Ayo Keluar dari Tempat Ini
Setelah mengikat mereka semua, kedua orang itu
(sebenarnya mereka adalah Ogre) membawa mereka keluar hutan dan mendaki sebuah bukit. Kemudian kembali menuruninya dan
menyeberangi sungai Cecris. Mereka berjalan tanpa istirahat. Seolah mereka akan
dibunuh jika mereka datang terlambat. Setibanya di Rombobterix setelah menempuh dua
hari perjalanan mereka memperlihatkan
temuan mereka kepada Sang Pemimpin,
Dhomnail. Ia sangat terkejut
dan senang dengan temuan anak buahnya. Karena mereka berhasil menemukan
keturunan De Vlacoure yang bisa menggagalkan rencana penghancuran De Vlacoure.
“Aku rasa tawanan penjara kita membutuhkan beberapa
teman,” ujar Dhomnail memerintahkan kaki tangannya untuk membawa keturunan De
Vlacoure ke dalam penjara bawah tanah, “Kita akan berpesta malam ini,” sorak Dhomnail menyenangi anak buahnya. Rombobterix bergemuruh
senang mendengar berita itu.
Sementara itu Austin, Gerald, Vlow, dan Vav masih tidak sadarkan diri di panjara menara akibat pukulan yang diberikan Ogre, hingga
setetes air dingin membasahi pipi Vlow. Vlow tersadar dan
berusaha untuk menyesuaikan penglihatannya di ruangan gelap itu. Tidak ada yang
dapat ia lihat kecuali ruangan hampa yang gelap. Namun Vlow beruntung karena
dia adalah Elf yang dapat melihat di dalam gelap. Saat matanya mampu
beradaptasi, ia dapat melihat teman-temannya terkujur lemah di dekatnya dan
sesosok tubuh kurus terikat lemas di sudut ruangan.
Vlow berusaha mengeluarkan suaranya untuk memanggil
teman-temannya yang diam tak bergerak. Namun nihil, suaranya tidak bisa keluar
karena mulutnya di tutup dengan kain. Saat Vlow ingin menggerakkan tangannya untuk
membuka penutup mulutnya, kedua tangannya tidak bisa berbuat apa-apa karena
terikat di balik tubuhnya. Vlow berteriak karena kesal dengan nasibnya tapi
suaranya tertahan kain yang menutupi mulutnya. Vlow berusaha untuk bangkit dari
tidurnya, tahu ia tidak bisa bergerak karena tangan dan kakinya terikat dengan tali
Vlow memfokuskan matanya melihat ke seluruh ruangan untuk mencari benda yang
dapat memutus tali yang mengikat tangan dan kakinya. Dengan teliti Vlow
memperhatikan ruangan itu dan akhirnya
ia menemukan sesuatu yang mangkilat di sudut ruangan. Dengan susah payah Vlow menyeret tubuhnya ke sudut ruangan untuk
mengambil benda itu. Begitu sampai Vlow berusaha meraihnya, begitu ia berhasil meraih benda yang ternyata
kapak yang telah berkarat itu, ia langsung memotong tali yang mengikat tangannya. Setelah
tali itu berhasil terlepas dari pergelangan tangannya,
Vlow mengurut-ngurut tangannya yang terasa sakit. Ia merasakan cairan hangat
keluar dari pegelangan tangannya. Begitu ia melihatnya tampak pergelangan
tangan kirinya sedikit tersayat dan mengeluarkan darah segar. Vlow tidak menghiraukannya
dan beralih membuka mulutnya.
“Guys, bangun,” bisik Vlow sambil membuka tali yang
mengikat kakinya.
Namun teman-temannya tetap saja diam tak bergerak.
“Ayolah, sudah waktunya kalian untuk bangun,” tambah
Vlow merangkak kearah Austin yang tergeletak tidak jauh darinya dan membukakan
tali yang mengikat tangan pemuda itu.
Perlahan Austin membuka matanya dan terkejut saat Vlow
menyentuh tangannya, “Dimana ini?”
tanya Austin seraya bangkit.
“Entahlah, begitu tersadar kita sudah berada disini,” jawab Vlow merangkak ke tempat Vav. “Bantu yang lain.”
“Mungkin ini markas mereka. Waktu itu aku melihat kalian pingsan dan
tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang dan samar-samar aku melihat dua orang itu
mangikatku,” sahut Austin membangunkan
Gerald.
“Sepertinya kalian akan membunuhku,” tutur Gerald
bangkit dan membuka penutup mulutnya, “Gelap sekali.”
“Kenapa?” tanya Vlow membantu Vav membukakan tali
pengikat.
“Karena aku telah membawa kalian ke gerbang kematian,”
jawabnya.
“Sudahlah, lagipula kita belum mati. Kita masih hidup,
jadi peluang hidupmu juga masih ada,” sahut Austin bangkit.
“Bagus, aku tidak bisa melihat apa-apa disini,” keluh
Vav bangkit dari tidurnya namun ia terjatuh kembali.
“Kau baik-baik saja?” tanya Vlow membantunya bangkit.
“Entahlah Vlow. Mungkin aku memiliki penyakit yang
cukup aneh. Setiap kali aku berada di ruangan yang tidak ada cahayanya sama
sekali dalam waktu yang sangat lama tubuhku akan melemah dan dadaku menjadi
sesak,” tutur Vav dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kalau begitu lebih baik kau beristirahat. Biar kami
yang mencari jalan keluar,” saran Vlow membelai lembut kening Vav.
“Kalau kau masih sesak nafas, cobalah untuk tidur,”
tambah Austin yang juga mencemaskan Vav.
“Terima kasih,” tutur Vav lemah.
“Lalu, apa yang kita lakukakan selanjutnya? Kita tidak bisa membiarkan Vav seperti ini,” ujar
Gerald melihat sekeliling ruangan dan mendapati sesosok tubuh yang lemah di
sudut ruangan.
“Sebaiknya
sekarang kita mencari jalan keluar. Aku
tidak betah berada disini,” sahut Austin bangkit dari duduknya dan mengelilingi
ruangan gelap itu.
Mereka mencari-cari di dalam gelap jalan untuk keluar. Pintu ruagan itu terkunci rapat dengan gembok.
Dinding ruangan itu terbuat dari batu yang amat tebal dan tidak dapat di tembus
sama sekali. Dengan kesal Austin meninju dinding yang terbuat dari batu tebal
itu.
“Ayolah, pasti ada celah di ruangan ini,” soraknya
kesal.
“Percuma jika kalian berkeliling disini dan
berteriak!” ujar sebuah suara lemah, “Tidak ada jalan selain pintu itu,” tambahnya,
“Dan teman kalian harus segera mendapatkan cahaya. Kalau tidak lambat laut dia
akan mati.”
“Lalu apa yang
harus kami lakukan?” tanya Vlow menghampiri sumber suara, yang ternyata sesosok
Elf lemah yang duduk di sudut ruangan.
“Kalian harus menunggu Ogre itu datang,” sahutnya
mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk. Tampaklah wajahnya yang kurus
namun tidak selemah yang terlihat. Janggut dan kumis menutupi hampir sebagian
wajahnya yang tidak terurus dengan baik. Rambutnya yang panjang terurai di
pundaknya. Tampaknya ia tidak pernah bercukur selama berbulan-bulan.
“Tapi, Vav sudah semakin lemah. Kami tidak bisa
menunggu,” bantah Gerald masih mencari jalan keluar.
“Hanya itu jalan satu-satunya,” sahut pria itu, “Tapi,
aku bisa menolong teman kalian. Seingatku Elf seperti teman kalian ini tidak
bisa hidup tanpa cahaya. Jadi yang dia butuhkan adalah cahaya,” tambahnya.
“Dimana kami bisa menemukan cahaya?” tanya Austin
segera.
“Ada sebuah lubang yang berhasil aku buat selama berbulan-bulan
disini tapi sepertinya tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan ini. Namun
setidaknya bisa membuat nafas teman kalian kembali normal dan menjadi kuat
kembali,” jawabnya bangkit dari tempatnya. Ketika ia bangkit, tampak ia
mengenakan baju besi lengkap dengan pedang di pinggangnya. Mungkin ia adalah
prajurit yang tertangkap dan di tawan disana.
“Dimana itu?” tanya Austin.
“Disini,” jawab pria itu berjalan ke sudut ruangan
yang lain dan menarik sebuah kayu besar ke sisi lain. Ketika kayu besar itu
telah berpindah tempat, tampak sebuah lubang berdiameter enam centimeter
tertempel di dinding.
“Aku rasa itu cukup,” tutur Vav lemah seraya bengkit.
“Baiklah, waktunya untuk berpindah tempat,” kata
Austin, “Maafkan aku Vav,” tambahnya sambil memapah tubuh Vav yang melemah.
Begitu sampai di depan lubang itu Austin membantu gadis
itu untuk duduk di samping lubang. Vav segera menghirup udara yang masuk dari
lubang itu dan manatap cahaya yang masuk seperti seseorang yang melihat kenangan
manis.
“Thank’s Austin,” ujarnya dengan nafas yang kembali
normal.
“Ya, sama-sama,” sahut Austin tersenyum, “Terima
kasih,” ucap Austin menoleh ke arah pria yang telah membuat lubang itu.
“Ya, aku juga berterima kasih karena kalian datang
menemaniku,” sahutnya sambil tertawa renyah. Yang lainpun ikut tertawa seolah
melupakan hal yang menimpa mereka.
“Kita belum kenalan, aku Roft. Dan kalian?” tanya pria
itu.
“Aku Austin,”
“Gerald,”
“I am Vlow. Dan gadis itu Vav,”
“Jika aku melihat pakaian yang kalian kenakan,
sepertinya kalian bukan berasal dari dunia ini,” tutur Roft duduk bersandar di
dinding.
“Kami bisa saja mengatakan berasal dari mana, tapi
kami tidak tahu kau kawan atau lawan,” ujar Austin waspada.
“Kalau begitu, aku ingin bertanya siapa yang kalian
ketahui di De vlacoure ini?” tanyanya.
Mereka diam sesaat, “Lord Armus dan Lord Coloneir,”
jawab Gerald.
“Apa kalian mengenal mereka dengan baik?” tanya Roft
lagi.
“Ya, mereka adalah leluhur kami,” jawab Gerald.
“Jika aku tidak salah duga, kalian adalah keturunan
mereka dari dunia manusia?” tanya Roft mulai bersemangat.
“Ya, bisa di katakan seperti itu,” ujar Austin menoleh
ke arah Vav yang mulai bugar kembali.
“Berarti kalian adalah empat keturunan yang selama ini
De Vlacoure tunggu-tunggu?” tanya Roft antusias.
“Semoga saja begitu,” sambut Vlow merasa senang.
“Kalau begitu kalian harus segera keluar dari sini.
Aku sangat yakin Dhomnail akan menggunakan kalian untuk mengalahkan De Vlacoure,” ucap Roft
bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu dan mengintip keluar.
“Kenapa tidak membunuh kami saja. Itu lebih baik,
bukan?” tanya Vlow.
“Itu bisa saja dia lakukan dengan mudah. Tapi jika dia
ingin melakukan itu, dia telah membunuh kalian dari kemarin ketika kalian sampai disini. Tapi dia
tidak melakukannya, karena dia pasti menggunakan kalian agar rencananya
berhasil,” bantah Roft, “Ada yang datang! Tutup lubang itu dan kembali ke
posisi semula,” perintahnya sambil berlari ke arah Vav.
Segera Austin membopoh tubuh Vav dan meletakkannya di
tengah ruangan. Setelah tubuh Vav di pindahkan, Roft menggeser kayu untuk menutupi
lubang yang telah ia buat dan bersiap di posisinya semula.
Pintu berderit, terdengar suara hentakan kaki yang
lemah dan seretan kain yang menyapu lantai. Suara itu semakin dekat dan
akhirnya berhenti di depan ruangan mereka. Tampak cahaya api merambas masuk
dari celah pintu. Terdengar suara besi yang saling beradu dan kemudian
terjatuh. Pintu berderit dan terbuka. Tampak sosok tinggi yang di selimuti kain
hitam membawa sebuah obor. Sosok itu masuk dan meletakkan obor di tempat
singgasananya di dinding. Dengan lembut sosok itu membuka tutup sebuah botol
berukuran kecil. Di dalamnya terdapat sebuah ramuan berwarna hijau. Perlahan ia
menuangkan setetes ramuan yang ada di botol itu. Begitu tetesan itu menyentuh
lantai ramuan itu berubah menjadi asap yang memenuhi ruangan. Perlahan Austin,
Gerald, Vlow, Vav dan Roft kehilangan kesadaran begitu menghirup asap hijau
itu.
Sosok itu
memperhatikan semua yang ada di ruangan itu secara bergantian. Melihat yang terlemah diantara mereka.
Dan akhirnya sosok itu memilih Vav dan langsung menghampirinya.
Sosok itu meraih
tangan kiri Vav dan memegangnya dengan tangan
kanannya. Sambil memejamkan
mata dan berkonsentrasi, sosok itu membuka dan menutup mulut, membacakan sebuah mantra. Tampak
cahaya merah keluar dari keningnya, membelit tangan kanannya dan
begitu menyentuh telapak tangan gadis itu cahaya itu membenamkan diri menjalar melalui urat-urat tangan Vav hingga ke
otaknya.
Dengan jelas banyangan-banyangan masa lalu Vav dapat
dilihat olehnya. Semua memori yang
ada di otak Vav dapat dilihatnya. Ia melihat Vav bersama teman-temannya menemukan
buku De Vlacoure dan masuk ke dalamnya. Ia juga dapat melihat ketika para Ogre
menangkapnya. Ia juga dapat mengetahui lubang yang di buat Roft tanpa
sepengetahuannya. Tidak hanya itu, ia bahkan dapat melihat kilasan masa lalu dan masa sembelum Vav lahir. Itu mungkin karena di darah gadis itu
mengalir darah Ayahnya, dan di darah Ayahnya mengalir darah leluhur mereka, akhirnya sampai dengan darah Lord
Armus.
Senyum mengambang di pipinya karena senang dapat
mengetahui keberadaan De Vlacoure. Ia langsung menghentikan mantranya begitu ia merasa cukup
dengan informasi yang ia dapat. Perlahan
darah mengalir dari hidung Vav karena otaknya yang tidak begitu kuat menahan
mantra itu. Akibat mantra itu pada
telapak tangan kirinya terbentuk jejak hitam yang suatu saat bisa saja di aktifkan
kembali oleh Dhomnail.
Selama ini, semenjak King Julion menyebutkan sebuah
mantra yang kuat dan mengakibatkan dunia De Vlacoure dan daerah di sekitarnya
leyap, tak ada yang mengetahui keberadaan De Vlacoure. Akibat
pergeseran-pergeseran pengaruh mantra yang dibacakan King Julion. Kini
Dhomnail mengetahui keberadaannya dan akan memulai rencananya. Sebelum meninggalkan penjara itu, Dhomnail
memperhatikan seluruh penjara dan akhirnya menemukan lubang yang yang di buat
oleh Roft. Ia langsung menghancurkan kayu yang menutupinya dan menutup kembali
lubang itu dengan mantranya. Begitu ruangan itu sudah tertutup kembali, ia
langsung menghilang dari penjara. Perlahan pintu penjara itu kembali tertutup
dan api obor perlahan menjadi padam.
Vlow tersadar dari tidurnya ketika seekor tikus
berlari-lari kecil di depannya. Ia tersentak ketika tikus itu memperhatikan
wajahnya. Suaranya yang cukup keras membuat yang lainnya juga ikut terbangun.
“Suara apa itu?” tanya Gerald seraya bangkit.
“Maaf, jika suaraku membangunkan kalian. Tadi ada
seekor tikus,” jawab Vlow malu.
“Sejak kapan kita tertidur?” tanya Austin meregangkan
tubuhnya.
“Mungkin sejak pintu penjara ini terbuka,” jawab Vlow
melihat sebuah obor menggantung di dinding, “Sejak kapan ada obor disini? Apa
kita punya korek api?”
“Aku tidak tahu dengan apa yang kau maksud, tapi jika
berhubungan dengan api aku bisa membuatnya,” sahut Roft bangkit dari duduknya.
Dengan sedikit sempoyongan ia berjalan menuju obor dan menjentikkan jarinya
pada sumbu obor. Dan sumbu obor itupun terbakar.
“Wow, bagaimana kau melakukannya?” tanya Vlow kagum.
“Hanya dengan satu mantra, Aip,” jawab Roft angkat
bahu.
“Apa lagi yang tidak aku ketahui dari De Vlacoure?”
tanya Vlow diiringi tawa, “Vav, apa obor ini bisa membuatmu lebih tenang?”
Vav tidak menjawab sama sekali, dia hanya terkujur
lemah di lantai.
Gadis itu yang hanya diam, Austinpun menghampirinya.
Alangkah terkejutnya ia ketika melihat darah keluar dari hidungnya, “Vav, kau
baik-baik saja?” tanyanya sambil menyeka darah yang mengalir dari hidung gadis
itu.
“Kepalaku sakit sekali,” sahutnya lemah.
“Bertahanlah Vav, kami akan membawamu keluar dari
sini,” ujar Austin membuka jaketnya dan meyelimuti Vav.
“Sepertinya Vav sudah pada batasnya. Kita harus
membawanya keluar dari sini segera,” tutur Gerald, “Tapi bagaimana caranya?”
“Pindahkan Vav ke sudut dinding ini,” ujarnya menunjuk
dinding di samping kanan pintu, “Buat saja keributan,” saran Roft memukul pintu
penjaranya.
Austin kembali menggendong Vav untuk memindahkannya ke
tempat yang dikatakan Roft. Ia tidak tahu apa tujuannya tapi ia merasa harus
melakukannya.
Vlow langsung menghampiri Vav yang masih lemah dan
merangkulnya. Sementara itu Austin dan Gerald membantu pria itu untuk membuat
keributan. Mereka memukul dan melempari
pintu.
“Untuk apa kita melakukan ini?” tanya Gerald heran,
namun tetap memukul-memukul pintu.
“Tunggu sebentar lagi dan kalian akan tahu,” sahut
Roft melempari pintu.
Beberapa saat kemudian terdengar dari luar penjara
suara hentakan kaki. Semakin lama semakin mendekat. Suara itu berhenti sejenak
ketika terdengar bunyi putaran kunci. Pintu berderit, terdengar kembali suara
hentakan kaki, sekarang makin terdengar jelas dan semakin mendekat.
“KAU MEMINTA KAMI UNTUK MENGUNDANG MEREKA?” bentak
Gerald tidak percaya.
“Tenang Gerald. Jika kau ingin mengeluarkan Vav dari
sini, kau harus melakukannya,” sahut Roft menahan bahu Gerald, “Sekarang
sembunyi di dekat mereka,” perintahnya sambil mencabut pedang yang menggantung
di pinggangnya.
Austin dan Gerald mengikuti saran dari pria itu,
mereka bergegas bersembunyi di dekat Vlow dan Vav. Roft juga ikut bersembunyi
dengan pedang yang terhunus.
“Apakah pedang itu masih tajam? Bukankah kau sudah
berada disini berbulan-bulan?,” bisik Vlow.
“Pedang ini tidak akan berkarat walau sudah berumur ratusan
tahun. Percayalah padaku,” sahut Roft sambil tertawa kecil.
Suara hentakan kaki itu terdengar semakin dekat. Suara
itu berhenti ketika sampai di pintu penjara mereka. Tampak cahaya obor
menyeruak masuk ke dalam penjara. Lagi-lagi terdengar suara gembok terbuka dan
pintupun berderit. Ketika pintu telah terbuka lebar, tampak sesosok Ogre masuk
ke dalam penjara dengan obor di tangannya.
“AKAN KU POTONG TANGAN KALIAN JIKA MASIH TERDENGAR
KERIBUTAN DISINI!” bentaknya. Suaranya yang besar dan berat bergema di seluruh
ruangan. Namun alangkah terkejutnya ia ketika tidak ada satu orangpun tawanan
di ruangan itu.
“Semoga kapakmu lebih tajam dari besi berkarat,” sahut
Roft seraya bangkit.
Saat Ogre itu menoleh kearahnya, ia langsung
melambaikan pedangnya ke tangan Ogre itu dan obor yang di pegangnya terlepas.
Ogre itu segera mengambil kapaknya dan melambaikannya.
Namun, Roft lebih tangkas darinya, ia langsung menangkisnya dan mengiris perut
lawannya. Lawannya merintih kesakitan. Namun itu tidak membuatnya kasihan, pria
itu malah semakin bersemangat dan langsung menikamkan pedangnya di perut
lawannya.
“Senang rasanya menghunuskan pedang kepada musuh,”
tuturnya sambil mencabut pedangnya dari tubuh Ogre yang memiliki tubuh dua kali
lebih besar darinya.
Beberapa detik setelah pedang di cabut dari tubuhnya,
Ogre itu lenyap bagaikan debu yang di hembus angin, hilang tak berbekas.
“Bagaimana mungkin?” tanya Gerald dengan mata
terbelalak melihat musuhnya hilang begitu saja.
Roft memasukkann pedangnya ke dalam sarang yang
tergantung indah di pinggangnya, “Itu cerita yang panjang. Tidak ada waktu
untuk menjelaskannya. Sekarang kita harus membawa Vav keluar dari sini,”
jawabnya sambil mengambil obor yang tergeletak di atas lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, Austin langsung menyerahkan
punggungnya kepada Vav, “Aku akan menggendongmu,”
“Terima kasih,” sahut Vav lemah.
Vlowpun membantu Vav menggerakkan tubuhnya. Ketika Vav
telah merasa nyaman, Austin langsung bangkit, “Ternyata kau berat ya,”
ledeknya.
Mereka langsung keluar dari ruangan itu. Namun sebelum
pergi mereka mengunci penjara mereka agar dapat memberikan kejutan kapada
siapapun yang memasuki ruangan itu. Sebelum benar-benar meninggalkan penjara
itu, Roft memilih untuk memasuki ruangan penjara lain untuk mencari tahanan
yang masih hidup. Namun nihil, tidak ada satupun yang masih memiliki nyawa.
Mereka telah menjadi tulang. Yang mereka tinggalkan hanyalah pakaian dan senjata
mereka. Roft tidak menyia-nyiakannya. Ia mengambil semua benda yang bisa dimanfaatkan.
Dan akhirnya ia mendapatkan dua buah pedang dan beberapa belati. Tidak hanya
itu ia juga menemukan beberapa jubah yang cukup untuk mereka gunakan agar
telindungi dari hujan dan cahaya matahari.
“Tidak ada yang
masih hidup, tapi aku menemukan ini, aku harap kalian bisa menggunakannya,”
tuturnya sambil menyerahkan barang temuannya.
“Aku rasa ini lebih dari cukup,” sahut Vlow mamasang
jubahnya dan mengambil sebuah belati.
Setelah semuanya telah siap, Roft memimpin mereka
untuk keluar dari penjara tanpa cahaya itu. Dengan pelan, Roft mendorong pintu
penjara tanpa cahaya dan mengintip dari balik pintu. Tampak bayangan sosok
bertubuh besar tergambar di dinding lorong datang mendekat. Sontak Roft
memerintahkan yang lain untuk menepi ke dinding. Beberapa saat kemudian cahaya
api tampak merambas masuk melalui pintu. Pintu didorong dan terbuka lebar.
Dengan wajah sangar, sesosok Ogre masuk bersama obornya. Ia tampak tidak
mempedulikan pintu yang terkunci. Setelah beberapa langkah, baru ia menyadari
bahwa pintu itu tidak terkunci. Tepat saat ia menoleh ke belakang, sebuah
belati melayang ke arahnya dan langsung menancap di lehernya. Ogre itupun mati
dan menghilang.
“Wow, dimana kau belajar menggunakannya?” tanya Gerald
takjub dengan kemampuang Vlow.
“Entahlah, terjadi begitu saja,” jawabnya angkat bahu.
“Sepertinya kita memiliki seseorang yang bisa memegang
senjata,” puji Roft, “Mungkin kau bisa memegang ini semua,” tambahnya menyerahkan
beberapa belati bersama ikat pinggangnya.
“Terima kasih,” sahut Vlow sambil memasang ikat
pinggang itu di pinggangnya.
“Waktunya keluar dari temapt terkutuk ini,” tutur Roft
menuntun mereka melewati pintu penjara.
Mereka melangkah dengan berlari-lari kecil namun tetap
menahan langkah agar tidak menimbulkan suara gaduh. Sepanjang perjalanan di
lorong itu, mereka tidak menemukan satupun jendela. Namun mereka tetap
mengikuti Roft walupun tidak tahu mereka dibawa kemana.
“Apakah sekarang ini kita berada di penjara bawah
tanah?” tanya Austin melihat sekeliling.
“Tidak, kita ada di sebuah menara. Tapi aku tidak tahu
kita berada di tingkat ke berapa. Kabarnya menara ini sangat tinggi dan
membingungkan. Dan sisi positifnya menara ini terpisah dari kastil Dhomnail
walau tidak begitu jauh,” jawab Roft menuruni anak tangga.
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati karena anak
tangganya yang kecil dan sedikit licin. Satu kesalahan langkah saja bisa
membuat semuanya terjatuh. Tangga itu cukup jauh mereka turuni. Tak jarang
mereka bertemu dengan beberapa Ogre. Dan mereka berhasil menjatuhkannya.
Setelah tiga jam menuruni anak tangga, mereka tidak kunjung sampai di dasar menara.
Namun ada satu yang membuat mereka lega, mereka bisa menemukan jendela dan
dapat menghirup udara segar. Tampak di
luar sudah berubah gelap.
“Ayo, kita sudah semakin dekat,” ajak Roft kembali
menuruni tangga.
Semakin ke bawah, mereka semakin sering menemukan
jendela. Dan semakin sering pula mereka menemukan Ogre. Saat sampai di dasar
menara, mereka menemukan sebuah ruangan dan terdengar percakapan yang tidak
ingin mereka dengar dari ruangan itu.
“Sepertinya kita harus menyelesaikan mereka dulu,”
tutur Roft, “Maaf, membuatmu menunggu Vav,” tambahnya sambil mengeluarkan tiga
batang anak panah dan memasangkannya ke busur, “Sepertinya mereka hanya ada 10
Ogre,”tambahnya menempelkan terlinganya ke dinding.
“Hanya 10? Apakah itu sedikit untukmu?” tanya Vlow
heran.
“Aku dulu
pernah melawan lebih banyak Ogre daripada ini,” Roft tertawa kecil, “Kalian
tunggu disini! Vlow kau ikut aku, aku membutuhkan belatimu,” perintahnya
sembari menendang pintu.
Sontak Ogre yang ada di ruangan itu kaget dan
mengambil senjata mereka. Namun mereka kalah cepat dari Roft, ia langsung
menarik tali busurnya dan melepaskan tiga anak panah. Anak panah itu menancap
tepat di tubuh Ogre-Ogre dan mereka mati seperti asap. Ogre yang masih hidup
berlari mendekati Roft dan melambaikan kapak mereka. Roft langsung mengambil
pedangnya dan menangkis kapak yang di ayunkan ke arahnya dan langsung menebas
leher Ogre itu. Sementara itu Vlow hanya memperhatikan dengan wajah yang pucat
dan ketakutan.
“Aku membutuhkan belatimu itu artinya aku
membutuhkanmu untuk melawan Ogre-ogre ini. Bukan untuk menonton dan ketakutan,”
ujar Roft kembali menebas Ogre yang menyerangnya.
“Maafkan aku,” sahut Vlow mengambil belatinya dan
memperhatikan Ogre yang datang mendekat. Saat merasa yakin dan menghilangkan
rasa takutnya Vlow melemparkan belatinya dan menancap di leher Ogre itu. Ia
tidak berhenti sampai di situ. Ia kembali melempari belatinya dengan anggun.
Kali ini tidak ada sedikitpun rasa takut di hatinya. Yang ada hanya pikiran
bahwa ia harus menyelamatkan teman-temannya yang menunggu di luar. Saat Vlow
akan mengakhiri musuhnya yang terakhir ia terjatuh karena sebuah batang kayu
menggelinding dengan cepat kearahnya. Kayu itu tepat mengenai mata kakinya.
Vlow terjatuh dan merintih kesakitan. Sontak Roft yang melihat Vlow tumbang
melepaskan anak panahnya.
“Gerald!” panggil pria itu sambil menghunuskan
pedangnya dan menangkis serangan Ogre, “ Vlow terluka!” soraknya lagi karena
Gerald tidak kunjung datang.
Beberapa detik kemudian, Gerald datang dengan wajah
yang sangat cemas. Ia melihat sekeliling dan mendapati Vlow merintih kesakitan
di tepi dinding. Keringat dingin menguncur dari pelipisnya. Air mata juga ikut
bercampur menetes di pipinya. Sedangkan tangannya sibuk mengurut-ngurut kakinya
yang memar. Tanpa sepengetahuan gadis itu sesosok Ogre datang mendekatinya
sambil mengangkat kapaknya. Gerald yang melihat situasi itu langsung
menmperhatikan sekeliling dan menemukan sebuah kapak di sampingnya. Ia langsung
mengambil kapak itu dan berlari sambil berteriak ke arah Ogre yang telah
berdiri di depan Vlow. Walaupun ia tidak tahu bagaimana cara menggunakan kapak
dengan baik namun Gerald langsung melambaikan kapak di tangannya ke punggung
Ogre itu dan Ogre itupun mati.
“Kerja bagus Gerald,” puji Roft yang masih melawan dua
Ogre.
Sesaat Gerald hanya bisa melihat asap yang mengepul di
dekatnya. Ia masih terkejut dan tidak percaya bahwa ia telah membunuh musuh.
Dengan gemetar Ia melepaskan kapak di tangannya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Gerald khawatir sambil
berjongkok di depan Vlow.
“Aku baik-baik saja,” sahut Vlow dengan seluruh
kegengsiannya.
“Tidak usah sombong,” celetuk Gerald, “Aku akan
membawamu keluar,” tambahnya sambil meletakkan tangan kanan Vlow ke pundaknya
dan menggendong tubuhnya keluar.
“Sebentar lagi aku akan selesai,” sorak Roft ketika
Gerald membawa tubuh Vlow keluar ruangan itu.
Setiba di luar, Gerald meletakkan Vlow di atas lantai
dengan lembut dan menjaga agar kaki kanan gadis itu tidak tersentuh. Vlow masih
menahan rasa sakit di kakinya. Tidak jarang air mata keluar dari ujung matanya.
“Tenang, kau pernah mengalami hal yang lebih parah
dari ini. Kau bisa melewatinya,” celetuk Gerald menyeka air mata Vlow.
Tanpa sengaja mata
mereka bertemu. Disaat bersamaan
Gerald merasakan ada angin lembut yang manyapu wajah anggun Vlow dan ia mulai
merasakan gejolak aneh di hatinya. Jantungnya berdegup kencang dan ia dapat
merasakan kalau mukanya merah padam.
“Kau hebat Vlow. Aku iri padamu,” ujar sebuah suara
wanita dengan lemah.
“Hebat apanya?” tanya Vlow tertawa lirih sambil
menyeka air matanya.
“Kau bisa bertarung melawan Ogre-ogre itu, padahal kau
baru saja menyentuh belati itu,” sahut Austin duduk di sebelah Vav.
“Tenang, aku hanya bisa membunuh dua Ogre, sedangkan
Roft lebih banyak dari itu,” bantah Vlow mengurut pergelangan kakinya yang
masih sakit.
Mereka diam di tempat mereka masing-masing, menunggu
kehadiran Roft dengan cemas. Dari dalam ruangan masih terdengar suara pedang
yang saling beradu dan tidak jarang terdengar suara rintihan. Suasana hening,
tampaknya tidak terjadi lagi pertarungan di dalam ruangan. Dengan peluh yang menetes
dari kening, mereka merapat ke dinding di samping pintu, berusaha untuk
bersembunyi. Mereka khawatir karena suara Roft tidak terdengar lagi. Apakah ia
menang atau kalah? Jawabannya akan mereka dapatkan ketika bayangan tergambar di
dinding dan melihat siapa yang keluar dari ruangan itu.
Saat yang mereka tunggu-tunggupun datang. Sebuah
bayangan tergambar di dinding. Tidak begitu jelas apakah itu pria bertubuh
besar atau pria bertubuh kecil. Bayangan itu semakin dekat. Jantung mereka
berdebar-debar menunggu sosok yang akan muncul.
“Apa kalian menunggu kedatangan Ogre yang lebih banyak
lagi? Kalau boleh jujur aku tidak sanggup lagi melawan mereka,” tutur Roft
melelehkan ketakutan empat remaja yang pergi bersamanya.
“Tentu saja tidak!” sanggah Gerald segera.
“Kalau begitu kita harus berangkat sekarang!” perintah
Roft melangkahkan kakinya menjauhi pintu ruangan.
“Sepertinya aku akan berjalan mulai dari sini,” ujar
Vav saat Austin kembali menyodorkan punggungnya.
“Apa kau yakin?”
“Ya, lebih baik istirahatkan punggungmu terlebih
dahulu,” sahut Vav tersenyum manis.
Mereka langsung mengikuti Roft yang tampak membuka
pintu menara yang tebal. Gerald langsung meyerahkan punggugnnya kepada Vlow dan
Vlow menerimanya. Saat pintu terbuka, Roft mengambil sebuah obor yang
tergantung di sampingnya, “Apa kau baik-baik saja tanpa obor ini?” tanya Roft
kepada Vav yang tampak bugar.
Setelah mendapatkan anggukan dari Vav, Roft mematikan
obor yang ada di tangannya dan mengeluarkan kepalanya dari pintu. Melihat
situasi. Ke kiri-kanan. Di arah jam 9 tampak kastil Dhomanail yang gelap
berdiam diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saat ia merasa situasi telah
aman Roft mengeluarkan perintah kepada mereka untuk keluar.
“Belok ke kanan!” perintah Roft saat semuanya telah
sampai di luar.
Sesuai perintah pria itu mereka membelok ke kanan.
Mengendap-ngendap seperti seekor tikus yang melarikan diri dari kejaran seekor
kucing. Mereka mengikuti Roft berjalan menjajaki tanah berkerikil. Bulan
menerangi langkah mereka. Angin malam melambaikan jubah mereka. Roft berjalan
membelah lapangan kecil di samping menara. Berjalan menuju hutan. Perlahan
tampak kastil hitam Dhomnail yang semakin tinggi jika mereka melangkah menjauh.
Kastil itu lebih tinggi dan lebih gelap daripada menara tempat mereka di
penjara. Tampak cahaya obor keluar dari beberapa jendela yang terbuka.
“Kita harus cepat!” perintah Roft ketika mereka sampai
di dalam hutan.
Ia menuntun mereka memasuki hutan lebih dalam,
menjauhi Rombopterix. Penjara bagi Elf, jika tertangkap. Mereka mempercepat
langkah mereka ketika mata mereka masih bisa melihat kastil hitam itu.
“Gerald, sampai kapan kau akan mengendongku?” tanya Vlow
lembut ketika kastil Dhomnail sudah tidak terlihat. Kali ini mereka
berjalan cukup pelan namun tetap waspada.
Gerald yang tersadar langsung menurunkan Vlow, “Baumu seperti seekor keledai?” ledek Gerald kembali
bersikap seperti semula.
“Eh...jangan sembarangan ya, kau pikir baumu seperti
apa?” bentak Vlow jengkel.
“Apa pertengkaran kalian bisa ditunda dulu? Kami tidak ingin Ogre-ogre itu mendengar suara kalian dan datang
menangkap kita!” lerai Austin memisahkan Gerald dan Vlow.
“Aku rasa kita sudah cukup jauh dari kastil itu. Jadi
kita bisa berjalan perlahan sekarang, namun kita harus tetap waspada karena
selama kita masih berada di dalam hutan ini itu sama saja kita belum melarikan
diri seutuhnya. Kabarnya ada banyak mata-mata Dhomnail di hutan ini,” tutur
Roft melihat ke sekeliling hutan yang gelap.
Mereka menuruti saran Roft. Sambil mempertajam telinga,
mereka berjalan dalam diam. Takut jika mata-mata yang dimaksud Roft mendengar
apa yang mereka katakan. Walaupun mereka tidak tahu bagaimana rupa dari
mata-mata itu. Mereka menebak bahwa mata-mata itu pasti lebih jeli dan kejam
daripada Ogre yang baru saja mereka lawan.
“Roft, hutan ini sangat gelap, sepertinya aku tidak
begitu kuat. Apa kita bisa menggunakan obor yang ada di tanganmu itu?” tanya
Vav sambil menopang tubuhnya pada sebuah pohon.
“Aku bisa saja menghidupkannya tapi Dhomnail itu
sangat sensitive terhadap api. Ia bisa merasakan kehadiran api di dekatnya,”
jawab Roft menyibakkan semak yang ada di dekatnya sibuk mencari sesuatu.
“Tapi aku tidak mau lagi merepotkan yang lain,” sahut
Vav menduduki sebuah akar yang mencuat dari permukaan tanah.
“Tunggu sebentar, biasanya di hutan seperti ini ada
tumbuhan Crosoft,” tutur Roft masih menyibak-nyibakkan semak.
“Apa hubungannya?” tanya Gerald bingung.
“Awalnya hutan ini adalah hutan yang mendapatkan cukup
cahaya di siang maupun malam hari. Dan bunga Crosoft hidup bersama cahaya.
Namun setiap tahunnya pohon-pohon semakin rindang dan rapat sehingga menghambat
cahaya matahari dan cahaya bulan untuk masuk. Pada akhirnya bunga itu
beradaptasi dengan lingkungan agar mereka dapat bertahan hidup. Mereka tumbuh
di tempat tergelap dari hutan dan akar-akar mereka mencari cahaya yang dapat
mereka serap. Karena selalu menyerap cahaya akhirnya kelopak bunga mereka
mengeluarkan cahaya yang hanya dapat terlihat di malam hari,” ujar Roft panjang
lebar, “Ini dia!”
Roft meminjam belati yang ada pada Vlow, membuka semak
yang menutupi Crosoft dan menggali tanah tempat tumbuhnya bunga cahaya itu.
“Jika kau ingin mengambilnya, kau harus mencabut
sampai ke akarnya agar cahayanya tidak redup,” tambah Roft mengangkat setangkai
Crosoft. Tampak kelopak bunga itu berwarna putih dan memancarkan cahaya.
Cahayanya memang tidak begitu terang tapi cukup untuk menyegarkan Vav. Roft
meminta Vav untuk memegangnya agar ia tidak merasa lemah lagi karena tidak
melihat cahaya.
Perjalanan mereka berlanjut menuju matahari terbit
karena disana ada pemukiman terdekat dengan Rombopterix. Sepanjang perjalanan
mereka tidak melakukan istirahat sama sekali karena mereka ingin segera keluar
dari hutan gelap itu. Roft selalu menyemangati mereka dengan mengatakan mereka
akan segera keluar, walaupun ia juga sudah mulai letih dan hilang harapan.
Vlow yang dari tadi menahan rasa sakit di kakinya tidak
kuasa lagi. Kakinya yang membengkak karena tetap
dipaksakan untuk berjalan tidak
sanggup lagi menopang
tubuhnya yang terasa amat berat dan
akhirnya terjatuh dan mengenai tubuh Gerald.
“Vlow, kau harus
memperhatikan langkahmu!” bentak Gerald.
“Kau ini kenapa sih, marah-marah terus. Lihat keadaan
orang dong, kakiku masih sakit,”
lawan Vlow.
“Salah kau sendiri, kenapa
kau memintaku untuk menurunkanmu, kau
mau pamer ya!” tuduh Gerald.
“Heh, jaga lidahmu ya!” bentak Vlow jengkel.
Mendengar pertengkaran di belakang mereka, Roft, Austin
dan Vav langsung berbalik. Tampak Gerald bertengkar dengan Vlow. Vlow berusaha
menahan emosinya sambil mengurut-ngurut pergelangan kakinya.
“Vlow, kakimu masih
sakit ya?” tanya Vav cemas.
“Sedikit, tidak usah dihiraukan,” sanggah Vlow berusaha
bangkit.
“Tidak dihiraukan bagaimana, berdiri saja kau tidak bisa.
Coba aku lihat,” perintah Roft.
Dengan hati-hati Roft membuka sepatu dan kaus kaki Vlow. Begitu terbuka tampak
pergelangan kakinya membengkak dan merah, “Wah, ini mah bisa dipotong,”
ujar Roft
menakut-nakuti. “Tapi bisa diatasi kalau kau jangan banyak bergerak dulu, “
“Tapi kalau berhenti disini, bisa-bisa kita terkejar dan
ditangkap lagi,” tangkis Vlow.
“Apa gunanya laki-laki disini kalau tidak untuk menggendongmu,” ujar
Austin,
“Gerald, kau gendong Vlow, aku tidak bisa, punggungku
masih harus istirahat. Waspada jika Vav jatuh lagi,”
“Ah, selalu aku yang dapat peran buruk,” gerutu Gerald.
“Tapi ini karena aku laki-laki ya, kau jangan berpikiran yang tidak-tidak,”
“Terima kasih Gerald, kau memang Laki-laki baik,” rayu
Vlow dengan terpaksa.
Tengah malam telah berlalu. Langit barat mulai berubah warna menjadi
biru, itu menandakan subuh akan menjemput mereka. Langkah
mereka pelan sekarang, kerena kaki mereka sudah sangat letih dan kebas. Hewan-hewan mulai menampakkan diri mereka. Kelelawar
tampak terbang menjauhi cahaya. Bersembunyi di dalam gua untuk beristirahat.
“Ayo! Matahari sudah mulai muncul dan bibir hutan
semakin dekat,” tutur Roft kembali bersemangat setelah melihat secercah harapan
di depan matanya.
“Tapi di sini masih gelap Roft,” bantah Gerald
membetulkan posisi Vlow di punggungnya.
“Itu benar. Tapi kelopak bunga Crosoft sudah mulai
redup, itu artinya matahari mulai menampakkan diri,” jawab Roft mempercepat
langkahnya.
Mendengar penuturan Elf yang telah menyelamatkan nyawa
mereka dari penjara tanpa cahaya Dhomnail, mereka mulai bersemangat kembali dan
langkah mereka semakin cepat mengikuti langkah Roft. Saat bibir hutan semakin
terlihat tanpa terasa kaki mereka melangkah semakin cepat seolah ada tumpukan
harta yang menunggu mereka di luar sana. Bahkan mereka hampir setengah berlari
karena begitu senangnya. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Mereka
memikirkan udara segar dan cahaya pagi yang akan menyambut mereka. Dedaunan
hijau yang menunggu untuk dilihat dan langit cerah yang akan menyegarkan mata
mereka.
Semua itu hilang ketika mereka sampai di luar hutan.
Benar, mereka dapat menghirup udara segar dan merasakan bagaimana hangatnya
matahari pagi di kulit mereka. Mereka juga dapat melihat dedaunan hijau yang
menari mengikuti arah angin bertiup. Namun semua itu terhalangi oleh puluhan
benda runcing yang mengarah ke wajah mereka. Dalam sekejap mereka telah di
kepung puluhan orang yang duduk di punggung kuda masing-masing. Di tubuh mereka
menempel baju besi yang cukup tebal dan kepala mereka memakai sebuah helem yang
hampir menutupi sebagian wajah mereka.
“Sepertinya kita disambut baik di negeri ini,
teman-teman,” tutur Roft menyentuh pedangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar