Kamis, 23 Januari 2014

De Vlacoure - BAB 4



Ayo Keluar dari Tempat Ini

Setelah mengikat mereka semua, kedua orang itu (sebenarnya mereka adalah Ogre) membawa mereka keluar hutan dan mendaki sebuah bukit. Kemudian kembali menuruninya dan menyeberangi sungai Cecris. Mereka berjalan tanpa istirahat. Seolah mereka akan dibunuh jika mereka datang terlambat. Setibanya di Rombobterix setelah menempuh dua hari perjalanan mereka memperlihatkan temuan mereka kepada Sang Pemimpin, Dhomnail. Ia sangat terkejut dan senang dengan temuan anak buahnya. Karena mereka berhasil menemukan keturunan De Vlacoure yang bisa menggagalkan rencana penghancuran De Vlacoure.
 Aku rasa tawanan penjara kita membutuhkan beberapa teman,” ujar Dhomnail memerintahkan kaki tangannya untuk membawa keturunan De Vlacoure ke dalam penjara bawah tanah, “Kita akan berpesta malam ini,” sorak Dhomnail menyenangi anak buahnya. Rombobterix bergemuruh senang mendengar berita itu.
Sementara itu Austin, Gerald, Vlow, dan Vav masih tidak sadarkan diri di panjara menara akibat pukulan yang diberikan Ogre, hingga setetes air dingin membasahi pipi Vlow. Vlow tersadar dan berusaha untuk menyesuaikan penglihatannya di ruangan gelap itu. Tidak ada yang dapat ia lihat kecuali ruangan hampa yang gelap. Namun Vlow beruntung karena dia adalah Elf yang dapat melihat di dalam gelap. Saat matanya mampu beradaptasi, ia dapat melihat teman-temannya terkujur lemah di dekatnya dan sesosok tubuh kurus terikat lemas di sudut ruangan.
Vlow berusaha mengeluarkan suaranya untuk memanggil teman-temannya yang diam tak bergerak. Namun nihil, suaranya tidak bisa keluar karena mulutnya di tutup dengan kain. Saat Vlow ingin menggerakkan tangannya untuk membuka penutup mulutnya, kedua tangannya tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat di balik tubuhnya. Vlow berteriak karena kesal dengan nasibnya tapi suaranya tertahan kain yang menutupi mulutnya. Vlow berusaha untuk bangkit dari tidurnya, tahu ia tidak bisa bergerak karena tangan dan kakinya terikat dengan tali Vlow memfokuskan matanya melihat ke seluruh ruangan untuk mencari benda yang dapat memutus tali yang mengikat tangan dan kakinya. Dengan teliti Vlow memperhatikan ruangan itu dan akhirnya ia menemukan sesuatu yang mangkilat di sudut ruangan. Dengan susah payah Vlow menyeret tubuhnya ke sudut ruangan untuk mengambil benda itu. Begitu sampai Vlow berusaha meraihnya, begitu ia berhasil meraih benda yang ternyata kapak yang telah berkarat itu, ia langsung memotong tali yang mengikat tangannya. Setelah tali itu berhasil terlepas dari pergelangan tangannya, Vlow mengurut-ngurut tangannya yang terasa sakit. Ia merasakan cairan hangat keluar dari pegelangan tangannya. Begitu ia melihatnya tampak pergelangan tangan kirinya sedikit tersayat dan mengeluarkan darah segar. Vlow tidak menghiraukannya dan beralih membuka mulutnya.
“Guys, bangun,” bisik Vlow sambil membuka tali yang mengikat kakinya.
Namun teman-temannya tetap saja diam tak bergerak.
“Ayolah, sudah waktunya kalian untuk bangun,” tambah Vlow merangkak kearah Austin yang tergeletak tidak jauh darinya dan membukakan tali yang mengikat tangan pemuda itu.
Perlahan Austin membuka matanya dan terkejut saat Vlow menyentuh tangannya, “Dimana ini?” tanya Austin seraya bangkit.
“Entahlah, begitu tersadar kita sudah berada disini,” jawab Vlow merangkak ke tempat Vav. “Bantu yang lain.”
“Mungkin ini markas mereka. Waktu itu aku melihat kalian pingsan dan tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang dan samar-samar aku melihat dua orang itu mangikatku,” sahut Austin membangunkan Gerald.
“Sepertinya kalian akan membunuhku,” tutur Gerald bangkit dan membuka penutup mulutnya, “Gelap sekali.”
“Kenapa?” tanya Vlow membantu Vav membukakan tali pengikat.
“Karena aku telah membawa kalian ke gerbang kematian,” jawabnya.
“Sudahlah, lagipula kita belum mati. Kita masih hidup, jadi peluang hidupmu juga masih ada,” sahut Austin bangkit.
“Bagus, aku tidak bisa melihat apa-apa disini,” keluh Vav bangkit dari tidurnya namun ia terjatuh kembali.
“Kau baik-baik saja?” tanya Vlow membantunya bangkit.
“Entahlah Vlow. Mungkin aku memiliki penyakit yang cukup aneh. Setiap kali aku berada di ruangan yang tidak ada cahayanya sama sekali dalam waktu yang sangat lama tubuhku akan melemah dan dadaku menjadi sesak,” tutur Vav dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kalau begitu lebih baik kau beristirahat. Biar kami yang mencari jalan keluar,” saran Vlow membelai lembut kening Vav.
“Kalau kau masih sesak nafas, cobalah untuk tidur,” tambah Austin yang juga mencemaskan Vav.
“Terima kasih,” tutur Vav lemah.
“Lalu, apa yang kita lakukakan selanjutnya? Kita tidak bisa membiarkan Vav seperti ini,” ujar Gerald melihat sekeliling ruangan dan mendapati sesosok tubuh yang lemah di sudut ruangan.
Sebaiknya sekarang kita mencari jalan keluar. Aku tidak betah berada disini,” sahut Austin bangkit dari duduknya dan mengelilingi ruangan gelap itu.
Mereka mencari-cari di dalam gelap jalan untuk keluar. Pintu ruagan itu terkunci rapat dengan gembok. Dinding ruangan itu terbuat dari batu yang amat tebal dan tidak dapat di tembus sama sekali. Dengan kesal Austin meninju dinding yang terbuat dari batu tebal itu.
“Ayolah, pasti ada celah di ruangan ini,” soraknya kesal.
“Percuma jika kalian berkeliling disini dan berteriak!” ujar sebuah suara lemah, “Tidak ada jalan selain pintu itu,” tambahnya, “Dan teman kalian harus segera mendapatkan cahaya. Kalau tidak lambat laut dia akan mati.”
 “Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanya Vlow menghampiri sumber suara, yang ternyata sesosok Elf lemah yang duduk di sudut ruangan.
“Kalian harus menunggu Ogre itu datang,” sahutnya mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk. Tampaklah wajahnya yang kurus namun tidak selemah yang terlihat. Janggut dan kumis menutupi hampir sebagian wajahnya yang tidak terurus dengan baik. Rambutnya yang panjang terurai di pundaknya. Tampaknya ia tidak pernah bercukur selama berbulan-bulan.
“Tapi, Vav sudah semakin lemah. Kami tidak bisa menunggu,” bantah Gerald masih mencari jalan keluar.
“Hanya itu jalan satu-satunya,” sahut pria itu, “Tapi, aku bisa menolong teman kalian. Seingatku Elf seperti teman kalian ini tidak bisa hidup tanpa cahaya. Jadi yang dia butuhkan adalah cahaya,” tambahnya.
“Dimana kami bisa menemukan cahaya?” tanya Austin segera.
“Ada sebuah lubang yang berhasil aku buat selama berbulan-bulan disini tapi sepertinya tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan ini. Namun setidaknya bisa membuat nafas teman kalian kembali normal dan menjadi kuat kembali,” jawabnya bangkit dari tempatnya. Ketika ia bangkit, tampak ia mengenakan baju besi lengkap dengan pedang di pinggangnya. Mungkin ia adalah prajurit yang tertangkap dan di tawan disana.
“Dimana itu?” tanya Austin.
“Disini,” jawab pria itu berjalan ke sudut ruangan yang lain dan menarik sebuah kayu besar ke sisi lain. Ketika kayu besar itu telah berpindah tempat, tampak sebuah lubang berdiameter enam centimeter tertempel di dinding.
“Aku rasa itu cukup,” tutur Vav lemah seraya bengkit.
“Baiklah, waktunya untuk berpindah tempat,” kata Austin, “Maafkan aku Vav,” tambahnya sambil memapah tubuh Vav yang melemah.
Begitu sampai di depan lubang itu Austin membantu gadis itu untuk duduk di samping lubang. Vav segera menghirup udara yang masuk dari lubang itu dan manatap cahaya yang masuk seperti seseorang yang melihat kenangan manis.
“Thank’s Austin,” ujarnya dengan nafas yang kembali normal.
“Ya, sama-sama,” sahut Austin tersenyum, “Terima kasih,” ucap Austin menoleh ke arah pria yang telah membuat lubang itu.
“Ya, aku juga berterima kasih karena kalian datang menemaniku,” sahutnya sambil tertawa renyah. Yang lainpun ikut tertawa seolah melupakan hal yang menimpa mereka.
“Kita belum kenalan, aku Roft. Dan kalian?” tanya pria itu.
“Aku Austin,”
“Gerald,”
“I am Vlow. Dan gadis itu Vav,”
“Jika aku melihat pakaian yang kalian kenakan, sepertinya kalian bukan berasal dari dunia ini,” tutur Roft duduk bersandar di dinding.
“Kami bisa saja mengatakan berasal dari mana, tapi kami tidak tahu kau kawan atau lawan,” ujar Austin waspada.
“Kalau begitu, aku ingin bertanya siapa yang kalian ketahui di De vlacoure ini?” tanyanya.
Mereka diam sesaat, “Lord Armus dan Lord Coloneir,” jawab Gerald.
“Apa kalian mengenal mereka dengan baik?” tanya Roft lagi.
“Ya, mereka adalah leluhur kami,” jawab Gerald.
“Jika aku tidak salah duga, kalian adalah keturunan mereka dari dunia manusia?” tanya Roft mulai bersemangat.
“Ya, bisa di katakan seperti itu,” ujar Austin menoleh ke arah Vav yang mulai bugar kembali.
“Berarti kalian adalah empat keturunan yang selama ini De Vlacoure tunggu-tunggu?” tanya Roft antusias.
“Semoga saja begitu,” sambut Vlow merasa senang.
“Kalau begitu kalian harus segera keluar dari sini. Aku sangat yakin Dhomnail akan menggunakan kalian  untuk mengalahkan De Vlacoure,” ucap Roft bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu dan mengintip keluar.
“Kenapa tidak membunuh kami saja. Itu lebih baik, bukan?” tanya Vlow.
“Itu bisa saja dia lakukan dengan mudah. Tapi jika dia ingin melakukan itu, dia telah membunuh kalian dari  kemarin ketika kalian sampai disini. Tapi dia tidak melakukannya, karena dia pasti menggunakan kalian agar rencananya berhasil,” bantah Roft, “Ada yang datang! Tutup lubang itu dan kembali ke posisi semula,” perintahnya sambil berlari ke arah Vav.
Segera Austin membopoh tubuh Vav dan meletakkannya di tengah ruangan. Setelah tubuh Vav di pindahkan, Roft menggeser kayu untuk menutupi lubang yang telah ia buat dan bersiap di posisinya semula.
Pintu berderit, terdengar suara hentakan kaki yang lemah dan seretan kain yang menyapu lantai. Suara itu semakin dekat dan akhirnya berhenti di depan ruangan mereka. Tampak cahaya api merambas masuk dari celah pintu. Terdengar suara besi yang saling beradu dan kemudian terjatuh. Pintu berderit dan terbuka. Tampak sosok tinggi yang di selimuti kain hitam membawa sebuah obor. Sosok itu masuk dan meletakkan obor di tempat singgasananya di dinding. Dengan lembut sosok itu membuka tutup sebuah botol berukuran kecil. Di dalamnya terdapat sebuah ramuan berwarna hijau. Perlahan ia menuangkan setetes ramuan yang ada di botol itu. Begitu tetesan itu menyentuh lantai ramuan itu berubah menjadi asap yang memenuhi ruangan. Perlahan Austin, Gerald, Vlow, Vav dan Roft kehilangan kesadaran begitu menghirup asap hijau itu.
Sosok itu memperhatikan semua yang ada di ruangan itu secara bergantian. Melihat yang terlemah diantara mereka. Dan akhirnya sosok itu memilih Vav dan langsung menghampirinya.
Sosok itu meraih tangan kiri Vav dan memegangnya dengan tangan kanannya. Sambil memejamkan mata dan berkonsentrasi, sosok itu membuka dan menutup mulut, membacakan sebuah mantra. Tampak cahaya merah keluar dari keningnya, membelit tangan kanannya dan begitu menyentuh telapak tangan gadis itu cahaya itu membenamkan diri menjalar melalui urat-urat tangan Vav hingga ke otaknya.
Dengan jelas banyangan-banyangan masa lalu Vav dapat dilihat olehnya. Semua memori yang ada di otak Vav dapat dilihatnya. Ia melihat Vav bersama teman-temannya menemukan buku De Vlacoure dan masuk ke dalamnya. Ia juga dapat melihat ketika para Ogre menangkapnya. Ia juga dapat mengetahui lubang yang di buat Roft tanpa sepengetahuannya. Tidak hanya itu, ia bahkan dapat melihat kilasan masa lalu dan masa sembelum Vav lahir. Itu mungkin karena di darah gadis itu mengalir darah Ayahnya, dan di darah Ayahnya mengalir darah leluhur mereka, akhirnya sampai dengan darah Lord Armus.
Senyum mengambang di pipinya karena senang dapat mengetahui keberadaan De Vlacoure. Ia langsung menghentikan mantranya begitu ia merasa cukup dengan informasi yang ia dapat. Perlahan darah mengalir dari hidung Vav karena otaknya yang tidak begitu kuat menahan mantra itu. Akibat mantra itu pada telapak tangan kirinya terbentuk jejak hitam yang suatu saat bisa saja di aktifkan kembali oleh Dhomnail.
Selama ini, semenjak King Julion menyebutkan sebuah mantra yang kuat dan mengakibatkan dunia De Vlacoure dan daerah di sekitarnya leyap, tak ada yang mengetahui keberadaan De Vlacoure. Akibat pergeseran-pergeseran pengaruh mantra yang dibacakan King Julion. Kini Dhomnail mengetahui keberadaannya dan akan memulai rencananya. Sebelum meninggalkan penjara itu, Dhomnail memperhatikan seluruh penjara dan akhirnya menemukan lubang yang yang di buat oleh Roft. Ia langsung menghancurkan kayu yang menutupinya dan menutup kembali lubang itu dengan mantranya. Begitu ruangan itu sudah tertutup kembali, ia langsung menghilang dari penjara. Perlahan pintu penjara itu kembali tertutup dan api obor perlahan menjadi padam.
Vlow tersadar dari tidurnya ketika seekor tikus berlari-lari kecil di depannya. Ia tersentak ketika tikus itu memperhatikan wajahnya. Suaranya yang cukup keras membuat yang lainnya juga ikut terbangun.
“Suara apa itu?” tanya Gerald seraya bangkit.
“Maaf, jika suaraku membangunkan kalian. Tadi ada seekor tikus,” jawab Vlow malu.
“Sejak kapan kita tertidur?” tanya Austin meregangkan tubuhnya.
“Mungkin sejak pintu penjara ini terbuka,” jawab Vlow melihat sebuah obor menggantung di dinding, “Sejak kapan ada obor disini? Apa kita punya korek api?”
“Aku tidak tahu dengan apa yang kau maksud, tapi jika berhubungan dengan api aku bisa membuatnya,” sahut Roft bangkit dari duduknya. Dengan sedikit sempoyongan ia berjalan menuju obor dan menjentikkan jarinya pada sumbu obor. Dan sumbu obor itupun terbakar.
“Wow, bagaimana kau melakukannya?” tanya Vlow kagum.
“Hanya dengan satu mantra, Aip,” jawab Roft angkat bahu.
“Apa lagi yang tidak aku ketahui dari De Vlacoure?” tanya Vlow diiringi tawa, “Vav, apa obor ini bisa membuatmu lebih tenang?”
Vav tidak menjawab sama sekali, dia hanya terkujur lemah di lantai.
Gadis itu yang hanya diam, Austinpun menghampirinya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat darah keluar dari hidungnya, “Vav, kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menyeka darah yang mengalir dari hidung gadis itu.
“Kepalaku sakit sekali,” sahutnya lemah.
“Bertahanlah Vav, kami akan membawamu keluar dari sini,” ujar Austin membuka jaketnya dan meyelimuti Vav.
“Sepertinya Vav sudah pada batasnya. Kita harus membawanya keluar dari sini segera,” tutur Gerald, “Tapi bagaimana caranya?”
“Pindahkan Vav ke sudut dinding ini,” ujarnya menunjuk dinding di samping kanan pintu, “Buat saja keributan,” saran Roft memukul pintu penjaranya.
Austin kembali menggendong Vav untuk memindahkannya ke tempat yang dikatakan Roft. Ia tidak tahu apa tujuannya tapi ia merasa harus melakukannya.
Vlow langsung menghampiri Vav yang masih lemah dan merangkulnya. Sementara itu Austin dan Gerald membantu pria itu untuk membuat keributan. Mereka memukul dan melempari  pintu.
“Untuk apa kita melakukan ini?” tanya Gerald heran, namun tetap memukul-memukul pintu.
“Tunggu sebentar lagi dan kalian akan tahu,” sahut Roft melempari pintu.
Beberapa saat kemudian terdengar dari luar penjara suara hentakan kaki. Semakin lama semakin mendekat. Suara itu berhenti sejenak ketika terdengar bunyi putaran kunci. Pintu berderit, terdengar kembali suara hentakan kaki, sekarang makin terdengar jelas dan semakin mendekat.
“KAU MEMINTA KAMI UNTUK MENGUNDANG MEREKA?” bentak Gerald tidak percaya.
“Tenang Gerald. Jika kau ingin mengeluarkan Vav dari sini, kau harus melakukannya,” sahut Roft menahan bahu Gerald, “Sekarang sembunyi di dekat mereka,” perintahnya sambil mencabut pedang yang menggantung di pinggangnya.
Austin dan Gerald mengikuti saran dari pria itu, mereka bergegas bersembunyi di dekat Vlow dan Vav. Roft juga ikut bersembunyi dengan pedang yang terhunus.
“Apakah pedang itu masih tajam? Bukankah kau sudah berada disini berbulan-bulan?,” bisik Vlow.
“Pedang ini tidak akan berkarat walau sudah berumur ratusan tahun. Percayalah padaku,” sahut Roft sambil tertawa kecil.
Suara hentakan kaki itu terdengar semakin dekat. Suara itu berhenti ketika sampai di pintu penjara mereka. Tampak cahaya obor menyeruak masuk ke dalam penjara. Lagi-lagi terdengar suara gembok terbuka dan pintupun berderit. Ketika pintu telah terbuka lebar, tampak sesosok Ogre masuk ke dalam penjara dengan obor di tangannya.
“AKAN KU POTONG TANGAN KALIAN JIKA MASIH TERDENGAR KERIBUTAN DISINI!” bentaknya. Suaranya yang besar dan berat bergema di seluruh ruangan. Namun alangkah terkejutnya ia ketika tidak ada satu orangpun tawanan di ruangan itu.
“Semoga kapakmu lebih tajam dari besi berkarat,” sahut Roft seraya bangkit.
Saat Ogre itu menoleh kearahnya, ia langsung melambaikan pedangnya ke tangan Ogre itu dan obor yang di pegangnya terlepas. Ogre itu segera mengambil kapaknya dan  melambaikannya. Namun, Roft lebih tangkas darinya, ia langsung menangkisnya dan mengiris perut lawannya. Lawannya merintih kesakitan. Namun itu tidak membuatnya kasihan, pria itu malah semakin bersemangat dan langsung menikamkan pedangnya di perut lawannya.
“Senang rasanya menghunuskan pedang kepada musuh,” tuturnya sambil mencabut pedangnya dari tubuh Ogre yang memiliki tubuh dua kali lebih besar darinya.
Beberapa detik setelah pedang di cabut dari tubuhnya, Ogre itu lenyap bagaikan debu yang di hembus angin, hilang tak berbekas.
“Bagaimana mungkin?” tanya Gerald dengan mata terbelalak melihat musuhnya hilang begitu saja.
Roft memasukkann pedangnya ke dalam sarang yang tergantung indah di pinggangnya, “Itu cerita yang panjang. Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Sekarang kita harus membawa Vav keluar dari sini,” jawabnya sambil mengambil obor yang tergeletak di atas lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, Austin langsung menyerahkan punggungnya kepada Vav, “Aku akan menggendongmu,”
“Terima kasih,” sahut Vav lemah.
Vlowpun membantu Vav menggerakkan tubuhnya. Ketika Vav telah merasa nyaman, Austin langsung bangkit, “Ternyata kau berat ya,” ledeknya.
Mereka langsung keluar dari ruangan itu. Namun sebelum pergi mereka mengunci penjara mereka agar dapat memberikan kejutan kapada siapapun yang memasuki ruangan itu. Sebelum benar-benar meninggalkan penjara itu, Roft memilih untuk memasuki ruangan penjara lain untuk mencari tahanan yang masih hidup. Namun nihil, tidak ada satupun yang masih memiliki nyawa. Mereka telah menjadi tulang. Yang mereka tinggalkan hanyalah pakaian dan senjata mereka. Roft tidak menyia-nyiakannya. Ia mengambil semua benda yang bisa dimanfaatkan. Dan akhirnya ia mendapatkan dua buah pedang dan beberapa belati. Tidak hanya itu ia juga menemukan beberapa jubah yang cukup untuk mereka gunakan agar telindungi dari hujan dan cahaya matahari.
 “Tidak ada yang masih hidup, tapi aku menemukan ini, aku harap kalian bisa menggunakannya,” tuturnya sambil menyerahkan barang temuannya.
“Aku rasa ini lebih dari cukup,” sahut Vlow mamasang jubahnya dan mengambil sebuah belati.
Setelah semuanya telah siap, Roft memimpin mereka untuk keluar dari penjara tanpa cahaya itu. Dengan pelan, Roft mendorong pintu penjara tanpa cahaya dan mengintip dari balik pintu. Tampak bayangan sosok bertubuh besar tergambar di dinding lorong datang mendekat. Sontak Roft memerintahkan yang lain untuk menepi ke dinding. Beberapa saat kemudian cahaya api tampak merambas masuk melalui pintu. Pintu didorong dan terbuka lebar. Dengan wajah sangar, sesosok Ogre masuk bersama obornya. Ia tampak tidak mempedulikan pintu yang terkunci. Setelah beberapa langkah, baru ia menyadari bahwa pintu itu tidak terkunci. Tepat saat ia menoleh ke belakang, sebuah belati melayang ke arahnya dan langsung menancap di lehernya. Ogre itupun mati dan menghilang.
“Wow, dimana kau belajar menggunakannya?” tanya Gerald takjub dengan kemampuang Vlow.
“Entahlah, terjadi begitu saja,” jawabnya angkat bahu.
“Sepertinya kita memiliki seseorang yang bisa memegang senjata,” puji Roft, “Mungkin kau bisa memegang ini semua,” tambahnya menyerahkan beberapa belati bersama ikat pinggangnya.
“Terima kasih,” sahut Vlow sambil memasang ikat pinggang itu di pinggangnya.
“Waktunya keluar dari temapt terkutuk ini,” tutur Roft menuntun mereka melewati pintu penjara.
Mereka melangkah dengan berlari-lari kecil namun tetap menahan langkah agar tidak menimbulkan suara gaduh. Sepanjang perjalanan di lorong itu, mereka tidak menemukan satupun jendela. Namun mereka tetap mengikuti Roft walupun tidak tahu mereka dibawa kemana.
“Apakah sekarang ini kita berada di penjara bawah tanah?” tanya Austin melihat sekeliling.
“Tidak, kita ada di sebuah menara. Tapi aku tidak tahu kita berada di tingkat ke berapa. Kabarnya menara ini sangat tinggi dan membingungkan. Dan sisi positifnya menara ini terpisah dari kastil Dhomnail walau tidak begitu jauh,” jawab Roft menuruni anak tangga.
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati karena anak tangganya yang kecil dan sedikit licin. Satu kesalahan langkah saja bisa membuat semuanya terjatuh. Tangga itu cukup jauh mereka turuni. Tak jarang mereka bertemu dengan beberapa Ogre. Dan mereka berhasil menjatuhkannya. Setelah tiga jam menuruni anak tangga, mereka tidak kunjung sampai di dasar menara. Namun ada satu yang membuat mereka lega, mereka bisa menemukan jendela dan dapat menghirup udara segar.  Tampak di luar sudah berubah gelap.
“Ayo, kita sudah semakin dekat,” ajak Roft kembali menuruni tangga.
Semakin ke bawah, mereka semakin sering menemukan jendela. Dan semakin sering pula mereka menemukan Ogre. Saat sampai di dasar menara, mereka menemukan sebuah ruangan dan terdengar percakapan yang tidak ingin mereka dengar dari ruangan itu.
“Sepertinya kita harus menyelesaikan mereka dulu,” tutur Roft, “Maaf, membuatmu menunggu Vav,” tambahnya sambil mengeluarkan tiga batang anak panah dan memasangkannya ke busur, “Sepertinya mereka hanya ada 10 Ogre,”tambahnya menempelkan terlinganya ke dinding.
“Hanya 10? Apakah itu sedikit untukmu?” tanya Vlow heran.
 “Aku dulu pernah melawan lebih banyak Ogre daripada ini,” Roft tertawa kecil, “Kalian tunggu disini! Vlow kau ikut aku, aku membutuhkan belatimu,” perintahnya sembari menendang pintu.
Sontak Ogre yang ada di ruangan itu kaget dan mengambil senjata mereka. Namun mereka kalah cepat dari Roft, ia langsung menarik tali busurnya dan melepaskan tiga anak panah. Anak panah itu menancap tepat di tubuh Ogre-Ogre dan mereka mati seperti asap. Ogre yang masih hidup berlari mendekati Roft dan melambaikan kapak mereka. Roft langsung mengambil pedangnya dan menangkis kapak yang di ayunkan ke arahnya dan langsung menebas leher Ogre itu. Sementara itu Vlow hanya memperhatikan dengan wajah yang pucat dan ketakutan.
“Aku membutuhkan belatimu itu artinya aku membutuhkanmu untuk melawan Ogre-ogre ini. Bukan untuk menonton dan ketakutan,” ujar Roft kembali menebas Ogre yang menyerangnya.
“Maafkan aku,” sahut Vlow mengambil belatinya dan memperhatikan Ogre yang datang mendekat. Saat merasa yakin dan menghilangkan rasa takutnya Vlow melemparkan belatinya dan menancap di leher Ogre itu. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia kembali melempari belatinya dengan anggun. Kali ini tidak ada sedikitpun rasa takut di hatinya. Yang ada hanya pikiran bahwa ia harus menyelamatkan teman-temannya yang menunggu di luar. Saat Vlow akan mengakhiri musuhnya yang terakhir ia terjatuh karena sebuah batang kayu menggelinding dengan cepat kearahnya. Kayu itu tepat mengenai mata kakinya. Vlow terjatuh dan merintih kesakitan. Sontak Roft yang melihat Vlow tumbang melepaskan anak panahnya.
“Gerald!” panggil pria itu sambil menghunuskan pedangnya dan menangkis serangan Ogre, “ Vlow terluka!” soraknya lagi karena Gerald tidak kunjung datang.
Beberapa detik kemudian, Gerald datang dengan wajah yang sangat cemas. Ia melihat sekeliling dan mendapati Vlow merintih kesakitan di tepi dinding. Keringat dingin menguncur dari pelipisnya. Air mata juga ikut bercampur menetes di pipinya. Sedangkan tangannya sibuk mengurut-ngurut kakinya yang memar. Tanpa sepengetahuan gadis itu sesosok Ogre datang mendekatinya sambil mengangkat kapaknya. Gerald yang melihat situasi itu langsung menmperhatikan sekeliling dan menemukan sebuah kapak di sampingnya. Ia langsung mengambil kapak itu dan berlari sambil berteriak ke arah Ogre yang telah berdiri di depan Vlow. Walaupun ia tidak tahu bagaimana cara menggunakan kapak dengan baik namun Gerald langsung melambaikan kapak di tangannya ke punggung Ogre itu dan Ogre itupun mati.
“Kerja bagus Gerald,” puji Roft yang masih melawan dua Ogre.
Sesaat Gerald hanya bisa melihat asap yang mengepul di dekatnya. Ia masih terkejut dan tidak percaya bahwa ia telah membunuh musuh. Dengan gemetar Ia melepaskan kapak di tangannya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Gerald khawatir sambil berjongkok di depan Vlow.
“Aku baik-baik saja,” sahut Vlow dengan seluruh kegengsiannya.
“Tidak usah sombong,” celetuk Gerald, “Aku akan membawamu keluar,” tambahnya sambil meletakkan tangan kanan Vlow ke pundaknya dan menggendong tubuhnya keluar.
“Sebentar lagi aku akan selesai,” sorak Roft ketika Gerald membawa tubuh Vlow keluar ruangan itu.
Setiba di luar, Gerald meletakkan Vlow di atas lantai dengan lembut dan menjaga agar kaki kanan gadis itu tidak tersentuh. Vlow masih menahan rasa sakit di kakinya. Tidak jarang air mata keluar dari ujung matanya.
“Tenang, kau pernah mengalami hal yang lebih parah dari ini. Kau bisa melewatinya,” celetuk Gerald menyeka air mata Vlow.
Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Disaat bersamaan Gerald merasakan ada angin lembut yang manyapu wajah anggun Vlow dan ia mulai merasakan gejolak aneh di hatinya. Jantungnya berdegup kencang dan ia dapat merasakan kalau mukanya merah padam.
“Kau hebat Vlow. Aku iri padamu,” ujar sebuah suara wanita dengan lemah.
“Hebat apanya?” tanya Vlow tertawa lirih sambil menyeka air matanya.
“Kau bisa bertarung melawan Ogre-ogre itu, padahal kau baru saja menyentuh belati itu,” sahut Austin duduk di sebelah Vav.
“Tenang, aku hanya bisa membunuh dua Ogre, sedangkan Roft lebih banyak dari itu,” bantah Vlow mengurut pergelangan kakinya yang masih sakit.
Mereka diam di tempat mereka masing-masing, menunggu kehadiran Roft dengan cemas. Dari dalam ruangan masih terdengar suara pedang yang saling beradu dan tidak jarang terdengar suara rintihan. Suasana hening, tampaknya tidak terjadi lagi pertarungan di dalam ruangan. Dengan peluh yang menetes dari kening, mereka merapat ke dinding di samping pintu, berusaha untuk bersembunyi. Mereka khawatir karena suara Roft tidak terdengar lagi. Apakah ia menang atau kalah? Jawabannya akan mereka dapatkan ketika bayangan tergambar di dinding dan melihat siapa yang keluar dari ruangan itu.
Saat yang mereka tunggu-tunggupun datang. Sebuah bayangan tergambar di dinding. Tidak begitu jelas apakah itu pria bertubuh besar atau pria bertubuh kecil. Bayangan itu semakin dekat. Jantung mereka berdebar-debar menunggu sosok yang akan muncul.
“Apa kalian menunggu kedatangan Ogre yang lebih banyak lagi? Kalau boleh jujur aku tidak sanggup lagi melawan mereka,” tutur Roft melelehkan ketakutan empat remaja yang pergi bersamanya.
“Tentu saja tidak!” sanggah Gerald segera.
“Kalau begitu kita harus berangkat sekarang!” perintah Roft melangkahkan kakinya menjauhi pintu ruangan.
“Sepertinya aku akan berjalan mulai dari sini,” ujar Vav saat Austin kembali menyodorkan punggungnya.
“Apa kau yakin?”
“Ya, lebih baik istirahatkan punggungmu terlebih dahulu,” sahut Vav tersenyum manis.
Mereka langsung mengikuti Roft yang tampak membuka pintu menara yang tebal. Gerald langsung meyerahkan punggugnnya kepada Vlow dan Vlow menerimanya. Saat pintu terbuka, Roft mengambil sebuah obor yang tergantung di sampingnya, “Apa kau baik-baik saja tanpa obor ini?” tanya Roft kepada Vav yang tampak bugar.
Setelah mendapatkan anggukan dari Vav, Roft mematikan obor yang ada di tangannya dan mengeluarkan kepalanya dari pintu. Melihat situasi. Ke kiri-kanan. Di arah jam 9 tampak kastil Dhomanail yang gelap berdiam diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saat ia merasa situasi telah aman Roft mengeluarkan perintah kepada mereka untuk keluar.
“Belok ke kanan!” perintah Roft saat semuanya telah sampai di luar.
Sesuai perintah pria itu mereka membelok ke kanan. Mengendap-ngendap seperti seekor tikus yang melarikan diri dari kejaran seekor kucing. Mereka mengikuti Roft berjalan menjajaki tanah berkerikil. Bulan menerangi langkah mereka. Angin malam melambaikan jubah mereka. Roft berjalan membelah lapangan kecil di samping menara. Berjalan menuju hutan. Perlahan tampak kastil hitam Dhomnail yang semakin tinggi jika mereka melangkah menjauh. Kastil itu lebih tinggi dan lebih gelap daripada menara tempat mereka di penjara. Tampak cahaya obor keluar dari beberapa jendela yang terbuka.
“Kita harus cepat!” perintah Roft ketika mereka sampai di dalam hutan.
Ia menuntun mereka memasuki hutan lebih dalam, menjauhi Rombopterix. Penjara bagi Elf, jika tertangkap. Mereka mempercepat langkah mereka ketika mata mereka masih bisa melihat kastil hitam itu.
“Gerald, sampai kapan kau akan mengendongku?” tanya Vlow lembut ketika kastil Dhomnail sudah tidak terlihat. Kali ini mereka berjalan cukup pelan namun tetap waspada.
Gerald yang tersadar langsung menurunkan Vlow, “Baumu seperti seekor keledai?” ledek Gerald kembali bersikap seperti semula.
“Eh...jangan sembarangan ya, kau pikir baumu seperti apa?” bentak Vlow jengkel.
“Apa pertengkaran kalian bisa ditunda dulu? Kami tidak ingin Ogre-ogre itu mendengar suara kalian dan datang menangkap kita!” lerai Austin memisahkan Gerald dan Vlow.
“Aku rasa kita sudah cukup jauh dari kastil itu. Jadi kita bisa berjalan perlahan sekarang, namun kita harus tetap waspada karena selama kita masih berada di dalam hutan ini itu sama saja kita belum melarikan diri seutuhnya. Kabarnya ada banyak mata-mata Dhomnail di hutan ini,” tutur Roft melihat ke sekeliling hutan yang gelap.
Mereka menuruti saran Roft. Sambil mempertajam telinga, mereka berjalan dalam diam. Takut jika mata-mata yang dimaksud Roft mendengar apa yang mereka katakan. Walaupun mereka tidak tahu bagaimana rupa dari mata-mata itu. Mereka menebak bahwa mata-mata itu pasti lebih jeli dan kejam daripada Ogre yang baru saja mereka lawan.
“Roft, hutan ini sangat gelap, sepertinya aku tidak begitu kuat. Apa kita bisa menggunakan obor yang ada di tanganmu itu?” tanya Vav sambil menopang tubuhnya pada sebuah pohon.
“Aku bisa saja menghidupkannya tapi Dhomnail itu sangat sensitive terhadap api. Ia bisa merasakan kehadiran api di dekatnya,” jawab Roft menyibakkan semak yang ada di dekatnya sibuk mencari sesuatu.
“Tapi aku tidak mau lagi merepotkan yang lain,” sahut Vav menduduki sebuah akar yang mencuat dari permukaan tanah.
“Tunggu sebentar, biasanya di hutan seperti ini ada tumbuhan Crosoft,” tutur Roft masih menyibak-nyibakkan semak.
“Apa hubungannya?” tanya Gerald bingung.
“Awalnya hutan ini adalah hutan yang mendapatkan cukup cahaya di siang maupun malam hari. Dan bunga Crosoft hidup bersama cahaya. Namun setiap tahunnya pohon-pohon semakin rindang dan rapat sehingga menghambat cahaya matahari dan cahaya bulan untuk masuk. Pada akhirnya bunga itu beradaptasi dengan lingkungan agar mereka dapat bertahan hidup. Mereka tumbuh di tempat tergelap dari hutan dan akar-akar mereka mencari cahaya yang dapat mereka serap. Karena selalu menyerap cahaya akhirnya kelopak bunga mereka mengeluarkan cahaya yang hanya dapat terlihat di malam hari,” ujar Roft panjang lebar, “Ini dia!”
Roft meminjam belati yang ada pada Vlow, membuka semak yang menutupi Crosoft dan menggali tanah tempat tumbuhnya bunga cahaya itu.
“Jika kau ingin mengambilnya, kau harus mencabut sampai ke akarnya agar cahayanya tidak redup,” tambah Roft mengangkat setangkai Crosoft. Tampak kelopak bunga itu berwarna putih dan memancarkan cahaya. Cahayanya memang tidak begitu terang tapi cukup untuk menyegarkan Vav. Roft meminta Vav untuk memegangnya agar ia tidak merasa lemah lagi karena tidak melihat cahaya.
Perjalanan mereka berlanjut menuju matahari terbit karena disana ada pemukiman terdekat dengan Rombopterix. Sepanjang perjalanan mereka tidak melakukan istirahat sama sekali karena mereka ingin segera keluar dari hutan gelap itu. Roft selalu menyemangati mereka dengan mengatakan mereka akan segera keluar, walaupun ia juga sudah mulai letih dan hilang harapan.
Vlow yang dari tadi menahan rasa sakit di kakinya tidak kuasa lagi. Kakinya yang membengkak karena tetap dipaksakan untuk berjalan tidak sanggup lagi menopang tubuhnya yang terasa amat berat dan akhirnya terjatuh dan mengenai tubuh Gerald.
“Vlow, kau harus memperhatikan langkahmu!” bentak Gerald.
“Kau ini kenapa sih, marah-marah terus. Lihat keadaan orang dong, kakiku masih sakit,” lawan Vlow.
“Salah kau sendiri, kenapa kau memintaku untuk menurunkanmu, kau mau pamer ya!” tuduh Gerald.
“Heh, jaga lidahmu ya!” bentak Vlow jengkel.
Mendengar pertengkaran di belakang mereka, Roft, Austin dan Vav langsung berbalik. Tampak Gerald bertengkar dengan Vlow. Vlow berusaha menahan emosinya sambil mengurut-ngurut pergelangan kakinya.
“Vlow, kakimu masih sakit ya?” tanya Vav cemas.
“Sedikit, tidak usah dihiraukan,” sanggah Vlow berusaha bangkit.
“Tidak dihiraukan bagaimana, berdiri saja kau tidak bisa. Coba aku lihat,” perintah Roft.
Dengan hati-hati Roft membuka sepatu dan kaus kaki Vlow. Begitu terbuka tampak pergelangan kakinya membengkak dan merah, “Wah, ini mah bisa dipotong,” ujar Roft menakut-nakuti. “Tapi bisa diatasi kalau kau jangan banyak bergerak dulu, “
“Tapi kalau berhenti disini, bisa-bisa kita terkejar dan ditangkap lagi,” tangkis Vlow.
“Apa gunanya laki-laki disini kalau tidak untuk menggendongmu,” ujar Austin, “Gerald, kau gendong Vlow, aku tidak bisa, punggungku masih harus istirahat. Waspada jika Vav jatuh lagi,
“Ah, selalu aku yang dapat peran buruk,” gerutu Gerald. “Tapi ini karena aku laki-laki ya, kau jangan berpikiran yang tidak-tidak,”
“Terima kasih Gerald, kau memang Laki-laki baik,” rayu Vlow dengan terpaksa.
Tengah malam telah berlalu. Langit barat mulai berubah warna menjadi biru, itu menandakan subuh akan menjemput mereka. Langkah mereka pelan sekarang, kerena kaki mereka sudah sangat letih dan kebas. Hewan-hewan mulai menampakkan diri mereka. Kelelawar tampak terbang menjauhi cahaya. Bersembunyi di dalam gua untuk beristirahat.
“Ayo! Matahari sudah mulai muncul dan bibir hutan semakin dekat,” tutur Roft kembali bersemangat setelah melihat secercah harapan di depan matanya.
“Tapi di sini masih gelap Roft,” bantah Gerald membetulkan posisi Vlow di punggungnya.
“Itu benar. Tapi kelopak bunga Crosoft sudah mulai redup, itu artinya matahari mulai menampakkan diri,” jawab Roft mempercepat langkahnya.
Mendengar penuturan Elf yang telah menyelamatkan nyawa mereka dari penjara tanpa cahaya Dhomnail, mereka mulai bersemangat kembali dan langkah mereka semakin cepat mengikuti langkah Roft. Saat bibir hutan semakin terlihat tanpa terasa kaki mereka melangkah semakin cepat seolah ada tumpukan harta yang menunggu mereka di luar sana. Bahkan mereka hampir setengah berlari karena begitu senangnya. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Mereka memikirkan udara segar dan cahaya pagi yang akan menyambut mereka. Dedaunan hijau yang menunggu untuk dilihat dan langit cerah yang akan menyegarkan mata mereka.
Semua itu hilang ketika mereka sampai di luar hutan. Benar, mereka dapat menghirup udara segar dan merasakan bagaimana hangatnya matahari pagi di kulit mereka. Mereka juga dapat melihat dedaunan hijau yang menari mengikuti arah angin bertiup. Namun semua itu terhalangi oleh puluhan benda runcing yang mengarah ke wajah mereka. Dalam sekejap mereka telah di kepung puluhan orang yang duduk di punggung kuda masing-masing. Di tubuh mereka menempel baju besi yang cukup tebal dan kepala mereka memakai sebuah helem yang hampir menutupi sebagian wajah mereka.
“Sepertinya kita disambut baik di negeri ini, teman-teman,” tutur Roft menyentuh pedangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar