Rabu, 01 Oktober 2014

Kacang Selamat Pagi - part ending



Aku menarik nafas dalam. Dan berusaha untuk bangkit dari kursi. Semua mata memandang kearahku saat aku berhasil berdiri. Tidak terkecuali “Ivan” yang duduk di depanku.
“Mau kemana? Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu,” ujar Ibu menyentuh tanganku dan memintaku untuk duduk kembali.
“Aku ingin pulang. Aku ingin kembali ke ranjangku dan bangun dari mimpi ini. Karena mimpi ini sama sekali tidak lucu,” tuturku mendorong kursi.
Semua orang memandangku dengan aneh. Mereka ingin melontarkan pertanyaan. Namun mereka menahannya karena bayangan Ivan berdiri dan memandangku dengan geram.
“Yola Olivia,” bentak ‘Ivan’, “Percuma lo balik ke kamar. Percuma lo tidur lagi trus bangun lagi. Nggak ada yang bakalan berubah. Kenyataan Ivan udah meninggal dua hari yang lalu itu nggak bakal berubah. Kenyataan gue berdiri disini, sekarang, ngebentak lo juga nggak bakal berubah,” aku hendak menyelanya, namun dia menghentikannya, “Satu lagi, lo harus ingat kalau gue Evan bukan Ivan.”
Kegilaan apa lagi ini? Sorakku dalam hati. Aku hanya memandangnya dengan tatapan geram namun berlinang air mata. Semakin bingung dan semakin ingin tersadar dari mimpi aneh ini. Siapa Evan, kenapa bukan Ivan? Sementara mereka memiliki wajah yang sama? Air mataku semakin tidak terbendung.
“Sekarang lo ikut gue!” serunya sambil menarik tanganku dan menyeretku menuju pintu. Begitu sampai di depan pintu, pemuda yang mengaku Evan ini meraih jeket merah yang tergeletak di atas kursi dan menyerahkannya kearahku. Memintaku untuk memakainya. Tapi aku hanya memegangnya. Pemuda ini kembali menyeretku ke dalam sebuah mobil berwarna hitam dan membukakan pintu. Begitu aku masuk, pintu tertutup dan pemuda itu berjalan menuju pintu kemudi. Mesin dihidupkan, dan ia segera memutar stir. Membawaku entah kemana. Sepanjang perjalanan aku hanya memandangnya dengan air mata yang tidak henti-hentinya menetes sesering apapun aku menyekanya.
Mobil hitam ini berhenti. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. Kali ini ia bersikap lebih lembut dari sebelumnya. Ia bahkan mengenakan jeket merah itu saat ia tahu aku masih belum mengenakannya. Saat ini air mataku telah berhenti. Namun tentu saja bekasnya masih jelas terlihat. Aku dapat merasakan bahwa mata ini perlahan berubah menjadi sembab. Untung penglihatanku tidak terganggu, hingga aku dapat melihat tempat yang kami tuju saat ini. Air mataku kembali menggenang. Tempat ini adalah cafe yang selalu kami kunjungi diakhir minggu.
Aku melangkahkan kaki saat pemuda yang memiliki wajah yang sama dengan Ivan ini mulai melangkah. Begitu sampai di dalam cafe ia berjalan menuju meja yang terletak di depan sebuah jendela di ujung ruangan. Tempat favorite aku dan Ivan.
Untuk beberapa saat kami hanya diam. Lebih tepatnya aku menangis dan dia menunggu dengan sabar hingga aku diam. Aku yakin, saat ini semua orang membicarakan kami. Jadi akupun memilih untuk tenang.
“Ternyata kau itu benar-benar cengeng ya,” ejeknya sambil tersenyum, “Persis seperti yang dikatakan Ivan,” sambungnya. Aku menangkap suaranya yang tertahan.
“Soal yang di rumah tadi maaf ya. Aku tidak bermaksud kasar dan berbicara tidak sopan. Padahal ini pertama kalinya kita bertemu setelah sekian tahun,” ujarnya tertawa lembut, “Ayah dan Ibu bercerai saat kami berumur tiga tahun. Ivan dirawat oleh Ibu, dan aku dirawat oleh Ayah. Kami tidak pernah berkumpul sejak hari itu. Aku tidak tahu pasti kenapa. Tapi sebenarnya hubungan kami baik-baik saja. Hanya saja, ayah dan ibu terlalu naif untuk mengakui kalau mereka masih saling mencintai. Kenapa kau tidak pernah mendengar tentang aku dari Ivan? Karena ia takut kau akan bertanya-tanya pada Ibu dan itu akan membuatnya sedih. Bukan berarti dia tidak percaya padamu,”
Jadi sekarang beberapa petanyaan telah terjawab. Sekarang aku tahu siapa Evan yang disebut Ivan sebelum meninggal. Sekarang aku tahu kenapa dia merahasiakannya dariku. Dan akhirnya aku hanya bisa tersenyum geli saat mengingat bahwa aku sempat berfikir kalau ini mimpi.
“Apa ada yang lucu?” tanya Evan merasa bersalah.
“Kalau diingat-diingat kejadian tadi pagi itu sungguh memalukan. Kenapa tidak pernah terlintas di pikiranku jika ada dua orang berbeda yang berwajah sama itu kembar. Betapa bodohnya aku. Aku yakin jika Ivan disini ia akan menertawakanku sekarang,” sahutku sambil tertawa.
Evan juga ikut tertawa kemudian berubah serius kembali, “Kau tahu, beberapa hari sebelum kami mendapat kabar akan kepergian Ivan, aku bermimpi. Ia datang padaku. Dibelakangnya berdiri seorang gadis. Lalu Ivan memintaku untuk menjaganya. Sekilas wajahnya mirip denganmu,” tutur Evan.
Mendengar penuturannya membuatku tersenyum hangat, “Aku rasa itu aku. Sebelum Ivan pergi dia juga mengatakan bahwa Evan akan menjagaku dan Ibu, walau aku tidak tahu siapa itu Evan,” sahutku. “Lalu apa kau akan menjagaku kami?”
“Tergantung,” jawabnya, “Jika kau tidak menganggap kalau ini mimpi lagi,” sambungnya.
“Tenang, sekarang aku benar-benar terjaga,” sahutku sambil tersenyum. Dan Evan membalas senyuman itu.


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar