Jumat, 19 September 2014

Kacang Selamat Pagi _ part I




“Bagaimana kabar kucing-kucingmu?” tanyaku
“Seperti biasa, mereka sangat senang dengan mainan baru,” jawab Ivan.
Ivan adalah sahabat sekaligus tetanggaku sejak masih di dalam kandungan. Ivan sangat menyukai kucing. Sampai sekarang ia telah memiliki lima ekor kucing dan berkeinginan untuk menambahnya. Semua kucing milik Ivan tidak pernah ia dapatkan dengan mengeluarkan uang sakunya ataupun keluarganya. Kucing-kucing itu Ia dapatkan di jalanan. Ia memungut dan merawatnya.
Aku dan Ivan saling menyayangi satu sama lain. Dapat dibilang kami ini seperti bersaudara, karena dimana ada Ivan, disana ada aku. Jika ada yang menggangguku, Ivan akan ada untuk menolongku.
Hari itu hari Rabu, tepatnya delapan tahun yang lalu. Adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Hari dimana kami genap berumur 16 tahun. Umur kami hanya berbeda lima menit. Ivan lahir lima menit sebelumku.  Selain itu hari ini adalah hari yang paling menyedihkan. Hari dimana aku gagal mencegat Ivan dan membuatnya tidak lagi di sampingku untuk selamanya.
***
Pletak..!
Bunyi itu membangunkanku dari tidur panjang. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu beranda.
Pletak..!
Bunyi itu terdengar lagi, aku bergegas membuka pintu dan beberapa kacang melaju dengan cepat ke arahku dan mendarat di rambutku yang masih berantakan.
“Aduh,” rintihku.
Terlihat dari seberang balkon kamarku, sesosok pemuda tampan yang siap melemparku dengan kacangnya. Pemuda itu tersenyum manis ke arah ku. Senyuman yang tidak akan pernah aku biarkan orang lain merenggutnya dariku. Senyuman yang selalu menjadi milikku sejak aku mengenalnya.
Pemuda dengan senyuman menawan itu adalah pemuda yang selalu menemaniku sejak aku mengeluarkan suara tangis untuk pertama kalinya. Ia memiliki tubuh yang akan membuat semua pemuda yang melihatnya merasa iri. Rambutnya yang hitam berkilau kontras dengan kulit putihnya yang bersih. Bola matanya yang hitam juga terbingkai indah di wajahnya. Setiap pagi pemuda ini memiliki tugas yang mulia yaitu membangunkan putri tidur yang terkurung di purinya dengan melempari jendela puri sang putri dengan kacang.
“Selamat pagi putri tidur, apa kau siap menjalani hari ini?” sapa Ivan sambil memasang dasi sekolahnya, “Apa kau tidak akan berangkat sekolah?”
Aku langsung memukul dahiku yang masih dilumuri minyak wajahku yang terlelap cukup lama malam ini, “Aku kira hari ini hari minggu!”
Aku yang tidak ingin Ivan melihat wajahku yang tampak bodoh-walaupun aku tahu dia sudah berkali-kali melihat wajahku yang berantakan dan bodoh-langsung bergegas mengambil handuk dan menerobos masuh ke dalam  kamar mandi yang pintunya masih tertutup. Tampak sekilas Ivan menertawaiku.
Byar…byur… Aku menyirami tubuhku dengan air yang cukup dingin di pagi hari. Bergegas aku manyabuni tubuhku dan menyiraminya kembali. Begitu selesai aku langsung menyekanya dan mengenakan seragam sekolah. Aku cukup tergesa-gesa menyisir rambut dan mengikatnya dengan sedikit berantakan. Aku langsung mengambil tas dan turun kebawah karena merasa dandanan kali ini sudah wajar untuk berangkat sekolah. Tidak berantakan namun tidak terlalu rapi.
Saat menuruni tangga aku dapat mencium aroma parfum yang selalu dipakai Ivan. Walaupun baunya tidak begitu menyengat, aku dapat merasakannya karena itu adalah parfum pemberianku. Sesuai dugaanku, Ivan sudah berada di dalam dapurku yang selalu rapi di pagi hari karena Ibu selalu membersihkannya. Seperti biasa Ivan selalu menjemputku dan sarapan di rumah ku. Ibunya tidak pernah lagi membuatkan sarapan setelah ia bercerai dengan suaminya saat Ivan baru berumur tiga tahun.
“Ooops, maaf. Sarapan buatan Ibumu sangat enak,” ucap Ivan saat menyantap sarapan ku. Ia selalu melakukannya. Ia hanya tidak ingin menambah porsi sarapan yang dihidangkan Ibuku untuknya, jadi ia memakan sarapanku.
Karena merasa telah terlambat aku langsung menyantap sarapanku yang tinggal setengah dan meneguk setengah gelas susu dengan tergesa-gesa. Ibu hanya menggeleng-geleng heran melihat kelakuan anak gadisnya yang berantakan. Aku tidak merasa jijik sedikitpun memakan makanan sisa Ivan karena aku sudah biasa melakukannya. Bahkan sejak aku masih di taman kanak-kanak. Ivan selalu melakukannya.
“Yola Olivia, kenapa kau begitu terburu-buru?” tanya Ivan masih duduk di kursi sambil menukar chanel televisi.
“Kita sudah terlambat, ayo!” jawabku.
“Tenanglah adikku, masih pukul setengah tujuh,” balasnya masih dengan remote di tangannya.
Aku langsung melirik jam yang menggantung di dinding. Ivan benar, jam masih menunjukkan pukul 6.35 pagi. Saat menoleh kearahnya, aku tidak lagi mendapatinya duduk di kursi. Ia telah meghilang dan hanya meninggalkan remote di atas meja. Aku tahu ini akan terjadi dan langsung mengejar Ivan yang berdiri diseberang meja dengan tampang mengejek.
Ia langsung berlari mengelilingi meja dan berusaha menghindar dari jangkauanku. Kamipun kejar-kajaran selama beberapa menit dan Ivan selalu menterwakanku dengan cibiran-cibiran menjengkelkan.
“Yola!” sorak Ibuku yang mulai tidak sabar, “Maafkan saja Ivan, lagipula ini juga salahmu yang begitu sulit untuk dibangunkan,” tambahnya sambil  melepaskan celemek masaknya dan menggantungkannya di dinding.
“Kalau begitu kami pamit dulu,” kata Ivan menyalami ibuku yang tampak cantik dengan pakaian kantornya.
“Hati-hati di jalan,” ujarnya saat aku menciumi kedua pipinya dan kamipun berlalu ke luar rumah.

tunggu kelanjutannya ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar