Kamis, 09 April 2015

Suatu hari - Part I

Suatu hari di penghujung bulan maret, tiga orang sekawan tengah berada di dalam kelas. Gadis berbaju abu- abu sibuk dengan laptopnya. Gadis berbaju putih berdiri di samping gadis berbaju abu-abu. Memantau dan membimbing gadis berbaju abu-abu. Gadis berbaju hitam berjalan di antara teman-teman yang juga disibukkan dengan laptop mereka. Kemudian gadis berbaju abu-abu memanggil gadis berbaju hitam. Iapun langsung menuju gadis berbaju abu-abu dan mengikuti arah jari gadis itu. Ia meminta pendapat atas karya yang sedang ia kerjakan. Gadis berbaju hitam mengomentari dan sedikit mengarahkan.
Tiba-tiba, gadis berbaju abu-abu berbisik, “Apa kau menyukai seorang pria?”
Gadis berbaju putih menambahkan, “Kenapa kau tidak pernah bercerita? Apa kau baik-baik saja?”
Gadis berbaju hitam menjawab dengan tegas, “Tentu saja aku baik-baik saja!” gadis berbaju hitam menarik nafas, “Dulu aku pernah mengalaminya, hanya terlalu malu untuk menceritakan, karena terlalu menyedihkan.”
Gadis berbaju abu-abu memberi umpan, “Apa kau dicampakkan?”
Gadis berbaju putih menambahkan, “Apa dia bersama dengan temanmu?”
Gadis berbaju hitam membantah, “Tentu saja tidak! Tentu saja Tidak!”
Gadis berbaju abu-abu dan berbaju putih melemparkan pertanyaan, “Lalu?”
Gadis berbaju hitam memperhatikan wajah kedua temannya dan menjawab, “Baiklah, aku akan menceritakannya dengan cara yang berbeda. Pasang kuping kalian, simak dengan seksama,” kata gadis berbaju hitam, “Suatu hari di tahun 2006….”

Suatu hari di tahun 2006, seorang gadis berseragam merah putih keluar dengan gontai dari ruangan kelasnya yang dipenuhi bangku dan meja berwarna coklat. Lapangan berwarna hijau ia tapaki satu persatu dengan santai. Anak tangga di ujung lapangan ia turuni dengan hati-hati. Teman-teman yang tidak ia ketahui nama mereka dilewatinya dengan menebar senyuman sesekali. Gerobak-berobak makanan yang selalu ia hampiri hanya dilewatinya sambil menggenggam erat uang recehnya. Menahan selera demi sampai di rumah yang dipenuhi makanan lezat.
Ia menaiki sebuah mobil berwarna kuning yang selama enam tahun telah menjadi mobil antar jemputnya. Pengemudinya sangat baik. Bersedia dibayar 500 perak setiap kali ada penumpang yang turun di depan rumah mereka. Si gadis berseragam merah putih duduk disebelah kaca jendela yang terbuka. Menyaksikan kendaraan roda empat yang bukan miliknya lalu-lalang di depan bola matanya yang liar. 
Ia tertegun sejenak, saat ia melihat empat anak laki-laki berjalan melintasi persimpangan tepat di samping mobil antar-jemputnya. Mereka masih mengenakan setengah seragam sekolah mereka. Celana berwarna biru tua dan atasan yang bukan seragam sekolah. Mereka telihat seperti empat anak laki-laki yang hendak menuju sekolah kedua mereka.
Awalnya ia hanya memperhatikan empat anak laki-laki itu sebagai empat orang anak laki-laki. Hingga ia melihat seorang anak laki-laki berkacamata mengenakan baju kaus merah muda. Ia tertegun cukup lama. Anak laki-laki itu menarik perhatiannya. Tapi hanya itu. Anak laki-laki itu hanya seorang anak manusia yang memiliki wajah yang lebih rupawan dari teman-temannya. Itu saja.
Mobil antar-jemput gadis berseragam sekolah itu menyala dan maju dengan perlahan. Empat anak laki-laki itu tertinggal di belakang mobil antar-jemputnya.

Suatu hari ditahun 2007, gadis berseragam merah putih telah tumbuh menjadi gadis berseragam putih biru. Mobil antar-jemputnya tidak lagi berwarna kuning. Kini mobil antar-jemputnya berwarna-warni. Kadang merah, kadang hijau, kadang biru. Kini uang yang selalu ia genggam bukanlah receh 500, namun secarik kertas bertuliskan 1000 rupiah.
Disuatu hari yang tidak terduga, ia bertemu dengan anak laki-laki berkaca mata. Kali ini dengan seragam putih biru. Namun tetap saja menarik perhatiannya. Gadis berseragam putih biru tanpa sadar tersenyum. Bahagia mungkin. Kemudian dia kembali murung. Anak laki-laki berseragam putih biru itu satu tingkat diatasnya. Cukup jauh untuk diraih dengan bola matanya yang masih liar. Karena itu terkadang ia hanya bisa melihat punggung anak laki-laki berseragam putih biru itu saja, atau mengambil celah kecil di balik bahu temannya.
Suatu malam yang dingin, ia mengirimkan pesan kepada teman kecilnya. Menceritakan kisahnya. Dan temannya terenyum-senyum bahagia.
Suatu siang yang cerah, perkumpulan yang diikuti gadis berseragam putih biru berkumpul di lapangan pasir bersemen. Hendak mendiskusikan suatu hal. Si gadis berseragam putih biru antusias. Tidak disangka, anak laki-laki berseragam putih biru berada di perkumpulan yang sama. Tidak disangka.
Dari jauh, seorang gadis berseragam putih biru berbisik dengan suara yang keras kearah teman laki-laki berseragam putih birunya. Ia berkata, “Bukankah dia yang menyukai teman kita?” bisiknya sambil memandang kearah gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru itu memerah, namun berlagak tidak peduli.
Suatu menit di hari yang cerah, gadis berseragam putih biru berada di kamar yang dipenuhi air mengalir. Gadis itu mencuci tangan. Ia hendak keluar. Langkahnya terhenti. Gadis berseragam putih biru yang tadi berbisik dengan teman laki-laki berseragam putih birunya masuk. Ia bertanya, “Apa kau gadis yang menyukai teman berkaca mata kami?”
Gadis berseragam putih biru panik, ia menjawab, “Tidak, bukan. Siapa yang mengatakannya? Aku pergi dulu,” dan gadis berseragam putih biru keluar dengan muka merah. Malu dan marah. Ia melangkah tergesa-gesa. Menemui teman kecilnya dan bertanya. Teman kecilnya membantah. Dan bersumpah. Gadis berseragam putih biru percaya dan tidak berfikiran buruk.
Suatu hari di bulan november tahun 2007. Perkumpulan gadis berseragam putih biru mengadakan acara makan bersama. Untuk mepererat ikatan persaudaraan yang terjalin tanpa hubungan darah. Untuk mengisi waktu jeda, diadakan pertunjukan dadakan. Di pilih secara acak. Secara acak. “Bagaimana kalau adik dari teman berkaca mata kita saja?” tunjuk teman anak laki-laki berkacamata kearah gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru kalut. Dan bertanya, “Apa maksudnya?” dalam hatinya.
Suatu hari yang cerah ditahun 2007, perkumpulan gadis berseragam putih biru berkumpul kembali. Gadis berseragam putih biru hanya menunduk menyembunyikan muka merahnya. Anak laki-laki berkaca mata berdiri di depannya. Berbincang dengan teman si gadis berseragam putih biru. Gadis berseragam putih biru hanya bisa menunduk dan menunduk.
Suatu hari ditahun 2008, perkumpulan gadis berseragam putih biru mengikuti perlombaan. Gadis berseragam putih biru, teman kecil dan beberapa teman berseragam putih birunya menjadi perserta perlombaan. Dan lagi, anak laki-laki berkaca mata juga menjadi peserta. Tingkatan anak laki-laki berkacamata berada satu tingkat di atas gadis berseragam putih biru. Dan mereka akan selalu berada di posisi yang sama hingga perlombaan berakhir. Sepanjang hari di tahun 2008 adalah hari yang mendebarkan bagi gadis berseragam putih biru.
Sepanjang hari di tahun 2009. Gadis berseragam putih biru tidak lagi dapat melihat anak laki-laki berkaca mata. Anak laki-laki berkaca mata telah menjadi pemuda berkaca mata dengan seragam putih abu-abu. Sesekali gadis berseragam putih biru berharap melihat pemuda berkaca mata keluar dari balik pintu rumahnya yang selalu dilewati gadis berseragam putih biru dengan mobil antar jemputnya. Walau ia tahu, pemuda berkaca mata tidak lagi mendiami tempat yang sama. Tapi gadis berseragam putih biru selalu berharap.
Suatu malam di tahun 2010. Gadis berseragam putih biru telah berubah menjadi gadis berseragam putih abu-abu bermimpi. Gadis itu bertemu dengan pemuda berkacamata. Pemuda itu tersenyum kearahnya dan menyapa. Dan gadis berseragam putih abu-abu itu terbangun. Dia kesal dan bahagia. Dalam dunia nyata tidak pernah bertemu dalam mimpi sudah cukup.

Suatu hari di tahun 2010 setelah mimpi itu datang, gadis berseragam putih abu-abu melihat pemuda berkacamata. Lagi, dari kejauhan dan hanya punggungnya saja.

to be continued :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar