“Bagaimana kabar
kucing-kucingmu?” tanyaku
“Seperti biasa,
mereka sangat senang dengan mainan baru,” jawab Ivan.
Ivan adalah
sahabat sekaligus tetanggaku sejak masih di dalam kandungan. Ivan sangat
menyukai kucing. Sampai sekarang ia telah memiliki lima ekor kucing dan
berkeinginan untuk menambahnya. Semua kucing milik Ivan tidak pernah ia
dapatkan dengan mengeluarkan uang sakunya ataupun keluarganya. Kucing-kucing
itu Ia dapatkan di jalanan. Ia memungut dan merawatnya.
Aku dan Ivan saling
menyayangi satu sama lain. Dapat dibilang kami ini seperti bersaudara, karena
dimana ada Ivan, disana ada aku. Jika ada yang menggangguku, Ivan akan ada
untuk menolongku.
Hari itu hari
Rabu, tepatnya delapan tahun yang lalu. Adalah hari yang tidak akan pernah aku
lupakan. Hari dimana kami genap berumur 16 tahun. Umur kami hanya berbeda lima
menit. Ivan lahir lima menit sebelumku.
Selain itu hari ini adalah hari yang paling menyedihkan. Hari dimana aku
gagal mencegat Ivan dan membuatnya tidak lagi di sampingku untuk selamanya.
***
Pletak..!
Bunyi itu
membangunkanku dari tidur panjang. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan
menuju pintu beranda.
Pletak..!
Bunyi itu
terdengar lagi, aku bergegas membuka pintu dan beberapa kacang melaju dengan
cepat ke arahku dan mendarat di rambutku yang masih berantakan.
“Aduh,” rintihku.
Terlihat dari
seberang balkon kamarku, sesosok pemuda tampan yang siap melemparku dengan
kacangnya. Pemuda itu tersenyum manis ke arah ku. Senyuman yang tidak akan
pernah aku biarkan orang lain merenggutnya dariku. Senyuman yang selalu menjadi
milikku sejak aku mengenalnya.
Pemuda dengan
senyuman menawan itu adalah pemuda yang selalu menemaniku sejak aku mengeluarkan suara tangis untuk pertama kalinya. Ia
memiliki tubuh yang akan membuat semua pemuda yang melihatnya merasa iri.
Rambutnya yang hitam berkilau kontras dengan kulit putihnya yang bersih. Bola
matanya yang hitam juga terbingkai indah di wajahnya. Setiap pagi pemuda ini
memiliki tugas yang mulia yaitu membangunkan putri tidur yang terkurung di
purinya dengan melempari jendela puri sang putri dengan kacang.
“Selamat pagi
putri tidur, apa kau siap menjalani hari ini?” sapa Ivan sambil memasang dasi
sekolahnya, “Apa kau tidak akan berangkat sekolah?”
Aku langsung
memukul dahiku yang masih dilumuri minyak wajahku yang terlelap cukup lama
malam ini, “Aku kira hari ini hari minggu!”
Aku yang tidak
ingin Ivan melihat wajahku yang tampak bodoh-walaupun aku tahu dia sudah
berkali-kali melihat wajahku yang berantakan dan bodoh-langsung bergegas
mengambil handuk dan menerobos masuh ke dalam
kamar mandi yang pintunya masih tertutup. Tampak sekilas Ivan
menertawaiku.
Byar…byur… Aku
menyirami tubuhku dengan air yang cukup dingin di pagi hari. Bergegas aku
manyabuni tubuhku dan menyiraminya kembali. Begitu selesai aku langsung
menyekanya dan mengenakan seragam sekolah. Aku cukup tergesa-gesa menyisir
rambut dan mengikatnya dengan sedikit berantakan. Aku langsung mengambil tas
dan turun kebawah karena merasa dandanan kali ini sudah wajar untuk berangkat
sekolah. Tidak berantakan namun tidak terlalu rapi.
Saat menuruni
tangga aku dapat mencium aroma parfum yang selalu dipakai Ivan. Walaupun baunya
tidak begitu menyengat, aku dapat merasakannya karena itu adalah parfum
pemberianku. Sesuai dugaanku, Ivan sudah berada di dalam dapurku yang selalu
rapi di pagi hari karena Ibu selalu membersihkannya. Seperti biasa Ivan selalu
menjemputku dan sarapan di rumah ku. Ibunya tidak pernah lagi membuatkan
sarapan setelah ia bercerai dengan suaminya saat Ivan baru berumur tiga tahun.
“Ooops, maaf.
Sarapan buatan Ibumu sangat enak,” ucap Ivan saat menyantap sarapan ku. Ia
selalu melakukannya. Ia hanya tidak ingin menambah porsi sarapan yang
dihidangkan Ibuku untuknya, jadi ia memakan sarapanku.
Karena merasa
telah terlambat aku langsung menyantap sarapanku yang tinggal setengah dan
meneguk setengah gelas susu dengan tergesa-gesa. Ibu hanya menggeleng-geleng
heran melihat kelakuan anak gadisnya yang berantakan. Aku tidak merasa jijik
sedikitpun memakan makanan sisa Ivan karena aku sudah biasa melakukannya.
Bahkan sejak aku masih di taman kanak-kanak. Ivan selalu melakukannya.
“Yola Olivia, kenapa kau begitu terburu-buru?”
tanya Ivan masih duduk di kursi sambil menukar chanel televisi.
“Kita sudah
terlambat, ayo!” jawabku.
“Tenanglah
adikku, masih pukul setengah tujuh,” balasnya masih dengan remote di tangannya.
Aku langsung
melirik jam yang menggantung di dinding. Ivan benar, jam masih menunjukkan
pukul 6.35 pagi. Saat menoleh kearahnya, aku tidak lagi mendapatinya duduk di
kursi. Ia telah meghilang dan hanya meninggalkan remote di atas meja. Aku tahu
ini akan terjadi dan langsung mengejar Ivan yang berdiri diseberang meja dengan
tampang mengejek.
Ia langsung
berlari mengelilingi meja dan berusaha menghindar dari jangkauanku. Kamipun
kejar-kajaran selama beberapa menit dan Ivan selalu menterwakanku dengan
cibiran-cibiran menjengkelkan.
“Yola!” sorak Ibuku yang mulai tidak
sabar, “Maafkan saja Ivan, lagipula ini juga salahmu yang begitu sulit untuk dibangunkan,” tambahnya
sambil melepaskan celemek masaknya dan
menggantungkannya di dinding.
“Kalau begitu
kami pamit dulu,” kata Ivan menyalami ibuku yang tampak cantik dengan pakaian
kantornya.
“Hati-hati di
jalan,” ujarnya saat aku menciumi kedua pipinya dan kamipun berlalu ke luar
rumah.
tunggu kelanjutannya ;)
tunggu kelanjutannya ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar