Aku menarik
nafas dalam. Dan berusaha untuk bangkit dari kursi. Semua mata memandang
kearahku saat aku berhasil berdiri. Tidak terkecuali “Ivan” yang duduk di
depanku.
“Mau
kemana? Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu,” ujar Ibu menyentuh tanganku dan
memintaku untuk duduk kembali.
“Aku ingin
pulang. Aku ingin kembali ke ranjangku dan bangun dari mimpi ini. Karena mimpi
ini sama sekali tidak lucu,” tuturku mendorong kursi.
Semua orang
memandangku dengan aneh. Mereka ingin melontarkan pertanyaan. Namun mereka
menahannya karena bayangan Ivan berdiri dan memandangku dengan geram.
“Yola
Olivia,” bentak ‘Ivan’, “Percuma lo balik ke kamar. Percuma lo tidur lagi
trus bangun lagi. Nggak ada yang bakalan berubah. Kenyataan Ivan udah meninggal
dua hari yang lalu itu nggak bakal berubah. Kenyataan gue berdiri disini,
sekarang, ngebentak lo juga nggak bakal berubah,” aku hendak menyelanya, namun
dia menghentikannya, “Satu lagi, lo harus ingat kalau gue Evan bukan Ivan.”
Kegilaan
apa lagi ini? Sorakku dalam hati. Aku hanya memandangnya dengan tatapan geram
namun berlinang air mata. Semakin bingung dan semakin ingin tersadar dari mimpi
aneh ini. Siapa Evan, kenapa bukan Ivan? Sementara mereka memiliki wajah yang
sama? Air mataku semakin tidak terbendung.
“Sekarang
lo ikut gue!” serunya sambil menarik tanganku dan menyeretku menuju pintu.
Begitu sampai di depan pintu, pemuda yang mengaku Evan ini meraih jeket merah
yang tergeletak di atas kursi dan menyerahkannya kearahku. Memintaku untuk
memakainya. Tapi aku hanya memegangnya. Pemuda ini kembali menyeretku ke dalam
sebuah mobil berwarna hitam dan membukakan pintu. Begitu aku masuk, pintu
tertutup dan pemuda itu berjalan menuju pintu kemudi. Mesin dihidupkan, dan ia
segera memutar stir. Membawaku entah kemana. Sepanjang perjalanan aku hanya
memandangnya dengan air mata yang tidak henti-hentinya menetes sesering apapun
aku menyekanya.
Mobil hitam
ini berhenti. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. Kali ini ia
bersikap lebih lembut dari sebelumnya. Ia bahkan mengenakan jeket merah itu
saat ia tahu aku masih belum mengenakannya. Saat ini air mataku telah berhenti.
Namun tentu saja bekasnya masih jelas terlihat. Aku dapat merasakan bahwa mata
ini perlahan berubah menjadi sembab. Untung penglihatanku tidak terganggu,
hingga aku dapat melihat tempat yang kami tuju saat ini. Air mataku kembali
menggenang. Tempat ini adalah cafe yang selalu kami kunjungi diakhir minggu.
Aku
melangkahkan kaki saat pemuda yang memiliki wajah yang sama dengan Ivan ini
mulai melangkah. Begitu sampai di dalam cafe ia berjalan menuju meja yang
terletak di depan sebuah jendela di ujung ruangan. Tempat favorite aku dan
Ivan.
Untuk
beberapa saat kami hanya diam. Lebih tepatnya aku menangis dan dia menunggu
dengan sabar hingga aku diam. Aku yakin, saat ini semua orang membicarakan
kami. Jadi akupun memilih untuk tenang.
“Ternyata
kau itu benar-benar cengeng ya,” ejeknya sambil tersenyum, “Persis seperti yang
dikatakan Ivan,” sambungnya. Aku menangkap suaranya yang tertahan.
“Soal yang
di rumah tadi maaf ya. Aku tidak bermaksud kasar dan berbicara tidak sopan.
Padahal ini pertama kalinya kita bertemu setelah sekian tahun,” ujarnya tertawa
lembut, “Ayah dan Ibu bercerai saat kami berumur tiga tahun. Ivan dirawat oleh
Ibu, dan aku dirawat oleh Ayah. Kami tidak pernah berkumpul sejak hari itu. Aku
tidak tahu pasti kenapa. Tapi sebenarnya hubungan kami baik-baik saja. Hanya
saja, ayah dan ibu terlalu naif untuk mengakui kalau mereka masih saling
mencintai. Kenapa kau tidak pernah mendengar tentang aku dari Ivan? Karena ia
takut kau akan bertanya-tanya pada Ibu dan itu akan membuatnya sedih. Bukan
berarti dia tidak percaya padamu,”
Jadi
sekarang beberapa petanyaan telah terjawab. Sekarang aku tahu siapa Evan yang
disebut Ivan sebelum meninggal. Sekarang aku tahu kenapa dia merahasiakannya
dariku. Dan akhirnya aku hanya bisa tersenyum geli saat mengingat bahwa aku
sempat berfikir kalau ini mimpi.
“Apa ada
yang lucu?” tanya Evan merasa bersalah.
“Kalau
diingat-diingat kejadian tadi pagi itu sungguh memalukan. Kenapa tidak pernah
terlintas di pikiranku jika ada dua orang berbeda yang berwajah sama itu
kembar. Betapa bodohnya aku. Aku yakin jika Ivan disini ia akan menertawakanku
sekarang,” sahutku sambil tertawa.
Evan juga
ikut tertawa kemudian berubah serius kembali, “Kau tahu, beberapa hari sebelum
kami mendapat kabar akan kepergian Ivan, aku bermimpi. Ia datang padaku.
Dibelakangnya berdiri seorang gadis. Lalu Ivan memintaku untuk menjaganya.
Sekilas wajahnya mirip denganmu,” tutur Evan.
Mendengar
penuturannya membuatku tersenyum hangat, “Aku rasa itu aku. Sebelum Ivan pergi
dia juga mengatakan bahwa Evan akan menjagaku dan Ibu, walau aku tidak tahu
siapa itu Evan,” sahutku. “Lalu apa kau akan menjagaku kami?”
“Tergantung,”
jawabnya, “Jika kau tidak menganggap kalau ini mimpi lagi,” sambungnya.
“Tenang,
sekarang aku benar-benar terjaga,” sahutku sambil tersenyum. Dan Evan membalas
senyuman itu.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar