Pletak!!
Suara itu kembali
terdengar
Pletak!!
Sudah dua hari aku tidak
mendengar suara itu.
Pletak!!
Siapa yang melakukannya??
Ivan?? Tentu saja tidak mungkin. Atau Ibu Ivan? Tidak mungkin. Ibu terlalu
sibuk melakukan itu pagi ini. Karena pagi ini dia tengah sibuk mempersiapkan
segala hal untuk menyambut keluarganya yang datang dari jauh.
Aku bangkit dan berjalan
menuju pintu beranda. Menerka-nerka siapa yang akan muncul di kamar Ivan. Pintu
terbuka. Sesaat aku merasa kembali kehari-hari sebelumnya. Kehari saat Ivan
masih hidup. Ia tersenyum kearahku sambil merapikan dasinya.
Tampak dari kamarku Ivan
yang mengenakan T-shirt berwarna hitam. Ia terlihat bingung. Memperhatikanku
dari atas kebawah, ia tersenyum. Aku tidak membalas senyuman itu. Aku masih
bingung. Apakah ini mimpi atau bukan. Aku menampar pipiku. Sakit. Mencubit
lenganku, berharap aku akan terbangun dan kembali ke ranjangku yang hangat.
Tapi tidak. Aku tidak terbangun. Aku masih di dalam mimpi dan berdiri bingung.
Sementara itu pemuda yang berdiri di seberangku hanya tersenyum.
“Bu, dia sudah bangun,”
soraknya.
Beberapa saat kemudian
muncul Ibu Ivan dari balik pintu, “Yola,
sebaiknya kau mandi sekarang dan datanglah kesini. Om dan Evan baru datang,” tutur
Ibu.
Aku mengangguk ragu.
Masih berharap ini ada di dalam mimpi. Jadi aku akan mengikuti jalannya mimpi ini,
dan ketika ada saat berbahaya aku akan membuat tubuhku terbangun dan melupakan
mimpi ini.
Ibu dan Aku segera
berangkat ke rumah Ivan begitu aku turun ke bawah. Seorang pria menyambut kami
dengan senyuman, “Hai, sudah lama sekali tidak bertemu. Kau Yola kan? Wah-wah sudah besar ya,”
tuturnya sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Halo om,” sahutku ragu.
“Kau masih ingat aku?”
tanyanya.
Aku menatapnya dan
beralih menatap Ibu. Bertanya siapa dia.
“Mana mungkin dia ingat.
Waktu itu dia masih sangat kecil,”
jawab Ibuku yang mengerti akan tatapan yang aku berikan.
“Benar juga. Ayo masuk,
semuanya telah menunggu,” pria itu mempersilahkan kami masuk.
Setelah
dipersilahkan untuk masuk, kamipun melangkahkan kaki menuju dapur Ibu Ivan.
Sekilas, aku melihat bayangan Ivan berdiri di depan rak piring dan mengambil
beberapa piring berwarna putih. Saat kami sampai di depan meja makan, “Ivan”
tersenyum kearahku sambil meletakkan piring di depan kami. Aku hanya
membalasnya dengan senyuman yang canggung karena masih berada di dalam mimpi
yang sangat aneh. Mimpi yang membuat dadaku sesak.
Aku masih
memilih diam saat Ibu mulai menyendok nasi goreng ke masing-masing piring.
Bahkan saat mereka semua tengah menyantapnya. Aku hanya diam dan memperhatikan
gerak-gerik “Ivan”. Dan aku yakin dia bukan “Ivan”, karena dia tidak melakukan
hal yang sering “Ivan” lakukan jika menyantap nasi goreng. Ia melahap semuanya.
Sedangkan Ivan akan menyisihkan tiap bawang yang ia temukan di nasi gorengnya.
Tapi, ia
memiliki wajah Ivan. Ia memiliki senyum Ivan. Ia berada di rumah yang sama
dengan rumah yang ditempati Ivan. Ia duduk di bangku yang sama dengan Ivan. Dan
Ia melempar jendela kamarku dengan kacang pagi ini.
Tapi, aku
telah melepas Ivan dua hari yang lalu. Aku tidak mengerti. Dadaku semakin sesak
dan perlahan mataku memanas. Aku ingin berteriak. Tapi aku menahannya.
tunggu kelanjutannya :)