Jarak antara sekolah dan rumah kami tidak
begitu jauh, sehingga kami dapat
berjalan santai menuju
sekolah. Setiba di depan gerbang sekolah, kami menyisakan waktu 10 menit hingga bel masuk berbunyi. Kegiatan
sekolah berjalan seperti biasa. Ivan akan selalu membelaku ketika teman-teman
mengejekku jika ada pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Dan
bel panjangpun berbunyi, itu menandakan bahwa semua pelajaran dihentikan dan
seluruh murid diizinkan untuk pulang. Kamipun langsung meninggalkan sekolah
karena tidak ada kegiatan yang harus kami ikuti pada hari ini.
“Yola, kau tahu hari ini hari apa?”
tanya Ivan tiba-tiba sambil menendang sebuah kerikil.
“Rabu,” jawabku tak
peduli.
“Tanggal?” tanyanya lagi.
“11 November,”sahutku
menoleh kearahnya yang tampak serius, “Astaga, hari ini kita ulang tahun!”
tambahku sambil menepuk dahiku yang tertutup poni.
Kamipun berhenti
melangkahkan kaki dan saling pandang, “Happy birthday,” tuturku sambil sedikit
menjinjitkan kaki untuk meraih keningnya yang tinggi.
Aku kembali berdiri
normal dan menunggu kata-kata yang keluar dari bibirnya, “Happy birthday juga,”
balasnya sambil memelukku dengan penuh kasih sayang. Disaat itulah aku
merasakan hal yang aneh.
“Kau tahu, entah kenapa
dengan datangnya hari ini membuatku merasa bahwa hidupku tidak lama lagi,”
tuturnya masih memelukku.
Mendengar perkataannya,
hatiku merasa sangat sakit. Seperti ribuan pisau tumpul manyayat hatiku dengan
lamban. Tidak terasa mataku mulai mengeras dan air mata mulai menggenang di pelupuk
mataku. Aku mempererat pelukanku, tidak ingin ia lepaskan. Ivan membalasnya dan
aku semakin terisak.
“Yola, kau menangis?” tanyanya
melepaskan pelukannya dan melihatku dengan tatapan yang amat khawatir, “Apa ada
yang salah?”
“Kau tahu, saat kau memelukku
aku merasakan hal aneh,” kataku pelan,
“Aku merasa kau akan pergi jauh dan kau mengatakan kata-kata itu. Apa menurutmu
aku tidak boleh menangis?” tanyaku memperhatikan wajahnya.
Ivan tersenyum lembut,
“Jadi, kau mengharapkan itu terjadi?”
Mendengar pertanyaan
bodohnya akupun menjitak kepalanya, “Apa kau bodoh? Mana mungkin!”
“Kalau begitu, jangan
berpikiran yang macam-macam,” sahutnya menghapus air mataku dan berjalan
menggandeng tanganku.
“Bagaimana kabar
kucing-kucingmu?” tanyaku malangkah dengan santai.
“Seperti biasa, mereka
sangat senang dengan hal-hal baru,” jawab Ivan, “Kau ingin melihat mereka?”
“Tentu, walaupun aku
hampir setiap hari melihatnya, haha,” sahutku lembut.
Saat ini kami telah
sampai di depan rumah Ivan yang bersebelahan dengan rumahku. Dari halaman
rumahnya tercium aroma kue buatan Ibu Ivan. Kami langsung menuju dapur dan
mendapati sebuah kue dengan hiasan yang sangat indah terpajang di atas meja.
Kami langsung mengendap-ngendap ke dalam dapur dan membawa kue itu ke bawah
kolong meja. Sebelum memotong kue, kami memejamkan mata dan memikirkan semua
hal yang kami inginkan. Saat hendak memotong kue, Ivan langsung terperanjat
kaget karena tiba-tiba kue yang awalnya hangat berubah menjadi sedingin es. Langsung
kepalanya membentur langit-langit meja. Alas mejapun terbuka dan tampak Ibu
Ivan dan Ibu mengintip dari luar.
“Jangan kalian pikir
kalian bisa mengelabui kami,” tutur Ibuku.
“Sudah 17 kali kalian
melakukan itu seumur hidup kalian. Ayo keluar, kalau disana terus kepalamu bisa membesar,” perintah Ibu Ivan.
Melihat ekspresi Ivan
yang lucu saat mengusap-ngusap kepalanya membuat kami tertawa lepas.
“Kalian, jangan
menertawakanku ya. Untung aku masih hidup,” katanya dengan muka merah karena
malu.
“Kau bisa tidak mangucapkan kata-kata itu
di depanku?” pintaku dengan hati yang memanas.
Bukannya menjawab
permintaanku, ia malah mengacak-ngacak rambutku sambil berkata, “Dasar
cengeng,”
Dan kamipun menerima
ucapan selamat ulang tahun dari orang-orang kami sayangi. Tapi ada yang aneh
dengan ekspresi kedua orang tua kami saat mereka memeluk Ivan. Perlahan mata
mereka menjadi merah. Begitu ditanya, mereka menjawab bahwa mereka senang
karena kami sudah berumur 17 tahun. Tapi aku tahu bahwa bukan itu yang mereka
rasakan.
Ivanpun pergi ke kamarnya
untuk mengganti baju dan membawa turun semua kucing-kucingnya yang selalu
beristirahat di kamarnya dengan santai. Namun belum sampai dua menit, tampak
Ivan turun dari kamarnya sambil berlari kencang menuju ruang tamunya dengan
seragam sekolah yang masih terpasang.
“Ada apa Van?” tanya
Ibunya segera.
Aku langsung menoleh
keluar jendela dan mendapati seekor kucing tengah ketakutan melihat kendaraan
yang lalu lalang di depannya. Disana aku sadari kalau Ivan akan menyelamatkan
kucing itu.
“Ivan! Jangan!” sorakku seraya
menyusulnya. Tapi ia tidak mengacuhkannya, “Ivan!”
Saat aku berhasil meraih
pintu dan menginjakkan kaki di halamannya, tampak Ivan dengan bangga memamerkan
kucing berwarna orange itu kepadaku. Senyum tampak terpampang di wajah
tampannya. Air mataku hampir tak terbendung melihat aksi nekadnya. Aku takut
hal buruk menimpanya, sekecil apapun itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi
ban yang berdecit dan dentuman keras di depanku. Air mataku tak terbendung lagi
saat menyadari sebuah mobil berhenti mendadak tepat di tempat Ivan berdiri.
“Ivan,” panggilku, tapi lebih terdengar seperti sebuah bisikan.
Tanpa sadar kakiku langsung melangkah dengan cepat ke tempat pemuda yang
terkujur lemah dengan seekor kucing yang ketakutan. Disana juga tampak seorang pria paruh baya mendekati tubuh Ivan
dan histeris meminta maaf.
masih ada sambungannya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar