Mereka Telah Sampai
Sepanjang perjalan Austin dan Gerald tak lupa untuk
memamerkan kehebatan mereka dalam berkuda. Mereka cukup ahli dalam berkuda
karena sering berlatih di rumah Gerald. Ia mempunyai tiga ekor kuda di
peternakan keluarganya. Ayah Gerald, Mr. Axzalorg, sangat suka berkuda
dan ia sengaja merubah halaman belakang rumahnya sebagai tempat berkuda walaupun tidak
begitu besar. Gerald dan Austin menghabiskan waktu mereka di sana.
Pagi beranjak siang, letih dan haus mulai menggerogoti
tubuh mereka yang bermandikan peluh. Mereka akhirnya memutuskan untuk
beristirat di bawah pohon yang cukup
rindang agar panasnya terik matahari tidak menjilati kulit mereka. Dengan lahab
mereka menyantap bekal dan bercengkrama dengan akrab. Tawa dan pertanyaan
terlontar dibibir mereka. Disela-sela perbincangan Austin selalu melirik pedang
yang menggantung di pinggangnya, pedang itu mulai menggodanya.
“Apakah diantara kalian ada yang bersedia mengajariku
berpedang?” tanya Austin sedikit malu.
Prajurit-prajurit itu tampak heran sejenak, sampai salah satu diantara
mereka berdiri gagah, “Alangkah terhormatnya jika diizinkan untuk mengajarimu,” ujar Skriel seraya bangkit.
“Terima kasih,”
Pertama-tama Skriel mengajari Austin menggunakan kayu, agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan. Terlebih dahulu Austin diajari teknik dasar,
berupa cara memegang pedang yang benar, mengatur pernapasan yang baik, dilanjutkan dengan gerakan, cara menyerang dan menangkis
serangan. Dengan semangat Austin mempraktekkan ajaran Skriel dan ia megalami
kemajuan yang sangat bagus.
“Sepertinya kau akan cepat menguasainya dan kita bisa
bertarung satu lawan satu,” usul Skriel.
“Aku
menanti waktu itu datang,” balas Austin
menjabat tangan Skriel yang kekar.
“Skriel, apa sebaiknya kita berangkat sekarang, malam
akan segera tiba,” tanya salah satu prajurit yang sebaya dengan Skriel.
“Baiklah, kemasi barang dan kita berangkat,” sahut Skriel
melemparkan ranting yang digunakannya.
Mereka langsung menyimpan semua
peralatan makan mereka. Sama seperti sebelumnya makanan yang bersisa mereka
timbun di dalam tanah.
“Kau tertarik untuk menunggang kuda, Vav,” tanya Austin
saat mereka akan menaiki kuda hitam yang ditunggangi Austin.
“Tertarik? Tentu saja. Tapi aku tidak tahu caranya,” papar Vav
malu.
“Aku bersedia
mengajari,” ujar Austin.
Vav tampak ragu.
“Tenang, biaya kursus tidak usah dibayar,” tutur Austin.
“Tentu saja aku tidak memikirkannya,” bantah Gadis itu, “Apakah menakutkan?”
tanya Vav cemas.
“Tidak, sama seperti kau mengendarai motor,” jawab Austin
meyakinkan.
“Baiklah, kalau kau memaksa,” kata Vav seraya menaiki
kuda.
Austin mengajari Vav teknik cara memegang dan
mengendalikan tali pelana, cara memerintah kuda agar mau bergerak dan cara
menghentikannya. Tahap awal Vav bisa menguasainya dan berlanjut ke tahap
selanjutnya. Tahap dimana memerintahkan kuda agar dapat berlari dengan kencang.
“Kau harus mengapit perut kuda dengan kedua kakimu,
jangan sampai membuat kuda kesakitan, pastikan kau bisa menahan kekuatannya,”
tutur Austin lembut.
Vav mencoba teori yang diajarkan Austin dan kuda itupun
melaju dengan cepat ke depan.
Gerald tidak mau kalah melihat aksi Austin, menawarkan
diri untuk mengajari Vlow menunggang kuda.
“Sepertinya tidak, aku sudah trauma,” tolak Vlow dengan
lembut.
“Ayolah, mana Vlow yang aku kenal. Vlow yang tidak kenal
dengan rasa takut,” pancing Gerald.
“Aku tidak yakin,” sahut Vlow.
“Kau itu aneh ya. Dengan Ogre kau tidak takut, tapi
menunggang kuda nyalimu menciut,” ejek Gerald.
Mendengar tanggapan Gerald yang terdengar mengejek, Vlowpun
menyetujuinya. Gerald menghentikan kudanya dan berpindah posisi dengan Vlow.
Tahap demi tahap diajarkannya.
Vlowpun berusaha untuk mencoba. Tapi nihil, Vlow tetap tidak bisa menangkap apa
yang diajarkan Gerald padanya. Maklum dalam otaknya masih tersisa trauma akibat
kecelakaan tahun lalu. Saat Vlow berlatih menunggang kuda di rumah Gerald Vlow
terjatuh dan mengakibatkan kakinya patah, sampai sekarang Vlow masih mengingat
kejadian itu.
Gerald yang mulai bosan, memaki-maki Vlow yang tidak
mengerti juga. Vlow berusaha melawan, tapi Gerald tetap saja mengata-ngatainya.
Prajurit-prajurit yang menemani mereka dengan susah payah melerai mereka.
Suara Gerald terdengar sampai kejauhan. Vav langsung
berbalik untuk memastikan apa yang terjadi. Sontak ia langsung membelokkan arah kudanya dan
menyusul mereka yang tertinggal.
“Kalian
kenapa lagi?” tanya Austin begitu sampai di
tempat mereka.
“Aku
sudah mengajarinya selama berjam-jam, tapi tetap saja tidak ada perubahan,” jawab Gerald turun dari kudanya.
“Gerald, belajarkan butuh proses, jadi wajarkan,” tutur Austin
turun dari kudanya dan diikuti oleh Vav.
“Tapi sudah keterlaluan, sudah tiga jam aku mengajarinya,
tapi tidak bisa-bisa juga,” sanggah Gerald kesal.
“Maafkan aku, aku memang bodoh,” tutur Vlow seraya berlari
dengan mata yang dipenuhi air mata.
Vav yang menyadari itu, pergi menyusul Vlow yang berlari
ke arah sungai.
“Gerald, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Austin.
“Dia yang mulai, tidak juga manangkap apa yang telah aku
ajarkan, wajar kan kalau aku menghardiknya,” jawab Gerald dengan suara kesal
seolah Vlow salah seutuhnya.
“Gerald, untuk seseorang belajar itu butuh proses, mana
ada yang langsung bisa,” tambah Skriel berusaha menasehati Gerald.
“Tapi dia itu benar-benar keterlaluan,” gerutu Gerald.
“Kau ingat kejadian tahun lalu? Jika kau mengingatnya, minta maaflah padanya” tutur Austin membuka bungkusan lolipopnya yang masih
tersisia di dalam tas.
“Kejadian tahun lalu?” tanya Geral berfikir panjang,
“Astaga bodoh sekali aku,” sambungnya seraya memukul dahinya dan
berbalik arah menghampiri Vlow dengan wajah yang benar-benar menyesal.
“Vlow, kalau begitu aku akan meninggalkanmu disini untuk
menyegarkan pikiranmu, kau butuh sendiri bukan?” tanya Vav seraya menoleh ke
belakang dan tampak Gerald berjalan ke arah mereka.
“Ya. Vav terima kasih ya,” tutur Vlow menoleh ke arah
Vav.
Dengan senyuman dan anggukan kecil Vav berbalik
meninggalkan Vlow, memberi kesempatan kepada Gerald untuk berbicara dengannya.
“Pemandangannya indah ya,” tutur Gerald seraya berdiri di
samping Vlow.
Vlow hanya diam membisu sambil menghapus air matanya yang
bercucuran.
“Vlow, maafkan aku. Kau pasti sangat
marah dan akan membeciku
hingga kelulusan,” ujar Gerald, gugup.
“Tidak ada yang patut di maafkan, toh kau tidak salah,” sahut Vlow
datar.
“Tapi aku sudah memaki-makimu dan begitu egois,” bantah
Gerald.
“Tidak seutuhnya salahmu Gerald. Aku juga salah, karena
aku tidak juga bisa, padahal kau sudah susah payah mengajariku, aku ini memang
bodoh,” balas Vlow meneteskan air mata.
“Walaupun begitu, aku harus minta maaf karena lupa dengan
kejadian tahun lalu,” tutur Gerald ngotot ingin minta maaf.
Vlow diam sejenak memikirkan apa yang harus ia katakan.
“Kalau boleh jujur, sebenarnya aku masih trauma dengan
kejadian itu, bahkan saat melihat kuda saja aku berusaha untuk menghilangkan
rasa takut itu, mungkin itu sebabnya kenapa kuda itu tidak mau bersahabat
dengan ku,” jawab Vlow mengeluarkan suaranya.
“Jadi apa kau mau memaafkanku?” tanya Gerald penuh harap.
Vlow diam, ia ingin melihat wajah Gerald yang tampak
begitu mengharapkan maaf darinya, “Dengan satu syarat,” jawab Vlow.
“Syarat?” tanya Gerald bingung.
“Ya, kau harus mengajariku sampai aku benar-benar mahir dan aku tidak mendengar cacian lagi,” tutur Vlow.
“Baiklah, kalau begitu peluk aku sebagai tanda kau telah
memaafkanku,” sahut Gerald.
“What? Apa hubungannya?” tanya Vlow bingung.
“Tentu ada hubungannya, kalau kau tidak
melakukannya perasaanku tidak akan pernah tenang,” sahut Gerald dengan senyum
dipipinya.
“Dasar playboy, aku tidak akan termakan rayuanmu,” bantah
Vlow segera.
“Kau yakin tidak akan melakukannya? Coba kau bayangkan
kalau aku terus diselimuti rasa bersalah dan pada akhirnya aku mati dengan
perasaan bersalah itu. Kau akan menyesal seumur hidup karena tidak mau memelukku
hari ini,” ancam Gerald terlalu mendramatisir.
“Kalau aku memelukmu apa kau akan diam?” tanya Vlow.
“Ya, aku rasa,” jawab Gerald menyisir rambutnya dengan
jari-jari panjang miliknya.
Sambil menarik nafas Vlow mendekati Gerald dan
memeluknya. Vlow meneteskan air mata, karena sudah lama ia ingin memeluk orang
yang dicintainya. Gerald tersenyum senang, karena ia baru menyadari bahwa
sebenarnya ia mencintai Vlow, ia tidak sanggup melihat air mata Vlow yang
berjatuhan dan bahagia melihat senyuman menawan dari wajah cantik Vlow.
“Apa kau sudah siap mencobanya lagi?” tanya Gerald begitu
Vlow melepaskan pelukannya.
“Ya...aku ingin melakukannya,” jawab Vlow penuh
keyakinan.
Merekapun kembali ke kuda yang mereka tunggangi dan
Gerald kembali mengajari Vlow, kali ini benar-benar lembut. Vlow yang sudah
menghilangkan traumanya, bisa menerima pelajaran yang diberikan Gerald. Ia sadar
trauma akan selalu mengahantuinya apabila ia tetap mengenang tauma itu. Trauma
itu akan menghalangi jalannya dan menjadi dinding yang membatasi kemauannya
untuk melakukan susuatu. Vlow sangat senang karena ia bisa merubuhkan dinding
yang menghalangi jalannya.
Cahaya matahari berusaha
menerobos ketika dedaunan berusaha untuk menghalangi. Akar-akar pohon yang
mencuatpun tidak mematahkan semangat mereka untuk melompatinya. Hutan
Delqaduados memang hutan yang cukup sulit untuk dilewati karena ukuran pohonnya
yang besar dan ada banyak akar yang muncul ke permukaan. Terkadang tidak tahu
apa yang terdapat dibalik batang pohon yang besar. Kadang kita akan menemukan
sungai kecil atau bahkan sebuah tebing. Hanya orang yang mengenal baik
Delgaquados yang bisa melewati hutan itu.
Matahari yang menemani perjalan mereka mulai lelah. Cahaya jingga tuanya kini
menyirami tubuh para penunggang kuda yang tengah melaju kuda mereka. Cahaya
metahari yang hampir terbenam itu menyelimuti hutan yang tampak begitu hangat
dan damai. Air sungai tampak berwarna orange seolah telah dicampur dengan bubuk
pewarna.
Begitu matahari tak terlihat, jagat raya berubah gelap.
Untung mereka para Elf yang dapat melihat ditengah gelap, karena tuhan
menciptakan mata mereka dari cahaya bulan yang pucat.
“Malam ini kita istirahat dulu disini,” tutur Skriel
turun dari kudanya yang tampak mulai letih.
Semuanya mematuhi perintah Skriel dan bergegas
menghidupkan api unggun untuk menghangat tubuh dimalam yang gelap dan sunyi.
Mereka mengeluarkan bekal yang telah mereka siapkan sebelum berangkat tadi pagi
dan menyantapnya dengan lahap.
“Skriel, apa kau mau mengajariku berpedang lagi?” tanya Austin
saat mereka tengah duduk santai.
“Apa kau tidak lelah?” tanya Skriel seraya bangkit.
“Belum,” jawab Austin pasti.
“Semangat muda yang bagus,” puji Skriel manghunus
pedangnya.
Dengan semangat Skriel melatih Austin yang juga
bersemangat menerima pelajarannya. Sekarang Austin jauh lebih mahir dan
bertambah lincah dari sebelumnya. Bahkan
ia sudah bisa mengalahkan Skriel.
“Skriel, tampaknya kau menyesal mengajarinya,” ledek
salah satu teman Skriel.
“Dia bisa mengalahkanmu,” tambah yang lain.
“Oh, tenang aku hanya berusaha mengalah,” sahut Skriel
tertawa.
Yang lainnya juga ikut tertawa sambil menyaksikan dua Elf
yang tengah mengadu pedang mereka.
“Kau bertambah mahir, Austin,” puji
Skriel memukul pundak Austin.
“Ini juga berkat anda, Guru,” sahut Austin, “Apa kau
keberatan untuk menjadikanku muridmu?”
“Oh..tentu tidak, aku sangat senang bisa menjadi gurumu,”
sahut Skriel menjabat tangan Austin.
Merasa latihan kali ini sudah cukup mereka semua beranjak
tidur karena pagi-pagi sekali mereka akan melanjutkan perjalanan ke Guidoweld.
to be continued :)
to be continued :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar