Tok.tok..
“Yola, apa kau tidak akan pergi ke
sekolah?” sorak Ibu dari balik pintu.
Aku hanya diam dan tetap
bersembunyi di balik selimut.
Pintu kamarku berderit.
Terdengar langkah-langkah lemah mendekati ranjangku. Seseorang menduduki
ranjangku. Ia menghela nafas. Aku tahu, itu Ibu.
“Ivan tidak akan suka
jika melihat Yola seperti
ini,” tutur Ibuku. “Ibu tahu, kamu masih sedih dan belum bisa menerima
kepergiannya, semua orang juga seperti itu. Tapi kita harus melanjutkan hidup.
Kita harus move on Yola. Tuhan
membenci orang-orang yang terlalu larut dengan kesedihan. Kau tahu, jika
terlalu meratapi Ivan, ia tidak akan tenang di akhirat sana,” Ibu terdiam.
Mendengar isak tangisku yang tidak teredam di bawah selimut. Ia bangkit dan
pergi meninggalkan kamarku.
Aku membuka selimut dan
bangkit. Ibu banar. Aku harus move on. Ivan tidak akan suka jika aku
terus-terusan menangisinya. Aku turun dari ranjang dan bergegas menuju kamar
mandi. Setelah semuanya rapi, aku turun ke bawah untuk menyantap sarapan yang
telah di siapkan Ibu. Ibu tersenyum saat melihatku menuruni anak tangga dengan
pakaian seragam sekolah. Sudah dua hari ia tidak melihatku mengenakan seragam
sekolah. Aku membalas senyumannya.
Aku menghela napas saat
melihat segelas susu dan roti yang telah diolesi margarine tersusun di atas
meja. Tidak akan ada Ivan yang membantuku menghabiskannya. Hanya ada aku kali
ini. Tampaknya Ibu menyadari kefrustasianku. Ia menghampiri meja makan dan
meminum susu yang tersisa dan memotong roti hingga menjadi dua bagian dan ia
melahapnya. Aku tersenyum, “Terima kasih Bu,” tuturku memeluknya yang balas
memelukku.
Jalanan terlihat berbeda
saat aku pergi ke sekolah. Sepi. Tidak ada lagi Ivan yang akan bersiul. Tidak
ada lagi tubuh tingginya yang akan melindungiku dari cahaya terik matahari.
Sekarang yang ada hanyalah kebisingan kota dan pohon-pohon yang bersedia
menggantikan posisi Ivan.
Begitupun di sekolah.
Semuanya terasa sangat berbeda sekarang. Suasana kelas begitu tenang. Tampaknya
tidak hanya aku yang kehilangan Ivan. Mereka juga. Namun mereka selalu berusaha
untuk menghiburku. Aku hanya menebarkan senyuman terbaikku untuk membalas
mereka.
Saat istirahat, aku
memilih menyendiri di kantin. Memesan semangkuk bakso dan memasukkan banyak
cabe hingga warna kuahnya begitu merah dan terlihat pedas. Aku melakukannya
dengan sengaja. Agar orang-orang melihat air mataku yang menetes karena menahan
pedas bukan karena teringat Ivan.
Seseorang mendekati
mejaku. Ia hanya berdiri melihatku yang menyuap bakso sambil menahan tangis. Ia
memperhatikanku cukup lama. Sampai akhirnya ia menarik mangkukku dan menyendok
mie yang ada di dalamnya. Aku memperhatikannya dengan tatapan bingung. Ia
mengangkat kepalanya. Ia mengunyah bakso sambil menahan air matanya yang hampir
keluar.
“Ngapain lo ngeliatin gue?”
tanyanya, “Apa lo pikir cuma lo yang boleh nangis?” soraknya dengan air mata
yang tidak terbendung lagi. Semua yang yang ada di kantin memperhatikan kami.
“Lo sendiri yang mutusin
dia,” aku balas membentak gadis yang ada di depanku, “Dia frustasi sampai nggak
tahu kalau gue ada di dekat dia,” sambungku.
“Lo pikir gue pengen
putus ama dia? Lo pikir gue nyuruh dia buat acuhin lo?” isaknya.
“Trus kenapa?” aku
bangkit dari kursi, “Kanapa lo mutusin dia tanpa sebab dan bikin dia jadi
frustasi?” tangisku semakin menjadi-jadi.
“Gue cemburu,” isaknya. “Lo
selalu bareng Ivan. Lo selalu ada buat dia. Dia lebih sayang sama lo daripada
gue. Bahkan disaat dia mau pergi, lo ada ama dia. Gue iri ama lo Yol,,”
Aku menamparnya, “Gue ama
dia cuma sahabatan. Kami selalu bersama. Bahkan sejak masih di dalam kandungan
kami selalu bersama,” kataku, “Dia selalu bilang ke gue kalau lo itu susah
banget buat di dapetin. Waktu kalian jadian, dia bahkan jingkrak-jingkrak di
kamarnya. Dia selalu ngomongin lo dan janji bakal bikin lo bahagia. Dia itu
sayang banget sama lo. Tapi lo malah ngebuang dia gitu aja. Dia frustasi. Tapi
dia selalu nyembunyiin itu dari gue. Dia sayang banget sama lo, Ina,” aku
mengucapkan kata-kata itu dengan berat hati dan isakanku semakin deras. Kami
saling memandang satu sama lain. Melihat seberapa naifnya kami. Seberapa memaluknnya
kami. Menangis di tengah keramaian kantin. Beberapa siswa yang bersimpati ikut
menangis bersama kami. Beberapa siswa yang lain hanya melihat kami dengan
tatapan menyedihkan. Kami saling pandang. Mulai tersenyum dan tertawa lepas.
Namun air mata kami masih saja menetes. Kami tidak peduli. Sekarang kami ingin
tertawa dan berpelukan.
to be continue.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar