Tanda yang Sama
Hari demi hari telah ia lalui di sekolah baru
itu. Austin, Gerald, Vlow, dan Vav terlihat mulai
akrab. Dan kadang Vav mendengar kata-kata dalam bahasa Elf yang dilontarkan
dari mulut Vlow. Itu membuatnya berfikir di sepanjang perjalan
menuju kamarnya. Apa mungkin mereka sama denganku? pikirnya
Pertanyaan itu kembali menusuknya say ia membuka pintu
kamar dan melihat Vlow berdiri di beranda kamar mereka dengan rambut terikat. Tanda lahir itu terlihat jelas di
kudukknya.
“Hai Vlow,” sapanya
seraya menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
“Hai,” balas Vlow
membalikkan tubuhnya. “Kenapa
tampangmu seperti itu?”
Vav menghela nafas, ”Mungkin hanya karena kecapaian,” balas Vav berbohong.
“Kecapaian atau sedang memikirkan sesuatu?” Tanya gadis itu melangkahkan kakinya dan
menghentikannya di ambang pintu beranda, “Wajahmu itu dipenuh tanda tanya, Vav,” sanggah Vlow.
“Ya, aku hanya kecapaian saja,” bantah Vav.
“Vav, kau jujur saja. Masalah akan terasa ringan jika ada
yang membantu, lagi pula sekarang kita sahabat bukan. Sahabat harus saling
berbagi,” saran Vlow seraya menghampirinya.
Vav kembali menghela nafas, “Baiklah, aku akan menceritakannya,” ujarnya seraya
bangkit.
“Nah, gitu dong,” balas Vlow.
“Ada yang menjanggal
dipikiranku beberapa hari ini,”
ujar Vav memulai pembicaraan.
“Tentang apa itu?” tanya Vlow.
“Begini,
setelah tiga minggu aku bergaul denganmu, aku menemukan
kejanggalan,” ujar Vav berusaha
mengatur nada bicaranya.
Dahi Vlow berkerut,
“Kejanggalan?” tanya gadis itu.
“Misalnya, gerak-gerikmu
tidak seperti manusia lain, anggun dan lues. Kulitmu tidak seperti yang lainnya. Putih namun pucat, tidak seperti kulit manusia biasa. Dan tanda lahir yang
kau miliki, sangat berbeda,” jawab Vav.
“Tunggu!
Anggun, lues, kulit pucat. Kau pikir aku ini Vampire?” tanya Vlow sambil tertawa.
“Bukan, bukan Vampire.
Sangat bertolak belakang dengan itu,” tukas Vav. “Tapi menurutku, kau itu
sebangsa dengan...Elf,” ujar Vav. Ia
setengah berbisik saat mengatakan Elf.
“Apa? Elf? Kenapa kau
berfikir sepert itu Vav?” tanya Vlow.
“Itu karena kau
memiliki tanda yang sama denganku,” jawab Vav secepat kilat.
“Tapi itu bisa saja
kebetulan, bukan?” tanya Vlow.
“Kebetulan? Awalnya
memang aku pikir begitu, tapi yang memiliki tanda lahir, kulit yang pucat,
serta gerak-gerik yang lues dan anggun seperti itu cuma Elf. Kau, sama seperti
aku dan keluarga ku,” bantah Vav.
Mereka terdiam sesaat,
Vav tidak
sanggup lagi menahan
air matanya. Ketakutannya beralasan. Jika dugaannya salah
itu akan mengancam keberadaan
keluarganya. Manusia tidak mengetahui tentang keberadaan Elf.
Konon, leluhur para Elf di dunia ini hidup dalam persembunyian. Namun sekarang
para keturunan mereka telah mampu berbaur dengan manusia tanpa membongkar
identitas mereka. Jika saja para manusia mengetahui tentang keberadaan
mereka, mungkin saja
seluruh Elf yang ada di dunia ini akan dianggap gila dan diasingkan.
“Sudahlah, kau tidak
usah menangis,” ujar Vlow sambil menghapus air mata gadis yang duduk di hadapannya. “Sudah waktunya untuk mengaku. Ya...kau benar, kita
sama. Sebenarnya kami sudah lama menyadarinya bahkan sejak kau datang ke
sekolah ini,” aku Vlow, menyerah.
“Tapi, kenapa kau
tidak mengatakannya?” tanya Vav.
“Kami menunggu kau
mengatakannya langsung. Dan akhirnya, kau mengatakannya hari ini,” jawab Vlow menebar senyum.
“Tunggu, tadi aku
dengar kau mengatakan ‘Kami’. Apa masih ada yang lain di sekolah ini?” tanya
Vav.
“Oh ya, aku lupa
mengatakannya. Ya, tidak hanya kita, ada dua orang lagi,” jawab Vlow.
“Apa aku kenal dengan
mereka?” tanya Vav lagi.
“Ya, sangat kenal
dengan mereka. Austin dan Gerald,” jawab Vlow.
“Pantas saja
kalian terlihat sangat akrab,” balas Vav
meninju telapak tangan kirinya. “Oh
ya Vlow, apa kau tau sekarang De Vlacoure membutuhkan kita yang ada disini?”
tanya Vav.
“Ya, kami pernah
mendengarnya tapi kita tidak mengetahui keberadaan De Vlacoure,” jawab
Vlow.
“Ya, aku juga
tidak pernah mendengar letak De Vlacoure dimana,” tambah Vav.
“Kedua orang tua Austin sering mengunjungi Lord
Coloneir. Siapa tau dia punya
beberapa informasi,” usul Vlow.
“Baiklah, semoga dia
memilikinya,” sahut Vav seraya
bangkit.
***
“Menurutmu apa yang
ingin dikatakannya?” tanya Gerald ketika
mereka berjalan menuju taman balakang.
“Entahlah, tidak
biasanya dia seperti ini,” jawab Austin sambil mengemut lolipop di
mulutnya.
Mereka mempercepat
langkahnya begitu melihat dua orang gadis cantik tengah berdiri di bawah
pohon. “Maaf, kami terlambat,” ujar Austin.
“Tidak, kami juga baru
datang,”
jawab Vav sambil menebar senyum manis di bibirnya.
“Ada berita gembira. Dugaan kita tentang Vav
ternyata benar. Dia sama dengan kita,” jawab Vlow.
“Maksudnya sama dengan
kita?” tanya Austin bingung.
“Sama, dia ternyata
juga bangsa Elf,” jawab Vlow dengan gembira.
“What, apa itu benar
Vav?” tanya Austin memastikan.
“Ya, apa dia terlihat
berbohong?” tanya Vav sekaligus menjawab pertanyaan Austin.
Mendengar jawaban gadis itu,
senyum langsung mengambang di pipi mereka. “Selamat bergabung,” ujar Austin menyerahkan tangannya.
“Ya, terima kasih.
Senang rasanya begitu mengetahui bahwa aku tidak sendiri disini,” sahut Vav
menebar senyuman.
Mereka terdiam
sejenak. Austin dan Gerald berjalan menuju bangku yang mengelilingi sebuah meja
yang terbuat dari batu.
“Austin, apa benar kedua orang tuamu sering menemui Lord Coloneir?” tanya Vav.
“Ya, memangnya
kenapa?” tanya Austin.
“Kalian tahukan kalau
De Vlacoure dalam bahaya?” Vav balik
bertanya.
“Ya, tentu. Kabarnya
De Vlacoure mambutuhkan kita, keterunannya,” jawab Gerald.
“Ya, makanya kami
memanggil kalian kesini,” balas Vlow.
“Memangnya ada apa?”
tanya Austin yang belum mengerti dengan arah pembicaraan
teman-temannya.
“Kami ingin menanyakan
sesuatu padamu,” kata Vav. “Apa kau tahu tempat De Vlacoure berada?”
Austin berfikir
sejenak. Ia mengeluarkan lolipopnya dari dalam mulutnya. “Well, kalau mengenai tempatnya aku tidak tahu.” Ujarnya. “Tapi, Ibuku pernah mengatakan tentang sebuah buku,” jawab Austin.
“Buku?” tanya Vlow.
“Ya...katanya buku itu
merupakan gerbang masuk menuju De Vlacoure,” jawab Austin.
“Sekarang dimana buku
itu?” tanya Gerald.
“Nah...itu masalahnya,
Ibuku mengatakan bahwa buku itu diletakkan disebuah perpustakaan, dan kami tidak tahu
perpustakaan yang mana dan bagaimana bentuk buku itu,” jelas Austin.
Semuanya termenung,
memikirkan perpustakaan yang menyimpan buku itu. Tampak kekecewaan dari wajah
mereka begitu menyadari ada puluhan ribu perpustakaan di dunia ini.
Bunyi bel panjang
berbunyi, membangunkan mereka dari lamunan masing-masing. Dengan lemas mereka
meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju asrama masing-masing.
“Bagaimana kalau kita memeriksa beberapa perpustakaan
hari ini,” tanya Austin seraya berjalan menuju meja di kantin sekolah keesokan
harinya.
“Aku piker juga
begitu. Tidak ada untungnya untuk kita jika hanya berdiam diri, toh
buku itu tidak akan berjalan menemui kita,” sahut Gerald seraya beringsut duduk.
Semua murid yang ada di kantin sekolah menyantap makanan
mereka. Tidak ingin manghabiskan waktu istirahat hanya untuk mengunyah, mereka
juga menyelipkan tawa dan percakapan.
“Jadi perpustakaan mana yang akan kita kunjungi?” tanya
Vlow meneguk jusnya. Tak ada yang menjawab kerena mulut mereka dipenuhi
makanan.
“Kurasa Old Library yang ada di ujung jalan,
tempat si tua Hatter. Nanti kalau kita tidak menemukannya di sana, dilanjutkan
di perpustakaan yang ada di Kota,” jawab Austin menelan makanannya.
“Tapi, apakah kita akan diizinkan keluar?” tanya Vav
ragu.
“Sekarang hari Senin, semua Guru mendapatkan undangan
pesta yang harus harus mereka hadiri. Jadi, kurasa hanya satpam yang tinggal,
dan itu berita bagus karena satpam itu bodoh, paling juga di akan dikerjai
anak-anak,” jawab Vlow.
Mereka kembali
menyantap makanan dan terdiam sejenak sambil menoleh keluar jendela.
Terdengar murid-murid tengah membicarakan tempat yang akan mereka kunjungi
nanti .
“Laurent, apa yang akan kau lakukan nanti?” tanya salah
seorang gadis rambut panjang yang duduk di sebelah meja mereka.
“Akusih akan pergi ke
salon, ingin mempercantik diri,” jawab Laurent dengan gaya centilnya saat
Gerald menoleh kearahnya.
“Tapikan prom seminggu lagi?” tanya temannya lagi.
”Jes...aku hanya ingin menghilangkan tato yang ada di
pundakku, aku tidak ingin Guru-guru melihatnya di prom nanti,” jawabnya
setengah berbisik dan kembali menoleh kearah Gerald. Sebenarnya Laurent tak
perlu berbisik karena pada akhirnya Austin yang duduk tidak jauh darinya bisa
mendengar.
“Oh ya Vav, bagaimana kau tahu kalau kami ini Elf?” tanya
Austin pelan ketika menyebutkan kata Elf.
“Pertama, gerak-gerik kalian yang terlalu anggun untuk
manusia. Kedua, kulit kalian pucat dan sedikit bercahaya. Ketiga, aku mendengar kalian
menyebut kata-kata dalam bahasa Elf. Dan yang terpenting, aku melihat tanda
lahir yang sama denganku di pundak Vlow,” jawab Vav panjang lebar.
“Waw, mata yang jeli,” puji Gerald.
“Lalu kalian sendiri, kenapa bisa mengetahui
kalau aku ini Elf?” tanya Vav penasaran.
“Mudah, di hari pertama kau masuk kelas, aku menatapmu, kan? Saat
itu sebenarnya aku melihat tanda lahir itu di pundakmu,” jawab Vlow.
“Dan...waktu aku mengantarmu ke asrama karena tersesat,
aku juga melihatnya,” tambah Austin seraya meneguk minumannya.
Mereka terdiam kembali, sampai Vav kembali bersuara.
“Guru-guru pernah melihatnaya?” tanya Vav lagi.
“Pernah, dan kami berusaha sejujur mungkin. Kami katakan
kalau ini tanda lahir. Mereka sempat menanyakan kenapa kami memliki tanda yang sama. Lalu kami jawab kalau sebenarnya nenek dari
neneknya paman ibu dari nenek ibunya nenek.....belum sempat kami
menyelesaikannya, kami di suruh keluar.” Jawab Vlow tertawa,
“Aku rasa aku tahu apa alasan mereka mengusir kalian,”
sahut Vav menyambung tawa Vlow.
“Sudah-sudah, tujuh menit lagi bel berbunyi,” ujar Austin
melirik jam yang ada di dinding kantin sambil menahan tawanya.
Sepanjang perjalanan, mereka mengganggu teman-teman dan adik
kelas mereka. Bahkan saat Stief akan menyuapi pacarnya, Roudney, dengan ice
krim.
Gerald mengejutkannya dan ice krim itu mengenai hidung Roudney. Bukannya marah,
Roudney malah tertawa dan mengoleskan ice krimnya ke wajah Stief.
Bel berbunyi, semua murid melangkah menuju kelas
masing-masing, dan masih saja berbicara seperti orang yang baru bertemu setelah
sekian lama. Begitupun di kelas B6, mereka tertawa dan saling lempar kertas
satu sama lain. Sampai akhirnya Carrew yang merasa bertanggung jawab atas kelas
B6 kerena dia sendiri adalah ketua kelas, maju ke depan kelas.
“Hai semuanya!
Tolong tenang sebentar, karena ada
yang ingin aku sampaikan. Hari ini Mr. Jhonson sedikit terlambat. Jadi aku
selaku ketua kelas kalian mengizinkan kalian untuk ribut, tapi tolong jangan
lempar-lempar kertas. Aku hanya tidak ingin kalian, rakyatku, dijemur di
lapangan. Jadi kalian mengerti?” tanya Carrew tegas.
Mereka menuruti kata-kata Carrew karena mempertimbangkan
Mr. Jhonson yang terkenal ganas dan tegas. Dengan senyuman bangga Carrew
kembali ke tempat duduknya dan berfikir kalau dia pantas menduduki jabatan
sebagai ketua kelas B6 yang terkenal paling ribut dari seluruh kelas yang ada.
Mereka berbincang-bincang dengan teman di sebelah mereka,
masih membicarakan rencana mereka sepulang sekolah. Sementara Austin, Gerald,
Vlow dan Vav berbincang di bagian belakang kelas, menimbang-menimbang seberapa
letihnya mereka nanti mencari sebuah buku diantara ribuan buku. Seperti mencari
jarum di tumpukan jerami.
Knop pintu bergerak dan pintupun terbuka, masuk seorang
pria yang tidak begitu tinggi dengan kumis yang memisahkan hidung dan mulutnya,
sambil menjinjing sebuah tas yang di penuhi buku-buku pelajaran. Murid-murid
terdiam sambil menelan air ludah begitu Mr. Johnson memukul mejanya, menyuruh
mereka untuk diam.
“Kalian ini kebiasaan, setiap guru telat masuk, pasti
ribut. Apasih yang kalian bicarakan? Daripada ribut, alangkah baiknya kalau kalian membaca
buku, tutup penyelesaian, kerjakan latihan,” ceramah Mr. Johnson yang diikuti murid-murid.
Kata-kata itu sudah ratusan kali mereka dengar, jadi wajar kalau mereka dapat
menghafalnya.
“Nanti, kalau ada yang tidak mengerti, tanyakan pada
saya, saya tidak akan marah. Malah saya senang. Kalian kenal Stuard? Kakak
kelas kalian. Dimasa sekolah dasar, dia datang menemui saya, dan meminta saya
untuk mengajarkannya tentang Logharitma, yang jelas itu adalah pelajaran SMA.
Kalian harus menirunya,” sambung Mr. Johnson.
Semua murid mengantuk mendengarkan ulasan kata Mr.
Johnson yang panjang dan tersentak begitu Mr. Johnson memukul papan tulis.
“Waktunya memulai pelajaran,” ujarnya membuka buku matematika dan mulai
menerangkan pelajaran.
Siswa kelas B membuka mata mereka lebar-lebar dengan
tangan tetap bertahan di atas meja. Mr. Johnson sangat tidak suka jika muridnya
menyembunyikan tangan mereka di balik meja atau memain-mainkan pulpen di atas
meja.
“Tak ada untungnya bagi kalian jika belajar sambil
melakukan aktifitas lain. Ibaratkan ketika kalian menyetir mobil sambil membaca
buku, pikiran kalian akan terbagi dua dan bisa-bisa saja kalian akan menabrak
sesuatu,” jelas Mr. Johnson jika menemukan muridnya melakukan aktivitas lain
ketika belajar.
Murid-muridnya hanya bisa diam mendengarkan dan memutar bola mata
mereka. Jengkel.
Bel panjang berbunyi, jam pelajaran telah
berakhir. Murid-murid meregangkan tubuh mereka, mengendurkan sendi-sendi mereka
yang kaku kerena duduk berdiam diri menyimak pelajaran Mr. Johnson.
“Pakai apa kita kesana?” tanya Vav ketika mereka menyeret
kaki meninggalkan sekolah. Sementara itu si satpam tertidur di dalam ruagannya,
karena murid-murid memberikan obat tidur pada makan siangnya.
“Dengan kaki,” jawab Austin masih menyeret kakinya.
“Seberapa jauh?” tanya Vav lagi.
“Tidak sampai satu kilometer. Kau lihat simpang tiga itu?
Disampingnya ada perpustakaan tua. Disana banyak buku-buku usang , mungkin kau
akan betah disana,” jawab Vlow menunjuk kesebuah bangunan tua, yang bertuliskan
Old Library di papan namanya.
Hanya dalam
15 menit mereka telah menginjakkan kaki diteras Old Library dan langsung
mendorong pintu.
“Datang juga kalian,” ujar seorang pria tua begitu
mendengar suara lonceng yang digantung di atas pintu bergemerincing.
“Hai, Hatter. Wow, kau tampak lebih tua,” sapa Gerald.
“Tidak usah memuji, aku memang sudah sangat tua,” balas
Hatter berjalan menghampiri mereka. “Tunggu, apa kau orang baru?”
“Oh, kami lupa. Kenalkan dia Vav murid baru di sekolah
kami dan sepertinya akan menjadi pengunjung baru disini,” ujar Austin
memperkenalkan Vav kepada Hatter.
“Senang bertemu denganmu, sepertinya aku akan betah
disini,” ucap Vav menyalami tangan keriput Hatter.
“Semoga begitu. Kau tahu, tidak banyak yang suka dengan
tempat ini, hanya mereka yang selalu mengunjungi ku disini, mereka sudah
kuanggap sebagai cucuku. Apa kau keberatan jika aku menganggapmu
sebagai cucuku?” tanya Hatter.
“Oh, tentu, jangan sungkan. Aku sangat senang,” balas Vav dengan
senyuma manis.
“Kalau begitu silahkan, aku juga ingin melanjutkan
perkerjaan, mencari sesuatu,” ujar Hatter melihat-lihat sekeliling.
“Mencari apa?”
“Kaca mataku. Seperti yang kalian ketahui, mataku sudah
sama tuanya denganku, jadi harus memakai kaca mata kalau ingin membaca,” sahut
Hatter mengacak-ngacak mejanya yang sudah sangat berantakan.
“Hatter, kaca mata yang mana yang kau cari? Apa yang
menggatung di lahermu itu?” tutur Vlow sambil menunjuk. Hatter langsung menoleh
ke bawah dan mendapati kaca mata menggantung lemah di lehernya.
“Ya ampun, aku memang sudah sangat tua. Kalau bagitu
silahkan, aku ingin melanjutkan bacaanku,” kata Hatter berjalan dengan
tertati-tatih menuju kursinya.
Begitu Hatter membuka bukunya, mereka menghampiri rak-rak buku dan mencari-cari buku
berbau janggal, kuno dan berbeda dengan buku-buku yang lain. Satu per satu dari buku-buku itu
mereka perhatikan. Mereka buka, tapi yang mereka temukan hanyalah buku dongeng,
bacaan ringan, artikel-artikel yang tidak akan pernah mereka mengerti dan buku
sejarah yang tidak tertarik untuk mereka baca.
Austin sempat memperlihatkan buku aneh yang ia temukan. Tapi
begitu diperhatikan secara seksama tak ada yang aneh dengan buku itu, kecuali
sampulnya yang tebal berwarna coklat lusuh.
Satu jam, dua jam bahkan empat jam sudah mereka berada di
Old Library dengan tumpukan buku yang berserakan akibat ulah mereka tapi tidak juga berhasil menemukan buku De
Vlacoure.
Sudah seluruh
rak yang mereka periksa, tapi mereka tidak
menemukan apapun. Mereka memutuskan mencari kembali dengan teliti karena masih ada waktu. Tanpa terasa langit
sudah berubah warna menjadi kelam dan pucat. Mereka sadar begitu mendengar
suara gemuruh menggema di Old Library.
“Sepertinya akan turun hujan,” tebak Gerald menoleh ke
arah jendela.
“Oh, bukan. Itu bukan suara gemuruh,
tapi suara perutku,” sanggah Vav malu.
“Aku juga lapar, memangnya sudah jam berapa?” tanya Vlow.
“07.30,” jawab Gerald terkejut melirik jam tanganya.
“Apa? Selama itu? Sudah enam jam kita di sini, tapi tidak
menemukan apapun. Kalau begitu sebaiknya kita kembali, dan melanjutkan
pencarian di perpustakaan yang lain besok,” tutur Austin.
Dengan malas mereka meregangkan tubuh yang seharian
mengacak-ngacak perpustakan dan langsung merapikan buku-buku yang berantakan.
Begitu selesai mereka menghampiri Hatter untuk berpamitan tapi yang mereka
temukan kakek itu
dalam keadaan tersandar lemah di kursinya dengan buku yang
terbuka di atas pahanya.
“Dasar tukang tidur,” tutur Vlow menyelimuti Hatter
dengan selimut.
“Apa dia benar-benar tidur?” tanyan Vav cemas.
“Ya...itu kebiasaannya, saat tidur ia tidak banyak
bergerak. Tapi ia mendengkur dengan keras,” jawab Austin menenangkan. Austin memang benar. Baru saja ia mengatakan bahwa
kakekku itu suka mendengkur ketika tidur, mereka langsung mendengar dengkuran
di Old Library.
“Kami pulang dulu
Hatter,” pamit Gerald keluar dari perpustakaan.
Mereka meninggalkan Old Library dengan lampu yang menyala
dan pintu yang tidak terkunci. Mereka sengaja tidak menguncinya karena cucu
Hatter akan datang menjemput.
Saat akan melangkahkan kaki keluar dari halaman depan Old
Library, mereka terhenti karena sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan
mereka.
“Hai, bukankah
terlalu larut untuk kalian berkeliaran di luar lingkungan sekolah?" sapa seorang wanita keluar dari mobilnya.
“Ya memang. Kami keasikan
mencari buku hingga tidak tahu bahwa hari sudah larut,” jawab Vlow.
“Apa aku pernah melihatmu di sekitar sini?” tanya wanita
itu begitu melihat Vav.
“Oh, tentu saja belum. Aku Vav, murid baru di sekolah
mereka,” sahut Vav memperkenalkan diri.
“Hai Vav, aku Cheril, cucu Hatter, senang berkenalan
denganmu. Mana Hatter?”
“Di dalam, tidur,” jawab Vlow lembut.
“Kalau begitu kami pergi dulu, sudah larut,” pamit Austin
dan mereka menyeret kaki meninggalkan Old Library.
Malam begitu sunyi dan pucat. Tak ada mobil yang lalu
lalang. Angin sepoy-sepoy menerbangkan awan yang yang seringan kapas, menutupi
bulan, dan kembali meninggalkan bulan. Tak begitu banyak bintang yang tampak,
mungkin mereka kelelahan dan beristirahat.
“Kalian tahu apa yang aku kagumi dari sesosok Elf?” tanya
Vlow memecahkan kesunyian malam. Tak ada jawaban, karena tak ada yang tahu.
“Mata, mata mereka yang terbuat dari cahaya bulan yang
pucat dan dapat melihat di tengah gelap, jadi kita tidak perlu manggunakan
center atau apapun itu,” jawab Vlow bangga.
“Kalian Elf murni ya? Pasti kalian memiliki lebih banyak merasakan
keistimewaan Elf,” tutur Vav menatap bulan.
“Ya... pastinya kau juga merasakannya kan?” tanya Vlow.
“Tidak juga, aku agak berbeda dengan kalian. Kalian
keturunan Elf yang utuh bukan. Maksudku tidak ada campuran darah manusia. Aku
berdarah campuran, Ayahku adalah keturuna Elf. Sedangkan keluarga Ibuku adalah
keturunan manusia. Jadi aku ini bisa dikatakan Elf setengah manusia. Seru ya,”
jawab Vav
“Ya, kita juga harus bersyukur karena dengan mata ini
kita bisa mengendap-ngendap seperti kucing,” tambah Gerald begitu melihat
gerbang sekolah telah tertutup.
“Kalian bisa memanjat?” tanya Austin menoleh ke arah Vav
dan Vlow.
“Akusih sudah
biasa,” jawab Vlow.
“Aku? Entahlah. aku pernah mencoba memanjat pohon waktu
SMP karena ingin menyelamatkan kucing, tapi aku malah jatuh dan masuk rumah
sakit. Sejak saat itu aku tidak pernah memanjat lagi,” jawab Vav menyerah.
“Baiklah, kalau begitu kau dan Gerald
memanjat, Aku dan Vav lewat gerbang. Kalau kalian berhasil bantu Aku membuka
gerbang. Aku akan mengoceh sebentar dengannya,” Austin mengutarakan pemikirannya.
“Ayo!” ajak Austin menarik tangan Vav.
Mereka berjalan menuju gerbang dengan pelan agar tidak
diketahui Satpam. “Tunggu disini,” perintah Austin menyuruh Vav untuk
bersembunyi di samping gerbang.
“Psst, hai...” panggil Austin setengah berbisik.
Satpam
itu menoleh ke arah sumber suara, menyipitkan matanya agar dapat melihat dengan
jelas. Dengan senyum sombong ia keluar dari posnya dan menghampiri
Austin yang berdiri di luar gerbang.
“Kau lagi. Mana yang lainnya?” tanyanya mencari-cari Gerald dan Vlow.
Sementara itu Gerald dan Vlow memanjat dinding pembatas
dengan bantuan pohon yang tumbuh di samping dinding itu.
“Aku tidak bersama mereka, mereka meninggalkanku
sendirian disini,” jawab Austin dengan nada kecewa.
“Kasian sekali kau,” tutur satpam itu sok prihatin.
“Jadi, kau akan membukakan gerbang ini untukku?” tanya
Austin menyentuh gembok yang mengunci gerbang itu.
“Entahlah, aku bekerja disini diikat peraturan, kalau
catatanku benar, gerbang ini akan dikunci tepat pada jam delapan malam dan
sekarang sudah jam 08.05, kau telat lima menit,” jawabnya.
Austin memasang wajah kecewa, “Baiklah, tapi aku ingin
menyampaikan sesuatu. Tadi aku melihat
istri dan anakmu di sekitar sini. Mereka membawa koper. Dan istrimu
sepertinya menangis,” tutur Austin berbohong dan bersamaan dengan itu Gerald mengendap-ngendap
di belakang satpam dan mengambil kunci yang menggantung di ikat pinggangnya.
“Kau pikir aku bodoh bisa dibohongi anak ingusan sepertimu.
Asal kau tahu, istri dan anakku sekarang berlibur di rumah mertuaku di Itali,”
sanggah si satpam.
“Kalau kau pikir kau itu hebat, kenapa kau bisa di kerjai
teman-temanku tadi siang, sama dengan anak ingusan seperti aku,” pancing
Austin. Sementara itu Gerald berhasil mengambil kunci itu dan memberikannya
kepada Vlow.
“Oh...situasinya berbeda, mereka memasukkan obat tidur ke
dalam makananku dan mereka mengunci pintu saat aku terlelap,” bantah satpam itu
malu.
“Kau salah, kau itu memang bodoh karena membiarkan anak
ingusan mengambil kunci di ikat pinggang sendiri,” bisik Gerald
mengayun-ngayunkan kunci lemarinya.
Spontan satpam itu menoleh ke arah ikat pinggangnya dan
mendapati tidak ada kunci menggantung di sana. Dengan muka merah karena marah
ia mengejar Gerald yang berlari untuk mengalihkan perhatiannya agar Vlow bisa
membuka gerbang.
“Ini, semuanya ku serahkan pada kalian, aku harus
membantu Gerald,” ujar Vlow dan ia langsung berlari menyusul Gerald.
Dengan tertawa geli Austin memutar kuncinya dan langsung
mendorong gerbang. “Ayo! Kita harus lari sebelum satpam itu
datang,”
Mereka langsung berlari dengan kunci masih di tangan
Austin. Tapi belum begitu jauh mereka meninggalkan gerbang, satpam berdiri di
depan mereka dengan kedua tangan menggantung di pinggangnya. “Terima kasih atas
kuncinya,” tutur Austin melemparkan kunci ke arah si satpam. Dan mereka berlari
menyusul Gerald dan Vlow yang tertawa di bawah pohon.
Begitu bertemu mereka langsung berjalan menuju asrama
dengan nafas yang tidak beraturan.
“Kalau begitu, kita berpisah di sini,” ujar Vlow.
“Good night,” ujar Austin berjalan menuju pintu asrama
laki-laki.
Keesokan paginya mereka pergi ke kelas bersama-sama.
Terlihat perubahan sikap Austin terhadap Vav. Ia kembali terlihat hangat
layaknya ia bergaul dengan Vlow.
“Akhirnya dia bisa
bersikap normal,” tutur
Gerald setengah berbisik ketika melihat Austin berbincang dengan Vav
ketika di kelas.
“Wajarkan. Sekarang
kita telah menjadi keluarga. Syukurlah
kalau begitu,” sahut Vlow.
“Kau tahu,
belakangan ini aku memikirkanmu,” tutur Gerald duduk di bangku di depan meja
Vlow dan menoleh kearah gadis itu. Ia menupang dagunya dengan tangan.
“Benarkah? Kenapa aku tidak terkejut ya?” ujar Vlow
mengangkat tangannya dan melipatnya di atas meja.
“Ya, aku juga merasa aneh,” jawab Gerald menatap Vlow
lekat-lekat. “Aku berfikir kenapa ada wanita yang tidak pernah menyukai
seseorang,” tutur Gerald.
“Siapa?”
“Adakan, gadis tomboy yang selalu
di kelilingi pemuda tampan seperti aku,” jawab Gerald melirik ke arah Vlow.
“Jadi orang yang kau maksud itu aku?” tanya Vlow jengkel.
“Jangan-jangan kau lesbi?” ejek Gerald seraya bangkit.
“Kurang ajar kau Gerald. Hai jangan lari!”
bentak Vlow jengkel mengejar Gerald yang berlari mengelilingi kelas.
Seisi kelas tertawa melihat tingkah pola mereka yang
seperti kucing dan anjing. Untung saja waktu itu guru yang mengajar mereka
tidak masuk karena ada rapat. Gerald
berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tapi Vlow yang tidak memeprhitungkan hal
itu malah menabrak tubuh Gerald dan mereka terjatuh di lantai.
Bukannya bertengkar, mereka malah tertawa terbahak-bahak
karena kepala mereka terbentur satu sama lain. Tapi, perlahan-lahan tawa Vlow
berubah menjadi tawa sedih dan sebutir air mata menetes dari matanya yang
pucat.
Gerald yang melihatnya berubah cemas, karena merasa
bersalah.
“Vlow, kau menagis. Maaf aku tidak bermaksud, jangan
nagis dong.” ujar Gerald pucat.
“Bodoh, siapa yang menagis. Tadi rambutku mengenai
mataku,” bantah Vlow bohong seraya bangkit dengan senyuman sedih terpampang di
wajahnya. Jadi kau tidak
menyadarinya ya? pikir Vlow sedih.
Bel panjang berbunyi, dengan perasaan senang murid-murid
menyandang tas mereka dan berjalan meninggalkan kelas dengan wajah puas karena mereka akan bersenang-senang hari ini.
Seperti rencana sebelumnya, setelah mengganti pakaian Austin, Gerald, Vlow dan Vav
pergi ke Kota untuk mencari buku De Vlacoure di perpustakaan. Tapi sebelum
berangkat mereka mengerjai satpam terlebih dahulu dengan cara memberikan surat
izin palsu. Surat izin itu selalu tersedia di lemari Gerald untuk berjaga-jaga.
Hanya dengan foto copy warna mereka bisa mengelabui si satpam.
Mereka ke Kota menggunakan mobil Gerald yang selalu siap
mengantar mereka kemana pun. Mobil itu diantar oleh supir kedua keluarganya,
dia biasanya membantu Gerald membawakan mobilnya jika ia mendapatkan telepon
dari Gerald dan begitu sampai dia akan mendapatkan uang tambahan dari
Gerald. Makanya dia setia kepada Gerald.
Begitu sampai di perpustakaan yang dituju, jam sudah
menunjukkan pukul dua siang. Langsung saja mereka mendorong pintu perpustakaan.
Perpustakaan itu sangat besar dan berlantai dua. Dipenuhi oleh ratusan lemari
dan ribuan buku.
“Mulai dari mana?” tanya Vav pesimis melihat buku yang
begitu banyak.
“Aku rasa tidak mungkin di sana, itu
hanya buku-buku biasa. Dimana ya kira-kira orang akan menyimpan sebuah buku
yang bentuknya cukup aneh dan bersifat rahasia?” pikir Austin.
“Mungkin disana,” tunjuk Vlow ke arah sebuah pintu yang berlambelkan
“Dokumen Penting dan dirahasiakan”.
Tanpa pikir panjang Gerald menyeret kakinya menuju pintu yang terbuka
karena baru saja seorang petugas keluar ruangan itu.
Begitu masuk, mulut mereka ternganga tidak percaya.
Ternyata ruangan itu lebih besar dari dugaan mereka dan lebih banyak buku yang
tersusun disana.
“Aku tidak yakin kita akan menyelesaikannya dalam waktu
empat jam,” tutur Gerald geli.
“Kita harus berusaha,”
“Jangan lewatkan satu bukupun,”
“Sebaiknya kita berpencar mencarinya, kalau hanya
bertumpu pada satu tempat saja, bisa-bisa kita menyelesaikannya natal tahun
depan,”
“Baiklah, kalau
begitu aku mulai dari sini,”
“Aku dari sana,”
“Baris yang ini lebih pendek,”
“Berarti aku mendapatkan baris yang ini,”
“Selamat
berjuang,”
Dan mereka mulai mencari-cari buku De Vlacoure, banyak
macam buku yang mereka temukan, semuanya adalah buku yang tidak akan pernah mereka mengerti. Kalaupun
ingin membacanya, mereka mengurungkan niat itu karena semua buku yang ada di
dalam ruangn itu sifatnya rahasia, mereka hanya tidak ingin pandangan mereka
akan suatu negara akan berubah hanya karena membaca dokumen yang tidak
seharusnya mereka baca.
Berjam-jam mereka mencari buku itu, tapi tidak mereka
temukan sedikit petunjukpun, tak satupun buku mereka lewatkan, rak yang mereka
tinggalkan, tapi yang mereka temukan hanyalah dokumen-dokumen penting yang
menurut mereka tidak penting, maklum diantara mereka tak ada yang menyukai
politik.
Begitu selesai di ruangan itu dan waktu masih tersisa
sekitar satu jam lagi, mereka keluar dari ruangan itu dan mencarinya rak-rak
buku biasa. Tapi untung saat mereka mengacak-ngacak ruangan yang isinya dokumen
penting itu, kamera CCTVnya dalam proses perbaikan dan baru saja selesai
diperbaiki ketika mereka mulai mencari-cari di rak lain.
Sama seperti tiga jam sebelumnya, mereka tidak menemukan
apapun, hanya bacaan ringan, buku-buku sejarah, politik, ekonomi,
ketatanegaraan, yang melihat tebalnya saja membuat mata mereka mengantuk.
Tepat pukul enam sore Gerald melaju mobilnya dengan lesu
dan putus asa.
“Tak ada petunjuk
sedikitpun,”
“Kita tidak akan pernah datang kesana,”
”Kita tidak akan pernah menginjakkan
kaki di De Vlacoure,”
“Kenapa kalian putus asa begitu, baru dua pustaka yang
kita periksa, dan masih ada ribuan pustaka yang lain yang belum kita pijaki,
jadi tenanglah, kita harus semangat, kecuali jika kalian ingin De Vlacoure
hancur karena kita tidak datang menolong mereka,” ujar Vav memberi
teman-temannya semangat.
“Bagaimana kalau keturunan lain yang sudah menemukannya,
itu berarti pencarian kita sia-siakan?” keluh Gerald lagi.
“Itukan kalau. Bagaimana kalau belum ditemukan, dan
ternyata kita yang menemukannya, apa kalian tidak senang?” tanya Vav, “Tapi
kalau kalian ingin berhenti mencarinya apa boleh buat, biar aku saja yang mencarinya,
kalau aku menemukannya, jangan harap kalian boleh ikut,” pancing Vav.
“Tidak, aku tidak akan membiarkan hanya kau saja yang
dikenal masyarakat De Vlacoure. Baiklah besok kita akan mencari di perpustakaan
yang lain,” ujar Gerald kembali semangat.
Mereka tertawa mendengar jawaban Gerald yang terdengar
egois. Perjalanan menuju asrama mereka isi dengan harapan bahwa mereka akan
menemukan buku itu besok. Sementara itu mobil Gerald berjalan anggun di jalan
raya, kembali pulang untuk istirahat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar