Rabu, 15 Januari 2014

De Vlacoure - BAB 3



Kita Menemukannya

Sebelumnya tidak ada yang mampu menyurutkan niat mereka untuk mengunjungi satu persatu perpustakaan yang ada di kota. Bahkan hari ini mereka sudah mengatur rencana besar untuk kabur lagi dari sekolah dan pergi ke salah satu perpustakaan. Tapi, semua rencana mereka hancur dalam sekejap. Guru sains mereka memberikan mereka tugas kelompok yang harus diserahkan besok. Jadi mereka harus menghabiskan waktu mereka di perpustakaan sekolah sepanjang hari. Untung saja guru sains mereka memberikan kelonggaran dalam menentukan anggota kelompok sehingga mereka bisa memilih anggota yang mereka inginkan. Tentu saja mereka memlilih orang yang tepat dan memiliki tujuan yang sama.
Sepulang sekolah mereka langsung menuju perpustakaan, untuk mencari bahan diskusi. Semua buku sains yang berhubungan dengan tugas, mareka kumpulkan satu persatu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan setumpuk buku sains.
Mereka mulai mambuka lembar demi lembar buku-buku itu, mencari-cari penjelasan tentang tugas mereka. Belum cukup 10 menit di depan tumpukan buku-buku itu, mereka mulai bosan.
“Sepertinya aku ingin mencari buku bacaan yang lain, bosan melihat-lihat gambar yang tidak jelas ini,” ujar Gerald seraya bangkit dari kursinya.
“Aku juga,” ucap Austin menyetujui Gerald.
“Dasar pria, 10 menit saja di depan buku langsung pergi,” bisik Vlow sambil menggeleng kecil. Vav hanya bisa mengangguk karena juga mulai merasa bosan.
Lima menit kemudian.
“Vlow, sepertinya aku sama dengan mereka, aku bosan. Apa kau ingin ikut?” tanya Vav seraya menutup buku yang sedang ia baca dan bangkit dari kursinya.
“Aku ingin menarik kata-kataku tadi, ternyata 15 menit di depan buku sains, pusing juga,” balas Vlow sambil tertawa.
Saat sampai dideretan rak yang berisi novel-nevel, disana sudah ada Austin yang masih mencari–cari buku untuk di baca. Vav memutuskan mencari buku di lemari itu, karena banyak novel menarik disana. Sedangkan Vlow mencari buku di lemari yang bertolak belakang dengan lemari Vav. Judul demi judul mereka baca. Mencari-cari novel yang menarik untuk dibaca.
Pada rak paling atas tempat Austin mencari-cari novel, dia menemukan sebuah buku yang sangat aneh. Tebal, covernya entah terbuat dari bahan apa dan berwarna gelap. Austin melihat sekeliling, baru menyadari kehadiran Vav di belakangnya.
“Vav, lihat apa yang aku temukan,” bisiknya memanggil Vav. Vav yang merasa penasaran langsung menghampirinya. Austin langsung menyodorkan buku aneh itu. Dengan hati-hati Vav meraih buku itu. Tampak kekaguman yang tepancar dari raut wajahnya. Dari dulu Vav sangat tertarik dengan buku-buku kuno seperti buku yang ditemukan Austin itu.
Austin langsung memanggil Gerald dan Vlow yang tidak begitu jauh darinya. Dengan wajah yang penasaran mereka berlari menghampiri Vav. Vlow mengamati buku itu sejenak, dan timbul sebuah pertanyaan difikirannya.
“Dimana kau temukan buku ini, Austin?” tanya Vlow.
“Disini, di rak buku ini,” jawab Austin.
Mendengar jawaban Austin Vlow bertanya kembali. “Apa menurut kalian tidak aneh. Buku seperti ini ada di tempat seperti ini?” semua termenung memikirkan apa yang di katakan Vlow.
Mereka mengamati buku itu kembali secara seksama dan menemukan beberapa kejanggalan. Pertama,  buku itu sangatlah kuno, kedua, pada sampul buku terdapat lubang yang berbentuk lubang kunci bangunan kuno dan beberapa tulisan yang sulit dibacabuku, dan yang ketiga, itu tidak bisa dibuka.
Vav sangat tertarik dengan buku itu, pandanganya tak lepas dari buku itu bahkan saat Austin, Gerald, dan Vlow memanggilpun, ia tak menghiraukannya. Setelah sekian lama mengamati buku itu, Vav menyadari bahwa salah satu tulisan itu betuliskan De Vlacoure. Jangan-jangan ini buku yang diceritakan Austin kemarin? pikirnya.
“Hei, apakah ini buku yang diceritakan Austin kemarin?” tanya Vav. “Lihat, tulisan ini bacaannya De Vlacoure, bukan?” tanya Vav lagi. Mereka langsung melihat tulisan itu dan terpancar kegembiran di wajah mereka, sampai-sampai mereka lupa akan tujuan utama mereka ke perpustakaan.
Vlow mengamati buku itu kembali mengeja kata demi kata, “Hai, sepertinya ini sebuah mantera,”
Mendengar kata-kata mantera, Austin teringat akan sesuatu.
“Tidak salah lagi ini buku yang kita cari-cari beberapa hari ini, Ibuku pernah mengatakan tentang sebuah mantra yang dapat membuka pintu menuju De Vlacoure,” tutur Austin.
“Hai, bukankah kita di suruh mencari tugas di Perpustakaan ini? Tapi kalian malah mencari novel. Ngomong-ngomong novel apa itu?” tanya Carrew yang melongok ke arah buku yang di pegang Vav. “Journey To The Center Of The Earth, wah cerita itu sangat menarik, sebaiknya kalian membacanya, aku sudah lima kali membacanya,” ujarnya menyombongkan diri sambil berlalu.
“Apa maksudnya? Jelas-jelas ini bukan novel, apa matanya buta?” tanya Vlow jengkel.
“Itu karena dia manusia, Ibuku pernah mengatakan kalau manusia hanya melihat buku itu sebatas buku biasa, hanya buku bacaan, karena leluhur De Vlacoure sudah membacakan mantra-mantra untuk melindunginya,” sanggah Austin.
Mereka semakin yakin bahwa buku itu adalah buku De Vlacoure. Gerald yang semakin penasaran, mengambil buku itu dan memperhatikan kata demi kata. Tulisannya sulit dibaca karena buku itu mulai lusuh.
“Sepertinya ini bahasa Elf, tapi aku tidak tahu artinya,” ujar Gerald setelah membaca tulisan itu satu persatu. Gerald kembali memperhatikan kata-kata itu.
Dengan terbata-bata ia membaca kata demi kata, ”Locopoules.... Lebensrum...De Vlacoure...Revanches...” sebut Gerald.
“Locopoules Lebensrum De Vlacoure Revanches?” tanya Vlow bingung.
Vlow tidak mendengar jawaban dari teman-temannya, karena mereka sama dengannya, tidak mengerti sama sekali.
Di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba dari sampul buku itu timbul seberkas cahaya emas beriringan dengan sebuah kunci yang sangat kuno.
Dengan rasa kagum Vav mengambil kunci itu, memperhatikan detailnya dan memperlihatkannya kepada yang lain.
“Hai...jangan-jangan untuk membuka buku ini!” tebak Austin spontan.
Tanpa pikir panjang Austin memasukkan kunci itu ke lubang kunci yang ada di sampul buku.....

Austin memasukkan kunci itu dengan sedikit gugup ke lubang kunci yang terdapat di bagian sampul buku. Begitu masuk ke lubangnya, Austin memutarnya satu kali ke kanan dan terdengar bunyi besi yang saling beradu.
Buku itu terbuka dengan kuat layaknya seorang raksasa telah menendangnya. Sampul itu nyaris terlepas dari tangan Austin. Untung saja Austin memegangnya dengan kuat, sehingga tubuh Austin sedikit terlonjak karena menahannya. Perlahan dari buku itu muncul cahaya emas beserta hembusan angin yang lembab dan suara kicauan burung yang merdu. Gerald menyentuh sumber cahaya itu dan tangannya hilang, seolah-olah masuk ke dalam buku itu.
“Kita menemukannya. Gerbang menuju De Vlacoure!” seru Austin dengan mata yang berbinar dan senyuman yang selalu mengambang di pipinya.
Gerald yang tidak sabar lagi ingin ke kampung halamannya bergegas masuk ke dalam buku tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
“Tunggu dulu. Kita tidak boleh sembarangan memasukinya,” cegat Austin menghentikan tindakan Gerald.
“Ayolah Austin, bukankah ini tujuan kita mencari buku ini. Lalu untuk apa kita mencarinya jika pada saat kita menemukannya kita tidak berbuat apa-apa?” sanggah Gerald. Dan iapun mulai melangkahkan kakinya memasuki buku itu.
“Gerald benar, menemukan kesempatan kedua itu sangat sulit Austin,” tutur Vlow menyetujui tindakan Gerald dan menyusul pemuda itu.
“Jika kita tidak melakukannya sekarang kita akan menyesal,” sambung Vav berusaha meyakinkan Austin.
Austin berfikir sejenak dan menimbang-nimbang semua perkataan teman-temannya. Setelah berfikir sejenak, iapun mengangguk dan meminta Vav untuk menunggunya, sedangkan ia berlari ke meja mereka dan menyandang tas salempangnya.
“Aku rasa kita akan membutuhkannya nanti,” jawabnya saat Vav melemparkan pandangan dengan penuh tanda tanya. Begitu ia sampai di depan Vav, ia memberikan sebuah anggukan kearah gadis itu menandakan ia telah  siap dan meminta Vav untuk masuk ke dalam cahaya itu.
Setelah mengantarkan keempat remaja itu dengan selamat, cahaya dari buku itu perlahan meredup. Begitu cahayanya padam, buku itu langsung tertutup dan meninggalkan bunyi “Buum,” yang cukup pelan. Setelah memperhatikan buku itu sejenak dan tidak terjadi apa-apa, Austin mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam tas salempangnya. ”Hai, kalian jangan berpencar dulu, nanti kita terpi....” kata-kata Austin terhenti begitu ia mengangkat kepalanya dan menyaksikan pemandangan yang sangat indah.
Hamparan hutan yang sangat luas terbentang di depan mereka. Pohon-pohon menjulang tinggi seolah puncak mereka dapat meraih langit yang terlihat jernih. Dari sela-sela daun tampak langit biru tanpa ada kehadiran awan sedikitpun. Angin berhembus sepoy-sepoy. Menggerakkan setiap daun yang di sentuhnya agar berdansa dengan mereka. Burung-burung berkicauan, seakan menyambut kedatangan keempat remaja itu di negeri mereka.
“Impossible,” ujar Austin kagum menghampiri sebuah pohon yang sangat besar.
Begitu berbeda,” tutur Vav
“Ya...pohon-pohon ini lebih dari besar dari dugaanku,” ujar Vlow mengukur sebuah pohon dengan tangannya. Pohon itu sangat besar kira-kira berdiameter satu meter lebih.
 “Apakah aku bermimpi menginjakkan kaki di De Vlacoure?” tanyanya masih mengagumi apa yang dilihatnya.
“Sepertinya tidak, karena baru kali ini aku melihat tampang bodohmu,” jawab Vlow tertawa.
“Thanks Vlow,” balas Gerald jengkel dengan kepala yang masih menengadah.
Mereka terdiam sejenak sampai akhirnya sinar matahari menyentuh kulit mereka.
“Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Vav memecahkan kesunyian.
“Mungkin sebaiknya kita harus mencari pemukiman penduduk dulu,” sahut Austin.
“Di tengah hutan seperti ini? Mana ada yang mau tinggal di tempat seperti ini,” bantah Gerald sambil tertawa kecil.
“Kau pikir ini adalah dunia kita? Dimana semua orang memilih kota untuk dijadikan tempat tinggal bagi mereka. Ini De Vlacoure, Gerald. Apa yang tidak kau temukan di London akan kau temukan disini. Dan kau akan terkejut,” sanggah Vlow melihat sekeliling.
“Terserah apa yang ingin kau katakana. Aku tidak peduli,” sahut Gerald, “Kalau begitu arah mana yang akan kita tuju? Menurut teori Vlow pemukiman penduduk bisa ada dimana saja.”
Semuanya bergerak mencari jalan yang akan dituju. Berpencar mencari jejak yang bisa mereka jadikan petunjuk untuk menentukan arah. Tapi sia-sia, seteliti apapun mereka mencari, hasilnya nihil. Dan akhirnya mereka putus asa dan memilih untuk duduk di bawah pohon. Berusaha untuk membuat mata mereka terjaga dan menerka-nerka jalan mana yang harus mereka pilih.
“Aku tahu!” seru Austin bangkit dari duduknya, “Colnie pernah berkata padaku, jika kau tersesat jadilah seekor binatang,”
“Maksudmu berjalan dengan empat kaki?” tanya Vav menghitung jumlah kakinya.
“Tidak, kita bisa menggunakan penciuman kita,” jawab Austin mulai mengaktifkan penciumannya.
“Kita tidak seperti binatang yang memiliki penciuman tajam Austin,” bantah Vav kurang yakin dengan pendapat Austin.
“Aku tidak ingin mengatakan ini, tapi sebenarnya jika kau adalah Elf murni, maksudku bukan berdarah campuran maka kau juga akan memiliki penciuman yang kuat,” tutur Vlow menjentik hidungnya.
“Satu daftar lagi di catatanku kenapa aku harus iri dengan kalian,” keluh Vav bersandar ke sebuah pohon dan melipat tangannya di depan dada.
“Jalan ini. Kalau penciumanku tidak salah,” sorak Gerald menunjuk sebuah jalan yang tampak gelap karena pohon-pohon dan semak yang rapat.
“Apa kau yakin?” tanya Vav bangkit.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Gerald menoleh kearah teman-temannya.
Vlow tampak mengangkat bahu karena ragu sementara itu Austin mengangguk setuju.
“Dan kau Vav?” tanya Austin.
“Andai saja aku memiliki penciuman seperti kalian, aku akan memilih jalan yang lain,” tuturnya berjalan menuju Gerald yang mulai melangkahkan kaki.
Dengan perasaan yang kurang yakin mereka merentang langkah memasuki hutan lebih dalam lagi. Gerald menuntun mereka berjalan lurus melewati pohon-pohon tinggi yang tidak mereka ketahui berapa tingginya. Kadang angin yang menerpa pepohonan membuat pohon-pohon itu berderit seolah-olah menjerit, membuat mereka ketakutan. Saat sampai di depan sebuah semak, jalan mereka terputus. Mereka menemukan jalan buntu. Geraldpun mengendus-ngendus sekeliling dan memutuskan untuk berbelok ke kiri.
“Sebenarnya apa yang kau ikuti Gerald?” tanya Vav bertanya masih bigung dengan penciuman Gerald ketika ia melangkahi akar pohon yang mencuat keluar.
“Aroma. Aroma khas rumah-rumah pedesaan. Walaupun penciumanku tidak sebagus anjing ataupun hewan lainnya.,” jawab Gerald tetap melangkah maju.
“Aku harap penciumanmu tidak salah Gerald,” ledek Vlow melangkahkan kakinya menjauihi sebuah pohon yang memiliki daun yang lebar.
“Ikuti saja dia. Kalau dia membawa kita kepada kematian kita bunuh dia,” tutur Austin berusaha membuat suasana menjadi ceria sambil membuka bungkus lolipop kesukaannya.
“Aku pikir itu bukanlah ide yang buruk,” sahut Vlow setuju dan menyambut tawa Austin.
Yang lainnya pun ikut tertawa, termasuk Gerald sendiri.
Berjam-jam sudah mereka melakukan perjalanan. Tapi Gerald belum juga berhasil menemukan pemukiman penduduk. Ia juga mulai ragu dengan jalan yang ia pilih. Namun Austin kembali memberinya semangat dengan mengatakan ia juga akan memilih jalan yang sama.
Suasana hening dan damai, yang terdengar hanyalah suara derap kaki mereka, keluhan, dan suara mulut Austin yang dari tadi mengemut lolipop kesukaannya. Lolipop itu tersimpan di saku jaket yang selalu dipakainya.
Siang beranjak sore, awan hitam menutupi langit biru yang telah menemani perjalanan mereka. Lelah mulai menjalar disekujur tubuh mereka, di tambah rasa takut yang menggerogoti tubuh yang lelah kerena hari mulai gelap dan akan turun hujan. Namun mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan asumsi mereka akan mememukan pemukiman penduduk.
Perjalanan mereka terhenti begitu tetes demi tetes air menyirami bumi yang telah kering cukup lama. Sambil melindungi kepala dengan tangan masing-masing, mereka berlari menuju sebuah pohon yang sangat rindang sehingga tetesan hujan tidak mengenai tanah di bawahnya.
Hujan turun dengan lebat disertai angin kencang membuat mereka harus memeluk diri sendiri. Sesaat mereka hanya diam membisu karena sibuk menghangatkan tubuh masing-masing, sampai Austin melihat Vav yang menggigil kedinginan. Secara spontan Austin langsung membuka jaketnya dan memasangkannya ke tubuh Vav yang basah.
“Oh, thank’s,” ujar Vav malu. “Tapi, apa kau tidak kedinginan tanpa jaket?”
“Aku? Tentu saja tidak apa-apa, aku ini pria, jadi lebih kuat,” bantah Austin membanggakan diri membuat Vav tersenyum manis. “Kau masih kedinginan, ya?” tanya Austin cemas begitu melihat Vav yang masih kedinginan.
“Ya, sedikit,” jawab Vav jujur.
Beberapa saat kemudian Vav merasakan tubuhnya menjadi hangat kembali. Ternyata Austin yang duduk di sisi kanannya mendekat dan merangkul bahu Vav.
“Lebih mendingan?” tanya Austin.
“Ya, terima kasih,” balas Vav dengan pipi yang memerah.
Suasana sunyi kembali, yang terdengar hanya bunyi rintik-rintik hujan yang masih saja membasahi dedaunan dan tanah hutan itu.  Sementara itu Gerald yang merasa terpanggil hatinya untuk membantu Vlow yang kedinginan membuka jasnya dan menyelimutkannya ke tubuh Vlow.
“Aku kasihan melihatmu yang kedinginan,” tutur Gerald saat Vlow menatapnya heran, “Jangan berfikir yang macam-macam.”
Vlow hanya membalasnya dengan senyuman manis.
Hujan telah reda, tapi langit masih saja mendung, dan semakin lama semakin gelap. Genangan air dimana-mana. Tidak ada tanah kering di depan mereka. Bahkan tanah tempat mereka berpijak terasa lembab.
“Bagaimana sekarang?” tanya Gerald memecahkan kesunyian. Kali ini suasana benar-benar sunyi. Tidak terdengar suara kicauan burung sedikitpun, anginpun tak bertiup. Yang terdengar hanya suara tarikan nafas mereka dan bunyi tetesan butiran air yang terlepas dari dedaunan, “Hujan telah menghapus satu-satunya penunjuk arah kita.”
Tak ada sahutan, karena mereka juga tidak tau harus berkata apa, tapi yang jelas mereka cemas karena langit berubah warna menjadi orange yang artinya senja sudah menjelang. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari samping mereka, spontan mereka terkejut dan wajah mereka mulai pucat karena takut kalau itu suara binatang buas.
“Maaf, itu suara perutku,” ujar Vav memudarkan rasa takut mereka. Mereka tertawa karena merasa sangat takut dengan suara keroncongan perut Vav. Begitu lepasnya tawa mereka, sampai-sampai perut mereka terasa sakit dan perlahan-lahan tawa itu tidak terdengar lagi.
Suasana hening kembali, gelap semakin membuat mereka ketakutan dan lagi-lagi suara gemuruh kembali bergema disekitar mereka, tapi kali ini terdengar berkali-kali.
Dengan serentak mereka melihat ke arah Vav. Tapi Vav malah menggeleng-geleng tak mengerti.
“Mungkin itu suara mereka,” tutur Gerald menunjuk ke arah kanan dan tampak dua sosok bertubuh besar, dengan pakaian yang sedikit kacau berjalan kearah mereka. Badan mereka terkesan berat tergambar dari cara mereka melangkahkan kaki.
“Sebaiknya, kita tanya pada mereka,” ide Gerald seraya melangkahkan kakinya. Tapi langkahnya terhenti begitu Vav menghentikannya.
“Tunggu dulu, kita harus waspada dengan mereka. Gerak-gerik mereka mencurigakan,” ujar Vav. Geraldpun menuruti perkataan gadis itu, karena  perkataannya memang benar.
Saat kedua orang itu berhenti di depan mereka, dengan pandangan aneh kedua orang itu memperhatikan Austin, Gerald, Vlow dan Vav secara bergantian.
Kedua orang itu berbau aneh, mereka memiliki wajah yang mengerikan. Mereka memiliki gigi yang besar dan runcing. Mata mereka yang semerah darah. Tangan mereka memegang sebuah kapak tajam. Sejenak mereka berfikir bahwa dua orang yang berada di hadapan mereka adalah dua orang pemburu atau penjaga hutan. Tapi ketika mereka tidak berhasil menemukan bangkai hewan atau tumpukan kayu yang dibawa sang pelancong, naluri mereka mangatakan bahwa mereka dalam bahaya.
Kedua orang itu saling pandang, sambil tersenyum jahat salah satu dari mereka memegang lengan Vav. Spontan, Vav yang ketakutan menjerit dan tanpa sadar kaki mereka melangkah dengan cepat. Berlari pontang-panting meninggalkan orang-orang yang mencurigakan itu.
Mereka berlari dengan kecepatan tinggi, hingga orang-orang aneh itu tidak terlihat lagi di belakang mereka.
“Aku akan membunuhmu Gerald,” seru Vlow memukul pundak Gerald.
“Aku? Kenapa?” tanya Gerald terkejut.
“Kau membawa kami kepada mereka,” jawab Vlow takut.
Sudah, tidak usah bertengkar. Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Austin terengah-engah sambil memeriksa sakunya mencari lolipop kesukaanya. Namun ia tidak menemukan apa-apa. Ia baru menyadari bahwa ia tidak mengenakan jaketnya dan menyandang tas salempang coklatnya. “Astaga, jeketku tertinggal di tempat  tadi,  tas berisi buku itu juga,” jawab Austin memukuli keningnya.
Tanpa pikir panjang Austin langsung berbalik arah. Vav segera menghentikannya. “Tunggu, kita tidak tahu apakah dua orang aneh tadi masih mengejar kita atau sudah benar-benar pergi,” cegat Vav.
“Ya, Vav benar, lagi pula langit sudah mulai gelap, tidak menguntungkan bagi kita yang tidak mengetahui seluk beluk hutan ini,” tambah Gerald meyakinkan Austin.
 Kita harus menyusun taktir,” kata Vlow, “Baiklah, mungkin tidak begitu manjur, tapi hanya ini yang terfikirkan di kepalaku,” jawab Vlow dan ia mulai menjelaskan taktiknya. “Austin, kau berjalan paling depan, setelah itu Vav dan aku berjalan di belakangmu, dan kau Gerald, berjalan paling belakang,”
“Kenapa selalu aku yang paling belakang dan apa kau pikir itu adalah sebuah taktik?” tanya Gerald jengkel, ia selalu saja protes dan menganggap kalau dia orang yang tidak beruntung.
“Gerald, kau itu laki-laki, jadi harus melindungi kami yang perempuan,” balas Vlow, “Kalau begitu apa kau memiliki ide yang lebih baik?”sambungnya. Tapi Gerald pura-pura tidak mendengarkan. “Nah setelah itu, kita berjalan mengendap-ngendap. Hanya itu yang terfikirkan olehku,” jelas Vlow angkat bahu.
Mereka sepakat dengan ide Vlow dan langsung memulai perjalan dengan mengendap-ngendap. Taktik itu berjalan mulus dan sekarang mereka sudah berada di samping pohon yang mereka jadikan tempat untuk berteduh tadi.
Mereka tidak melihat tanda-tanda adanya orang di sekitar sana dan Austin langsung melangkahkan kakinya satu persatu, berusaha untuk menjaga langkah. Sedangkan teman-temannya tetap bersembunyi di balik semak-semak.
Setiba di bawah pohon itu Austin langsung mengenakan jaketnya dan menyandang tas yang berisi buku De Vlacoure. Begitu selesai, Austin langsung beranjak ke semak-semak tempat teman-temannya bersembunyi. Tapi begitu sampai di sana, yang ia temukan bukanlah teman-temannya yang berdiri cemas menunggunya tapi teman-temannya yang pingsan dan terikat tali di atas tanah.
Austin langsung menghampiri mereka dan berusaha untuk menyadarkan mereka. Bukannya sadar tapi ia malah dipukul dari belakang dengan sebuah benda tumpul dan iapun ikut pingsan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar