
pontang-panting meninggalkan orang-orang yang mencurigakan itu.
Mereka berlari dengan
kecepatan tinggi, hingga orang-orang
aneh itu tidak terlihat lagi
di belakang mereka.
“Aku akan membunuhmu Gerald,”
seru Vlow memukul pundak Gerald.
“Aku? Kenapa?” tanya Gerald
terkejut.
“Kau membawa kami kepada
mereka,” jawab Vlow takut.
“Sudah,
tidak usah bertengkar. Sekarang apa yang akan
kita lakukan?” tanya Austin terengah-engah sambil memeriksa sakunya mencari
lolipop kesukaanya. Namun ia
tidak menemukan apa-apa. Ia baru menyadari bahwa ia tidak mengenakan jaketnya
dan menyandang tas salempang coklatnya. “Astaga,
jeketku tertinggal di tempat tadi, tas berisi buku itu juga,” jawab Austin
memukuli keningnya.
Tanpa pikir panjang Austin langsung berbalik arah. Vav segera
menghentikannya. “Tunggu, kita tidak tahu apakah dua orang aneh tadi masih mengejar kita atau
sudah benar-benar pergi,” cegat Vav.
“Ya, Vav benar, lagi pula langit sudah mulai
gelap, tidak menguntungkan bagi kita yang tidak mengetahui seluk beluk hutan ini,” tambah Gerald meyakinkan Austin.
“Kita harus menyusun taktir,” kata Vlow, “Baiklah, mungkin tidak begitu manjur, tapi hanya ini yang
terfikirkan di kepalaku,” jawab Vlow dan ia mulai menjelaskan taktiknya. “Austin,
kau berjalan paling depan, setelah itu Vav dan aku berjalan di belakangmu, dan
kau Gerald, berjalan paling belakang,”
“Kenapa selalu aku yang paling belakang dan apa kau pikir itu adalah sebuah taktik?” tanya Gerald jengkel, ia selalu saja protes dan menganggap
kalau dia orang yang tidak beruntung.
“Gerald, kau itu laki-laki, jadi harus melindungi kami
yang perempuan,” balas Vlow,
“Kalau begitu apa kau memiliki ide yang lebih baik?”sambungnya. Tapi Gerald pura-pura tidak mendengarkan. “Nah setelah itu,
kita berjalan mengendap-ngendap. Hanya itu yang terfikirkan olehku,” jelas Vlow
angkat bahu.
Mereka sepakat dengan ide Vlow dan langsung memulai
perjalan dengan mengendap-ngendap. Taktik itu berjalan mulus dan sekarang
mereka sudah berada di samping pohon yang mereka jadikan tempat untuk berteduh tadi.
Mereka tidak melihat tanda-tanda adanya orang di sekitar
sana dan Austin langsung melangkahkan kakinya satu persatu, berusaha untuk
menjaga langkah. Sedangkan teman-temannya tetap bersembunyi di balik semak-semak.
Setiba di bawah pohon itu Austin langsung mengenakan
jaketnya dan menyandang tas yang berisi buku De Vlacoure. Begitu selesai,
Austin langsung beranjak ke semak-semak tempat teman-temannya bersembunyi. Tapi
begitu sampai di sana, yang ia temukan bukanlah teman-temannya yang berdiri
cemas menunggunya tapi teman-temannya yang pingsan dan terikat tali di
atas tanah.
Austin langsung menghampiri mereka dan berusaha untuk
menyadarkan mereka. Bukannya sadar tapi ia malah dipukul dari belakang dengan
sebuah benda tumpul dan iapun ikut pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar