Senin, 29 September 2014

Kacang Selamat Pagi - part V



Pletak!!
Suara itu kembali terdengar
Pletak!!
Sudah dua hari aku tidak mendengar suara itu.
Pletak!!
Siapa yang melakukannya?? Ivan?? Tentu saja tidak mungkin. Atau Ibu Ivan? Tidak mungkin. Ibu terlalu sibuk melakukan itu pagi ini. Karena pagi ini dia tengah sibuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut keluarganya yang datang dari jauh.
Aku bangkit dan berjalan menuju pintu beranda. Menerka-nerka siapa yang akan muncul di kamar Ivan. Pintu terbuka. Sesaat aku merasa kembali kehari-hari sebelumnya. Kehari saat Ivan masih hidup. Ia tersenyum kearahku sambil merapikan dasinya.
Tampak dari kamarku Ivan yang mengenakan T-shirt berwarna hitam. Ia terlihat bingung. Memperhatikanku dari atas kebawah, ia tersenyum. Aku tidak membalas senyuman itu. Aku masih bingung. Apakah ini mimpi atau bukan. Aku menampar pipiku. Sakit. Mencubit lenganku, berharap aku akan terbangun dan kembali ke ranjangku yang hangat. Tapi tidak. Aku tidak terbangun. Aku masih di dalam mimpi dan berdiri bingung. Sementara itu pemuda yang berdiri di seberangku hanya tersenyum.
“Bu, dia sudah bangun,” soraknya.
Beberapa saat kemudian muncul Ibu Ivan dari balik pintu, “Yola, sebaiknya kau mandi sekarang dan datanglah kesini. Om dan Evan baru datang,” tutur Ibu.
Aku mengangguk ragu. Masih berharap ini ada di dalam mimpi. Jadi aku akan mengikuti jalannya mimpi ini, dan ketika ada saat berbahaya aku akan membuat tubuhku terbangun dan melupakan mimpi ini.
Ibu dan Aku segera berangkat ke rumah Ivan begitu aku turun ke bawah. Seorang pria menyambut kami dengan senyuman, “Hai, sudah lama sekali tidak bertemu. Kau Yola kan? Wah-wah sudah besar ya,” tuturnya sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Halo om,” sahutku ragu.
“Kau masih ingat aku?” tanyanya.
Aku menatapnya dan beralih menatap Ibu. Bertanya siapa dia.
“Mana mungkin dia ingat. Waktu itu dia masih sangat kecil,” jawab Ibuku yang mengerti akan tatapan yang aku berikan.
“Benar juga. Ayo masuk, semuanya telah menunggu,” pria itu mempersilahkan kami masuk.
Setelah dipersilahkan untuk masuk, kamipun melangkahkan kaki menuju dapur Ibu Ivan. Sekilas, aku melihat bayangan Ivan berdiri di depan rak piring dan mengambil beberapa piring berwarna putih. Saat kami sampai di depan meja makan, “Ivan” tersenyum kearahku sambil meletakkan piring di depan kami. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang canggung karena masih berada di dalam mimpi yang sangat aneh. Mimpi yang membuat dadaku sesak.
Aku masih memilih diam saat Ibu mulai menyendok nasi goreng ke masing-masing piring. Bahkan saat mereka semua tengah menyantapnya. Aku hanya diam dan memperhatikan gerak-gerik “Ivan”. Dan aku yakin dia bukan “Ivan”, karena dia tidak melakukan hal yang sering “Ivan” lakukan jika menyantap nasi goreng. Ia melahap semuanya. Sedangkan Ivan akan menyisihkan tiap bawang yang ia temukan di nasi gorengnya.
Tapi, ia memiliki wajah Ivan. Ia memiliki senyum Ivan. Ia berada di rumah yang sama dengan rumah yang ditempati Ivan. Ia duduk di bangku yang sama dengan Ivan. Dan Ia melempar jendela kamarku dengan kacang pagi ini.
Tapi, aku telah melepas Ivan dua hari yang lalu. Aku tidak mengerti. Dadaku semakin sesak dan perlahan mataku memanas. Aku ingin berteriak. Tapi aku menahannya. 

tunggu kelanjutannya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar