Kamis, 09 Januari 2014

De Vlacoure - BAB 2


Tanda yang Sama

Hari demi hari telah ia lalui di sekolah baru itu. Austin, Gerald, Vlow, dan Vav terlihat mulai akrab. Dan kadang Vav mendengar kata-kata dalam bahasa Elf yang dilontarkan dari mulut Vlow. Itu membuatnya berfikir di sepanjang perjalan menuju kamarnya. Apa mungkin mereka sama denganku? pikirnya
Pertanyaan itu kembali menusuknya say ia membuka pintu kamar dan melihat Vlow berdiri di beranda kamar mereka dengan rambut  terikat. Tanda lahir itu terlihat jelas di kudukknya.
“Hai Vlow,” sapanya seraya menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
“Hai,” balas Vlow membalikkan tubuhnya. “Kenapa tampangmu seperti itu?”
Vav menghela nafas, ”Mungkin hanya karena kecapaian,” balas Vav berbohong.
“Kecapaian atau sedang memikirkan sesuatu?” Tanya gadis itu melangkahkan kakinya dan menghentikannya di ambang pintu beranda, “Wajahmu itu dipenuh tanda tanya, Vav,” sanggah Vlow.
Ya, aku hanya kecapaian saja,” bantah Vav.
“Vav, kau jujur saja. Masalah akan terasa ringan jika ada yang membantu, lagi pula sekarang kita sahabat bukan. Sahabat harus saling berbagi,” saran Vlow seraya menghampirinya.  
Vav kembali menghela nafas, Baiklah, aku akan menceritakannya,” ujarnya seraya bangkit.
“Nah, gitu dong,” balas Vlow.
Ada yang menjanggal dipikiranku beberapa hari ini,” ujar Vav memulai pembicaraan.
Tentang apa itu?tanya Vlow.
Begini, setelah tiga minggu aku bergaul denganmu, aku menemukan kejanggalan,” ujar Vav berusaha mengatur nada bicaranya.
Dahi Vlow berkerut, Kejanggalan?” tanya gadis itu.
“Misalnya, gerak-gerikmu tidak seperti manusia lain, anggun dan lues. Kulitmu tidak seperti yang lainnya. Putih namun pucat, tidak seperti kulit manusia biasa. Dan tanda lahir yang kau miliki, sangat berbeda,” jawab Vav.
“Tunggu! Anggun, lues, kulit pucat. Kau pikir aku ini Vampire?” tanya Vlow sambil tertawa.
“Bukan, bukan Vampire. Sangat bertolak belakang dengan itu,” tukas Vav. “Tapi menurutku, kau itu sebangsa dengan...Elf,” ujar Vav. Ia setengah berbisik saat mengatakan Elf.
“Apa? Elf? Kenapa kau berfikir sepert itu Vav?” tanya Vlow.
“Itu karena kau memiliki tanda yang sama denganku,” jawab Vav secepat kilat.
“Tapi itu bisa saja kebetulan, bukan?” tanya Vlow.
“Kebetulan? Awalnya memang aku pikir begitu, tapi yang memiliki tanda lahir, kulit yang pucat, serta gerak-gerik yang lues dan anggun seperti itu cuma Elf. Kau, sama seperti aku dan keluarga ku,” bantah Vav.
Mereka terdiam sesaat, Vav tidak sanggup lagi menahan air matanya. Ketakutannya beralasan. Jika dugaannya salah itu akan mengancam keberadaan keluarganya. Manusia tidak mengetahui tentang keberadaan Elf. Konon, leluhur para Elf di dunia ini hidup dalam persembunyian. Namun sekarang para keturunan mereka telah mampu berbaur dengan manusia tanpa membongkar identitas mereka. Jika saja para manusia mengetahui tentang keberadaan mereka, mungkin saja seluruh Elf yang ada di dunia ini akan dianggap gila dan diasingkan.
“Sudahlah, kau tidak usah menangis,” ujar Vlow sambil menghapus air mata gadis yang duduk di hadapannya. “Sudah waktunya untuk mengaku. Ya...kau benar, kita sama. Sebenarnya kami sudah lama menyadarinya bahkan sejak kau datang ke sekolah ini,” aku Vlow, menyerah.
“Tapi, kenapa kau tidak mengatakannya?” tanya Vav.
“Kami menunggu kau mengatakannya langsung. Dan akhirnya, kau mengatakannya hari ini,” jawab Vlow menebar senyum.
“Tunggu, tadi aku dengar kau mengatakan ‘Kami’. Apa masih ada yang lain di sekolah ini?” tanya Vav.
“Oh ya, aku lupa mengatakannya. Ya, tidak hanya kita, ada dua orang lagi,” jawab Vlow.
“Apa aku kenal dengan mereka?” tanya Vav lagi.
“Ya, sangat kenal dengan mereka. Austin dan Gerald,” jawab Vlow.
“Pantas saja kalian terlihat sangat akrab,” balas Vav meninju telapak tangan kirinya. “Oh ya Vlow, apa kau tau sekarang De Vlacoure membutuhkan kita yang ada disini?” tanya Vav.
“Ya, kami pernah mendengarnya tapi kita tidak mengetahui keberadaan De Vlacoure,” jawab Vlow.
“Ya, aku juga tidak pernah mendengar letak De Vlacoure dimana,” tambah Vav.
Kedua orang tua Austin sering mengunjungi Lord Coloneir. Siapa tau dia punya beberapa informasi,” usul Vlow.
“Baiklah, semoga dia memilikinya,” sahut Vav seraya bangkit.
***
“Menurutmu apa yang ingin dikatakannya?” tanya Gerald ketika mereka berjalan menuju taman balakang.
“Entahlah, tidak biasanya dia seperti ini,” jawab Austin sambil mengemut lolipop di mulutnya.
Mereka mempercepat langkahnya begitu melihat dua orang gadis cantik tengah berdiri di bawah pohon. “Maaf, kami terlambat,” ujar Austin.
“Tidak, kami juga baru datang,” jawab Vav sambil menebar senyum manis di bibirnya.
 “Ada berita gembira. Dugaan kita tentang Vav ternyata benar. Dia sama dengan kita,” jawab Vlow.
“Maksudnya sama dengan kita?” tanya Austin bingung.
“Sama, dia ternyata juga bangsa Elf,” jawab Vlow dengan gembira.
“What, apa itu benar Vav?” tanya Austin memastikan.
“Ya, apa dia terlihat berbohong?” tanya Vav sekaligus menjawab pertanyaan Austin.
Mendengar jawaban gadis itu, senyum langsung mengambang di pipi mereka. “Selamat bergabung,” ujar Austin menyerahkan tangannya.
“Ya, terima kasih. Senang rasanya begitu mengetahui bahwa aku tidak sendiri disini,” sahut Vav menebar senyuman.
Mereka terdiam sejenak. Austin dan Gerald berjalan menuju bangku yang mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari batu.
“Austin, apa benar kedua orang tuamu sering menemui Lord Coloneir?” tanya Vav.
“Ya, memangnya kenapa?” tanya Austin.
“Kalian tahukan kalau De Vlacoure dalam bahaya?” Vav balik bertanya.
“Ya, tentu. Kabarnya De Vlacoure mambutuhkan kita, keterunannya,” jawab Gerald.
“Ya, makanya kami memanggil kalian kesini,” balas Vlow.
“Memangnya ada apa?” tanya Austin yang belum mengerti dengan arah pembicaraan teman-temannya.
“Kami ingin menanyakan sesuatu padamu,” kata Vav. “Apa kau tahu tempat De Vlacoure berada?”
Austin berfikir sejenak. Ia mengeluarkan lolipopnya dari dalam mulutnya. “Well, kalau mengenai tempatnya aku tidak tahu.” Ujarnya. “Tapi, Ibuku pernah mengatakan tentang sebuah buku,” jawab Austin.
“Buku?” tanya Vlow.
“Ya...katanya buku itu merupakan gerbang masuk menuju De Vlacoure,” jawab Austin.
“Sekarang dimana buku itu?” tanya Gerald.
“Nah...itu masalahnya, Ibuku mengatakan bahwa buku itu diletakkan disebuah perpustakaan, dan kami tidak tahu perpustakaan yang mana dan bagaimana bentuk buku itu,” jelas Austin.
Semuanya termenung, memikirkan perpustakaan yang menyimpan buku itu. Tampak kekecewaan dari wajah mereka begitu menyadari ada puluhan ribu perpustakaan di dunia ini.
Bunyi bel panjang berbunyi, membangunkan mereka dari lamunan masing-masing. Dengan lemas mereka meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju asrama masing-masing.



“Bagaimana kalau kita memeriksa beberapa perpustakaan hari ini,” tanya Austin seraya berjalan menuju meja di kantin sekolah keesokan harinya.
Aku piker juga begitu. Tidak ada untungnya untuk kita jika hanya berdiam diri, toh buku itu tidak akan berjalan menemui kita,” sahut Gerald seraya beringsut duduk.
Semua murid yang ada di kantin sekolah menyantap makanan mereka. Tidak ingin manghabiskan waktu istirahat hanya untuk mengunyah, mereka juga menyelipkan tawa dan percakapan.
“Jadi perpustakaan mana yang akan kita kunjungi?” tanya Vlow meneguk jusnya. Tak ada yang menjawab kerena mulut mereka dipenuhi makanan.
“Kurasa Old Library yang ada di ujung jalan, tempat si tua Hatter. Nanti kalau kita tidak menemukannya di sana, dilanjutkan di perpustakaan yang ada di Kota,” jawab Austin menelan makanannya.
“Tapi, apakah kita akan diizinkan keluar?” tanya Vav ragu.
“Sekarang hari Senin, semua Guru mendapatkan undangan pesta yang harus harus mereka hadiri. Jadi, kurasa hanya satpam yang tinggal, dan itu berita bagus karena satpam itu bodoh, paling juga di akan dikerjai anak-anak,” jawab Vlow.
Mereka kembali  menyantap makanan dan terdiam sejenak sambil menoleh keluar jendela. Terdengar murid-murid tengah membicarakan tempat yang akan mereka kunjungi nanti .
“Laurent, apa yang akan kau lakukan nanti?” tanya salah seorang gadis rambut panjang yang duduk di sebelah meja mereka.
“Akusih akan pergi ke salon, ingin mempercantik diri,” jawab Laurent dengan gaya centilnya saat Gerald menoleh kearahnya.
“Tapikan prom seminggu lagi?” tanya temannya lagi.
”Jes...aku hanya ingin menghilangkan tato yang ada di pundakku, aku tidak ingin Guru-guru melihatnya di prom nanti,” jawabnya setengah berbisik dan kembali menoleh kearah Gerald. Sebenarnya Laurent tak perlu berbisik karena pada akhirnya Austin yang duduk tidak jauh darinya bisa mendengar.
“Oh ya Vav, bagaimana kau tahu kalau kami ini Elf?” tanya Austin pelan ketika menyebutkan kata Elf.
“Pertama, gerak-gerik kalian yang terlalu anggun untuk manusia. Kedua, kulit kalian pucat dan sedikit bercahaya. Ketiga, aku mendengar kalian menyebut kata-kata dalam bahasa Elf. Dan yang terpenting, aku melihat tanda lahir yang sama denganku di pundak Vlow,” jawab Vav panjang lebar.
“Waw, mata yang jeli,” puji Gerald.
“Lalu kalian sendiri, kenapa bisa mengetahui kalau aku ini Elf?” tanya Vav penasaran.
“Mudah, di hari pertama kau masuk kelas, aku menatapmu, kan? Saat itu sebenarnya aku melihat tanda lahir itu di pundakmu,” jawab Vlow.
“Dan...waktu aku mengantarmu ke asrama karena tersesat, aku juga melihatnya,” tambah Austin seraya meneguk minumannya.
Mereka terdiam kembali, sampai Vav kembali bersuara. “Guru-guru pernah melihatnaya?” tanya Vav lagi.
“Pernah, dan kami berusaha sejujur mungkin. Kami katakan kalau ini tanda lahir. Mereka sempat menanyakan kenapa kami memliki tanda yang sama. Lalu kami jawab kalau sebenarnya nenek dari neneknya paman ibu dari nenek ibunya nenek.....belum sempat kami menyelesaikannya, kami di suruh keluar.” Jawab Vlow tertawa,
“Aku rasa aku tahu apa alasan mereka mengusir kalian,” sahut Vav menyambung tawa Vlow.
“Sudah-sudah, tujuh menit lagi bel berbunyi,” ujar Austin melirik jam yang ada di dinding kantin sambil menahan tawanya.
Sepanjang perjalanan, mereka mengganggu teman-teman dan adik kelas mereka. Bahkan saat Stief akan menyuapi pacarnya, Roudney, dengan ice krim. Gerald mengejutkannya dan ice krim itu mengenai hidung Roudney. Bukannya marah, Roudney malah tertawa dan mengoleskan ice krimnya ke wajah Stief.
Bel berbunyi, semua murid melangkah menuju kelas masing-masing, dan masih saja berbicara seperti orang yang baru bertemu setelah sekian lama. Begitupun di kelas B6, mereka tertawa dan saling lempar kertas satu sama lain. Sampai akhirnya Carrew yang merasa bertanggung jawab atas kelas B6 kerena dia sendiri adalah ketua kelas, maju ke depan kelas.
“Hai semuanya! Tolong tenang sebentar, karena ada yang ingin aku sampaikan. Hari ini Mr. Jhonson sedikit terlambat. Jadi aku selaku ketua kelas kalian mengizinkan kalian untuk ribut, tapi tolong jangan lempar-lempar kertas. Aku hanya tidak ingin kalian, rakyatku, dijemur di lapangan. Jadi kalian mengerti?” tanya Carrew tegas.
Mereka menuruti kata-kata Carrew karena mempertimbangkan Mr. Jhonson yang terkenal ganas dan tegas. Dengan senyuman bangga Carrew kembali ke tempat duduknya dan berfikir kalau dia pantas menduduki jabatan sebagai ketua kelas B6 yang terkenal paling ribut dari seluruh kelas yang ada.
Mereka berbincang-bincang dengan teman di sebelah mereka, masih membicarakan rencana mereka sepulang sekolah. Sementara Austin, Gerald, Vlow dan Vav berbincang di bagian belakang kelas, menimbang-menimbang seberapa letihnya mereka nanti mencari sebuah buku diantara ribuan buku. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Knop pintu bergerak dan pintupun terbuka, masuk seorang pria yang tidak begitu tinggi dengan kumis yang memisahkan hidung dan mulutnya, sambil menjinjing sebuah tas yang di penuhi buku-buku pelajaran. Murid-murid terdiam sambil menelan air ludah begitu Mr. Johnson memukul mejanya, menyuruh mereka untuk diam.
“Kalian ini kebiasaan, setiap guru telat masuk, pasti ribut. Apasih yang kalian bicarakan?  Daripada ribut, alangkah baiknya kalau kalian membaca buku, tutup penyelesaian, kerjakan latihan,” ceramah Mr. Johnson yang diikuti murid-murid. Kata-kata itu sudah ratusan kali mereka dengar, jadi wajar kalau mereka dapat menghafalnya.
“Nanti, kalau ada yang tidak mengerti, tanyakan pada saya, saya tidak akan marah. Malah saya senang. Kalian kenal Stuard? Kakak kelas kalian. Dimasa sekolah dasar, dia datang menemui saya, dan meminta saya untuk mengajarkannya tentang Logharitma, yang jelas itu adalah pelajaran SMA. Kalian harus menirunya,” sambung Mr. Johnson.
Semua murid mengantuk mendengarkan ulasan kata Mr. Johnson yang panjang dan tersentak begitu Mr. Johnson memukul papan tulis. “Waktunya memulai pelajaran,” ujarnya membuka buku matematika dan mulai menerangkan pelajaran.
Siswa kelas B membuka mata mereka lebar-lebar dengan tangan tetap bertahan di atas meja. Mr. Johnson sangat tidak suka jika muridnya menyembunyikan tangan mereka di balik meja atau memain-mainkan pulpen di atas meja.
“Tak ada untungnya bagi kalian jika belajar sambil melakukan aktifitas lain. Ibaratkan ketika kalian menyetir mobil sambil membaca buku, pikiran kalian akan terbagi dua dan bisa-bisa saja kalian akan menabrak sesuatu,” jelas Mr. Johnson jika menemukan muridnya melakukan aktivitas lain ketika belajar.
Murid-muridnya hanya bisa diam mendengarkan dan memutar bola mata mereka. Jengkel.
Bel panjang berbunyi, jam pelajaran telah berakhir. Murid-murid meregangkan tubuh mereka, mengendurkan sendi-sendi mereka yang kaku kerena duduk berdiam diri menyimak pelajaran Mr. Johnson.

“Pakai apa kita kesana?” tanya Vav ketika mereka menyeret kaki meninggalkan sekolah. Sementara itu si satpam tertidur di dalam ruagannya, karena murid-murid memberikan obat tidur pada makan siangnya.
“Dengan kaki,” jawab Austin masih menyeret kakinya.
“Seberapa jauh?” tanya Vav lagi.
“Tidak sampai satu kilometer. Kau lihat simpang tiga itu? Disampingnya ada perpustakaan tua. Disana banyak buku-buku usang , mungkin kau akan betah disana,” jawab Vlow menunjuk kesebuah bangunan tua, yang bertuliskan Old Library di papan namanya.
Hanya dalam 15 menit mereka telah menginjakkan kaki diteras Old Library dan langsung mendorong pintu.
“Datang juga kalian,” ujar seorang pria tua begitu mendengar suara lonceng yang digantung di atas pintu bergemerincing.
“Hai, Hatter. Wow, kau tampak lebih tua,” sapa  Gerald.
“Tidak usah memuji, aku memang sudah sangat tua,” balas Hatter berjalan menghampiri mereka. “Tunggu, apa kau orang baru?”
“Oh, kami lupa. Kenalkan dia Vav murid baru di sekolah kami dan sepertinya akan menjadi pengunjung baru disini,” ujar Austin memperkenalkan Vav kepada Hatter.
“Senang bertemu denganmu, sepertinya aku akan betah disini,” ucap Vav menyalami tangan keriput Hatter.
“Semoga begitu. Kau tahu, tidak banyak yang suka dengan tempat ini, hanya mereka yang selalu mengunjungi ku disini, mereka sudah kuanggap sebagai cucuku. Apa kau keberatan jika aku menganggapmu sebagai cucuku?” tanya Hatter.
“Oh, tentu, jangan sungkan. Aku sangat senang,” balas Vav dengan senyuma manis.
“Kalau begitu silahkan, aku juga ingin melanjutkan perkerjaan, mencari sesuatu,” ujar Hatter melihat-lihat sekeliling.
“Mencari apa?”
“Kaca mataku. Seperti yang kalian ketahui, mataku sudah sama tuanya denganku, jadi harus memakai kaca mata kalau ingin membaca,” sahut Hatter mengacak-ngacak mejanya yang sudah sangat berantakan.
“Hatter, kaca mata yang mana yang kau cari? Apa yang menggatung di lahermu itu?” tutur Vlow sambil menunjuk. Hatter langsung menoleh ke bawah dan mendapati kaca mata menggantung lemah di lehernya.
“Ya ampun, aku memang sudah sangat tua. Kalau bagitu silahkan, aku ingin melanjutkan bacaanku,” kata Hatter berjalan dengan tertati-tatih menuju kursinya.
Begitu Hatter membuka bukunya, mereka menghampiri rak-rak buku dan mencari-cari buku berbau janggal, kuno dan berbeda dengan buku-buku yang lain. Satu per satu dari buku-buku itu mereka perhatikan. Mereka buka, tapi yang mereka temukan hanyalah buku dongeng, bacaan ringan, artikel-artikel yang tidak akan pernah mereka mengerti dan buku sejarah yang tidak tertarik untuk mereka baca.
Austin sempat memperlihatkan buku aneh yang ia temukan. Tapi begitu diperhatikan secara seksama tak ada yang aneh dengan buku itu, kecuali sampulnya yang tebal berwarna coklat lusuh.
Satu jam, dua jam bahkan empat jam sudah mereka berada di Old Library dengan tumpukan buku yang berserakan akibat ulah mereka tapi  tidak juga berhasil menemukan buku De Vlacoure.
Sudah seluruh rak yang mereka periksa, tapi mereka tidak menemukan apapun. Mereka memutuskan mencari kembali dengan teliti karena masih ada waktu. Tanpa terasa langit sudah berubah warna menjadi kelam dan pucat. Mereka sadar begitu mendengar suara gemuruh menggema di Old Library.
“Sepertinya akan turun hujan,” tebak Gerald menoleh ke arah jendela.
“Oh, bukan. Itu bukan suara gemuruh, tapi suara perutku,” sanggah Vav malu.
“Aku juga lapar, memangnya sudah jam berapa?” tanya Vlow.
“07.30,” jawab Gerald terkejut melirik jam tanganya.
“Apa? Selama itu? Sudah enam jam kita di sini, tapi tidak menemukan apapun. Kalau begitu sebaiknya kita kembali, dan melanjutkan pencarian di perpustakaan yang lain besok,” tutur Austin.
Dengan malas mereka meregangkan tubuh yang seharian mengacak-ngacak perpustakan dan langsung merapikan buku-buku yang berantakan. Begitu selesai mereka menghampiri Hatter untuk berpamitan tapi yang mereka temukan kakek itu dalam keadaan tersandar lemah di kursinya dengan buku yang terbuka di atas pahanya.
“Dasar tukang tidur,” tutur Vlow menyelimuti Hatter dengan selimut.
“Apa dia benar-benar tidur?” tanyan Vav cemas.
“Ya...itu kebiasaannya, saat tidur ia tidak banyak bergerak. Tapi ia mendengkur dengan keras,” jawab Austin menenangkan. Austin memang benar. Baru saja ia mengatakan bahwa kakekku itu suka mendengkur ketika tidur, mereka langsung mendengar dengkuran di Old Library.
 “Kami pulang dulu Hatter,” pamit Gerald keluar dari perpustakaan.
Mereka meninggalkan Old Library dengan lampu yang menyala dan pintu yang tidak terkunci. Mereka sengaja tidak menguncinya karena cucu Hatter akan datang menjemput.
Saat akan melangkahkan kaki keluar dari halaman depan Old Library, mereka terhenti karena sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan mereka.
“Hai, bukankah terlalu larut untuk kalian berkeliaran di luar lingkungan sekolah?" sapa seorang wanita keluar dari mobilnya.
“Ya memang. Kami keasikan mencari buku hingga tidak tahu bahwa hari sudah larut,” jawab Vlow.
“Apa aku pernah melihatmu di sekitar sini?” tanya wanita itu begitu melihat Vav.
“Oh, tentu saja belum. Aku Vav, murid baru di sekolah mereka,” sahut Vav memperkenalkan diri.
“Hai Vav, aku Cheril, cucu Hatter, senang berkenalan denganmu. Mana Hatter?”
“Di dalam, tidur,” jawab Vlow lembut.
“Kalau begitu kami pergi dulu, sudah larut,” pamit Austin dan mereka menyeret kaki meninggalkan Old Library.
Malam begitu sunyi dan pucat. Tak ada mobil yang lalu lalang. Angin sepoy-sepoy menerbangkan awan yang yang seringan kapas, menutupi bulan, dan kembali meninggalkan bulan. Tak begitu banyak bintang yang tampak, mungkin mereka kelelahan dan beristirahat.
“Kalian tahu apa yang aku kagumi dari sesosok Elf?” tanya Vlow memecahkan kesunyian malam. Tak ada jawaban, karena tak ada yang tahu.
“Mata, mata mereka yang terbuat dari cahaya bulan yang pucat dan dapat melihat di tengah gelap, jadi kita tidak perlu manggunakan center atau apapun itu,” jawab Vlow bangga.
“Kalian Elf murni ya? Pasti kalian memiliki lebih banyak merasakan keistimewaan Elf,” tutur Vav menatap bulan.
“Ya... pastinya kau juga merasakannya kan?” tanya Vlow.
“Tidak juga, aku agak berbeda dengan kalian. Kalian keturunan Elf yang utuh bukan. Maksudku tidak ada campuran darah manusia. Aku berdarah campuran, Ayahku adalah keturuna Elf. Sedangkan keluarga Ibuku adalah keturunan manusia. Jadi aku ini bisa dikatakan Elf setengah manusia. Seru ya,” jawab Vav
“Ya, kita juga harus bersyukur karena dengan mata ini kita bisa mengendap-ngendap seperti kucing,” tambah Gerald begitu melihat gerbang sekolah telah tertutup.
“Kalian bisa memanjat?” tanya Austin menoleh ke arah Vav dan Vlow.
“Akusih sudah biasa,” jawab Vlow.
“Aku? Entahlah. aku pernah mencoba memanjat pohon waktu SMP karena ingin menyelamatkan kucing, tapi aku malah jatuh dan masuk rumah sakit. Sejak saat itu aku tidak pernah memanjat lagi,” jawab Vav menyerah.
“Baiklah, kalau begitu kau dan Gerald memanjat, Aku dan Vav lewat gerbang. Kalau kalian berhasil bantu Aku membuka gerbang. Aku akan mengoceh sebentar dengannya,” Austin mengutarakan pemikirannya.
“Ayo!” ajak Austin menarik tangan Vav.
Mereka berjalan menuju gerbang dengan pelan agar tidak diketahui Satpam. “Tunggu disini,” perintah Austin menyuruh Vav untuk bersembunyi di samping gerbang.
“Psst, hai...” panggil Austin setengah berbisik.
Satpam itu menoleh ke arah sumber suara, menyipitkan matanya agar dapat melihat dengan jelas. Dengan senyum sombong ia keluar dari posnya dan menghampiri Austin yang berdiri di luar gerbang.
“Kau lagi. Mana yang lainnya?” tanyanya mencari-cari Gerald dan Vlow.
Sementara itu Gerald dan Vlow memanjat dinding pembatas dengan bantuan pohon yang tumbuh di samping dinding itu.
“Aku tidak bersama mereka, mereka meninggalkanku sendirian disini,” jawab Austin dengan nada kecewa.
“Kasian sekali kau,” tutur satpam itu sok prihatin.
“Jadi, kau akan membukakan gerbang ini untukku?” tanya Austin menyentuh gembok yang mengunci gerbang itu.
“Entahlah, aku bekerja disini diikat peraturan, kalau catatanku benar, gerbang ini akan dikunci tepat pada jam delapan malam dan sekarang sudah jam 08.05, kau telat lima menit,” jawabnya.
Austin memasang wajah kecewa, “Baiklah, tapi aku ingin menyampaikan sesuatu. Tadi aku melihat  istri dan anakmu di sekitar sini. Mereka membawa koper. Dan istrimu sepertinya menangis,” tutur Austin berbohong dan bersamaan dengan itu Gerald mengendap-ngendap di belakang satpam dan mengambil kunci yang menggantung di ikat pinggangnya.
“Kau pikir aku bodoh bisa dibohongi anak ingusan sepertimu. Asal kau tahu, istri dan anakku sekarang berlibur di rumah mertuaku di Itali,” sanggah si satpam.
“Kalau kau pikir kau itu hebat, kenapa kau bisa di kerjai teman-temanku tadi siang, sama dengan anak ingusan seperti aku,” pancing Austin. Sementara itu Gerald berhasil mengambil kunci itu dan memberikannya kepada Vlow.
“Oh...situasinya berbeda, mereka memasukkan obat tidur ke dalam makananku dan mereka mengunci pintu saat aku terlelap,” bantah satpam itu malu.
“Kau salah, kau itu memang bodoh karena membiarkan anak ingusan mengambil kunci di ikat pinggang sendiri,” bisik Gerald mengayun-ngayunkan kunci lemarinya.
Spontan satpam itu menoleh ke arah ikat pinggangnya dan mendapati tidak ada kunci menggantung di sana. Dengan muka merah karena marah ia mengejar Gerald yang berlari untuk mengalihkan perhatiannya agar Vlow bisa membuka gerbang.
“Ini, semuanya ku serahkan pada kalian, aku harus membantu Gerald,” ujar Vlow dan ia langsung berlari menyusul Gerald.
Dengan tertawa geli Austin memutar kuncinya dan langsung mendorong gerbang. “Ayo! Kita harus lari sebelum satpam itu datang,”
Mereka langsung berlari dengan kunci masih di tangan Austin. Tapi belum begitu jauh mereka meninggalkan gerbang, satpam berdiri di depan mereka dengan kedua tangan menggantung di pinggangnya. “Terima kasih atas kuncinya,” tutur Austin melemparkan kunci ke arah si satpam. Dan mereka berlari menyusul Gerald dan Vlow yang tertawa di bawah pohon.
Begitu bertemu mereka langsung berjalan menuju asrama dengan nafas yang tidak beraturan.
“Kalau begitu, kita berpisah di sini,” ujar Vlow.
“Good night,” ujar Austin berjalan menuju pintu asrama laki-laki.
Keesokan paginya mereka pergi ke kelas bersama-sama. Terlihat perubahan sikap Austin terhadap Vav. Ia kembali terlihat hangat layaknya ia bergaul dengan Vlow.
Akhirnya dia bisa bersikap normal,” tutur Gerald setengah berbisik ketika melihat Austin berbincang dengan Vav ketika di kelas.
Wajarkan. Sekarang kita telah menjadi keluarga. Syukurlah kalau begitu,” sahut Vlow.
Kau tahu, belakangan ini aku memikirkanmu,” tutur Gerald duduk di bangku di depan meja Vlow dan menoleh kearah gadis itu. Ia menupang dagunya dengan tangan.
“Benarkah? Kenapa aku tidak terkejut ya?” ujar Vlow mengangkat tangannya dan melipatnya di atas meja.
“Ya, aku juga merasa aneh,” jawab Gerald menatap Vlow lekat-lekat. “Aku berfikir kenapa ada wanita yang tidak pernah menyukai seseorang,” tutur Gerald.
“Siapa?”
“Adakan, gadis tomboy yang selalu di kelilingi pemuda tampan seperti aku,” jawab Gerald melirik ke arah Vlow.
“Jadi orang yang kau maksud itu aku?” tanya Vlow jengkel.
“Jangan-jangan kau lesbi?” ejek Gerald seraya bangkit.
“Kurang ajar kau Gerald. Hai jangan lari!” bentak Vlow jengkel mengejar Gerald yang berlari mengelilingi kelas.
Seisi kelas tertawa melihat tingkah pola mereka yang seperti kucing dan anjing. Untung saja waktu itu guru yang mengajar mereka tidak masuk karena ada rapat. Gerald berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tapi Vlow yang tidak memeprhitungkan hal itu malah menabrak tubuh Gerald dan mereka terjatuh di lantai.
Bukannya bertengkar, mereka malah tertawa terbahak-bahak karena kepala mereka terbentur satu sama lain. Tapi, perlahan-lahan tawa Vlow berubah menjadi tawa sedih dan sebutir air mata menetes dari matanya yang pucat.
Gerald yang melihatnya berubah cemas, karena merasa bersalah.
“Vlow, kau menagis. Maaf aku tidak bermaksud, jangan nagis dong.” ujar Gerald pucat.
“Bodoh, siapa yang menagis. Tadi rambutku mengenai mataku,” bantah Vlow bohong seraya bangkit dengan senyuman sedih terpampang di wajahnya. Jadi kau tidak menyadarinya ya? pikir Vlow sedih.
Bel panjang berbunyi, dengan perasaan senang murid-murid menyandang tas mereka dan berjalan meninggalkan kelas dengan wajah puas  karena mereka akan bersenang-senang hari ini.
Seperti rencana sebelumnya, setelah mengganti pakaian Austin, Gerald, Vlow dan Vav pergi ke Kota untuk mencari buku De Vlacoure di perpustakaan. Tapi sebelum berangkat mereka mengerjai satpam terlebih dahulu dengan cara memberikan surat izin palsu. Surat izin itu selalu tersedia di lemari Gerald untuk berjaga-jaga. Hanya dengan foto copy warna mereka bisa mengelabui si satpam.
Mereka ke Kota menggunakan mobil Gerald yang selalu siap mengantar mereka kemana pun. Mobil itu diantar oleh supir kedua keluarganya, dia biasanya membantu Gerald membawakan mobilnya jika ia mendapatkan telepon dari Gerald dan begitu sampai dia akan mendapatkan uang tambahan dari Gerald. Makanya dia setia kepada Gerald.
Begitu sampai di perpustakaan yang dituju, jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Langsung saja mereka mendorong pintu perpustakaan. Perpustakaan itu sangat besar dan berlantai dua. Dipenuhi oleh ratusan lemari dan ribuan buku.
“Mulai dari mana?” tanya Vav pesimis melihat buku yang begitu banyak.
Aku rasa tidak mungkin di sana, itu hanya buku-buku biasa. Dimana ya kira-kira orang akan menyimpan sebuah buku yang bentuknya cukup aneh dan bersifat rahasia?” pikir Austin.
“Mungkin disana,” tunjuk Vlow ke arah sebuah pintu yang berlambelkan “Dokumen Penting dan dirahasiakan”.  Tanpa pikir panjang Gerald menyeret kakinya menuju pintu yang terbuka karena baru saja seorang petugas keluar ruangan itu.
Begitu masuk, mulut mereka ternganga tidak percaya. Ternyata ruangan itu lebih besar dari dugaan mereka dan lebih banyak buku yang tersusun disana.
“Aku tidak yakin kita akan menyelesaikannya dalam waktu empat jam,” tutur Gerald geli.
“Kita harus berusaha,”
“Jangan lewatkan satu bukupun,”
“Sebaiknya kita berpencar mencarinya, kalau hanya bertumpu pada satu tempat saja, bisa-bisa kita menyelesaikannya natal tahun depan,”
“Baiklah, kalau begitu aku mulai dari sini,”
“Aku dari sana,”
“Baris yang ini lebih pendek,”
“Berarti aku mendapatkan baris yang ini,”
“Selamat berjuang,”
Dan mereka mulai mencari-cari buku De Vlacoure, banyak macam buku yang mereka temukan, semuanya adalah buku yang  tidak akan pernah mereka mengerti. Kalaupun ingin membacanya, mereka mengurungkan niat itu karena semua buku yang ada di dalam ruangn itu sifatnya rahasia, mereka hanya tidak ingin pandangan mereka akan suatu negara akan berubah hanya karena membaca dokumen yang tidak seharusnya mereka baca.
Berjam-jam mereka mencari buku itu, tapi tidak mereka temukan sedikit petunjukpun, tak satupun buku mereka lewatkan, rak yang mereka tinggalkan, tapi yang mereka temukan hanyalah dokumen-dokumen penting yang menurut mereka tidak penting, maklum diantara mereka tak ada yang menyukai politik.
Begitu selesai di ruangan itu dan waktu masih tersisa sekitar satu jam lagi, mereka keluar dari ruangan itu dan mencarinya rak-rak buku biasa. Tapi untung saat mereka mengacak-ngacak ruangan yang isinya dokumen penting itu, kamera CCTVnya dalam proses perbaikan dan baru saja selesai diperbaiki ketika mereka mulai mencari-cari di rak lain.
Sama seperti tiga jam sebelumnya, mereka tidak menemukan apapun, hanya bacaan ringan, buku-buku sejarah, politik, ekonomi, ketatanegaraan, yang melihat tebalnya saja membuat mata mereka mengantuk.
Tepat pukul enam sore Gerald melaju mobilnya dengan lesu dan putus asa.
“Tak ada petunjuk sedikitpun,”
“Kita tidak akan pernah datang kesana,”
”Kita tidak akan pernah menginjakkan kaki di De Vlacoure,”
“Kenapa kalian putus asa begitu, baru dua pustaka yang kita periksa, dan masih ada ribuan pustaka yang lain yang belum kita pijaki, jadi tenanglah, kita harus semangat, kecuali jika kalian ingin De Vlacoure hancur karena kita tidak datang menolong mereka,” ujar Vav memberi teman-temannya semangat.
“Bagaimana kalau keturunan lain yang sudah menemukannya, itu berarti pencarian kita sia-siakan?” keluh Gerald lagi.
“Itukan kalau. Bagaimana kalau belum ditemukan, dan ternyata kita yang menemukannya, apa kalian tidak senang?” tanya Vav, Tapi kalau kalian ingin berhenti mencarinya apa boleh buat, biar aku saja yang mencarinya, kalau aku menemukannya, jangan harap kalian boleh ikut,” pancing Vav.
“Tidak, aku tidak akan membiarkan hanya kau saja yang dikenal masyarakat De Vlacoure. Baiklah besok kita akan mencari di perpustakaan yang lain,” ujar Gerald kembali semangat.
Mereka tertawa mendengar jawaban Gerald yang terdengar egois. Perjalanan menuju asrama mereka isi dengan harapan bahwa mereka akan menemukan buku itu besok. Sementara itu mobil Gerald berjalan anggun di jalan raya, kembali pulang untuk istirahat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar