Minggu, 21 September 2014

kacang selamat pagi - part II


Jarak antara sekolah dan rumah kami tidak begitu jauh, sehingga kami dapat berjalan santai menuju sekolah. Setiba di depan gerbang sekolah, kami menyisakan waktu 10 menit hingga bel masuk berbunyi. Kegiatan sekolah berjalan seperti biasa. Ivan akan selalu membelaku ketika teman-teman mengejekku jika ada pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Dan bel panjangpun berbunyi, itu menandakan bahwa semua pelajaran dihentikan dan seluruh murid diizinkan untuk pulang. Kamipun langsung meninggalkan sekolah karena tidak ada kegiatan yang harus kami ikuti pada hari ini.
“Yola, kau tahu hari ini hari apa?” tanya Ivan tiba-tiba sambil menendang sebuah kerikil.
“Rabu,” jawabku tak peduli.
“Tanggal?” tanyanya lagi.
“11 November,”sahutku menoleh kearahnya yang tampak serius, “Astaga, hari ini kita ulang tahun!” tambahku sambil menepuk dahiku yang tertutup poni.
Kamipun berhenti melangkahkan kaki dan saling pandang, “Happy birthday,” tuturku sambil sedikit menjinjitkan kaki untuk meraih keningnya yang tinggi.
Aku kembali berdiri normal dan menunggu kata-kata yang keluar dari bibirnya, “Happy birthday juga,” balasnya sambil memelukku dengan penuh kasih sayang. Disaat itulah aku merasakan hal yang aneh.
“Kau tahu, entah kenapa dengan datangnya hari ini membuatku merasa bahwa hidupku tidak lama lagi,” tuturnya masih memelukku.
Mendengar perkataannya, hatiku merasa sangat sakit. Seperti ribuan pisau tumpul manyayat hatiku dengan lamban. Tidak terasa mataku mulai mengeras dan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku mempererat pelukanku, tidak ingin ia lepaskan. Ivan membalasnya dan aku semakin terisak.
“Yola, kau menangis?” tanyanya melepaskan pelukannya dan melihatku dengan tatapan yang amat khawatir, “Apa ada yang salah?”
“Kau tahu, saat kau memelukku aku merasakan hal aneh,” kataku  pelan, “Aku merasa kau akan pergi jauh dan kau mengatakan kata-kata itu. Apa menurutmu aku tidak boleh menangis?” tanyaku memperhatikan wajahnya.
Ivan tersenyum lembut, “Jadi, kau mengharapkan itu terjadi?”
Mendengar pertanyaan bodohnya akupun menjitak kepalanya, “Apa kau bodoh? Mana mungkin!”
“Kalau begitu, jangan berpikiran yang macam-macam,” sahutnya menghapus air mataku dan berjalan menggandeng tanganku.
“Bagaimana kabar kucing-kucingmu?” tanyaku malangkah dengan santai.
“Seperti biasa, mereka sangat senang dengan hal-hal baru,” jawab Ivan, “Kau ingin melihat mereka?”
“Tentu, walaupun aku hampir setiap hari melihatnya, haha,” sahutku lembut.
Saat ini kami telah sampai di depan rumah Ivan yang bersebelahan dengan rumahku. Dari halaman rumahnya tercium aroma kue buatan Ibu Ivan. Kami langsung menuju dapur dan mendapati sebuah kue dengan hiasan yang sangat indah terpajang di atas meja. Kami langsung mengendap-ngendap ke dalam dapur dan membawa kue itu ke bawah kolong meja. Sebelum memotong kue, kami memejamkan mata dan memikirkan semua hal yang kami inginkan. Saat hendak memotong kue, Ivan langsung terperanjat kaget karena tiba-tiba kue yang awalnya hangat berubah menjadi sedingin es. Langsung kepalanya membentur langit-langit meja. Alas mejapun terbuka dan tampak Ibu Ivan dan Ibu mengintip dari luar.
“Jangan kalian pikir kalian bisa mengelabui kami,” tutur Ibuku.
“Sudah 17 kali kalian melakukan itu seumur hidup kalian. Ayo keluar, kalau disana terus kepalamu bisa membesar,” perintah Ibu Ivan.
Melihat ekspresi Ivan yang lucu saat mengusap-ngusap kepalanya membuat kami tertawa lepas.
“Kalian, jangan menertawakanku ya. Untung aku masih hidup,” katanya dengan muka merah karena malu.
“Kau bisa tidak mangucapkan kata-kata itu di depanku?” pintaku dengan hati yang memanas.
Bukannya menjawab permintaanku, ia malah mengacak-ngacak rambutku sambil berkata, “Dasar cengeng,”
Dan kamipun menerima ucapan selamat ulang tahun dari orang-orang kami sayangi. Tapi ada yang aneh dengan ekspresi kedua orang tua kami saat mereka memeluk Ivan. Perlahan mata mereka menjadi merah. Begitu ditanya, mereka menjawab bahwa mereka senang karena kami sudah berumur 17 tahun. Tapi aku tahu bahwa bukan itu yang mereka rasakan.
Ivanpun pergi ke kamarnya untuk mengganti baju dan membawa turun semua kucing-kucingnya yang selalu beristirahat di kamarnya dengan santai. Namun belum sampai dua menit, tampak Ivan turun dari kamarnya sambil berlari kencang menuju ruang tamunya dengan seragam sekolah yang masih terpasang.
“Ada apa Van?” tanya Ibunya segera.
Aku langsung menoleh keluar jendela dan mendapati seekor kucing tengah ketakutan melihat kendaraan yang lalu lalang di depannya. Disana aku sadari kalau Ivan akan menyelamatkan kucing itu.
“Ivan! Jangan!” sorakku seraya menyusulnya. Tapi ia tidak mengacuhkannya, “Ivan!”
Saat aku berhasil meraih pintu dan menginjakkan kaki di halamannya, tampak Ivan dengan bangga memamerkan kucing berwarna orange itu kepadaku. Senyum tampak terpampang di wajah tampannya. Air mataku hampir tak terbendung melihat aksi nekadnya. Aku takut hal buruk menimpanya, sekecil apapun itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi ban yang berdecit dan dentuman keras di depanku. Air mataku tak terbendung lagi saat menyadari sebuah mobil berhenti mendadak tepat di tempat Ivan berdiri.
“Ivan,” panggilku, tapi lebih terdengar seperti sebuah bisikan. Tanpa sadar kakiku langsung melangkah dengan cepat ke tempat pemuda yang terkujur lemah dengan seekor kucing yang ketakutan. Disana juga tampak seorang pria paruh baya mendekati tubuh Ivan dan histeris meminta maaf.

masih ada sambungannya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar