Sabtu, 27 September 2014

Kacang Selamat Pagi - part IV



Tok.tok..
“Yola, apa kau tidak akan pergi ke sekolah?” sorak Ibu dari balik pintu.
Aku hanya diam dan tetap bersembunyi di balik selimut.
Pintu kamarku berderit. Terdengar langkah-langkah lemah mendekati ranjangku. Seseorang menduduki ranjangku. Ia menghela nafas. Aku tahu, itu Ibu.
“Ivan tidak akan suka jika melihat Yola seperti ini,” tutur Ibuku. “Ibu tahu, kamu masih sedih dan belum bisa menerima kepergiannya, semua orang juga seperti itu. Tapi kita harus melanjutkan hidup. Kita harus move on Yola. Tuhan membenci orang-orang yang terlalu larut dengan kesedihan. Kau tahu, jika terlalu meratapi Ivan, ia tidak akan tenang di akhirat sana,” Ibu terdiam. Mendengar isak tangisku yang tidak teredam di bawah selimut. Ia bangkit dan pergi meninggalkan kamarku.
Aku membuka selimut dan bangkit. Ibu banar. Aku harus move on. Ivan tidak akan suka jika aku terus-terusan menangisinya. Aku turun dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah semuanya rapi, aku turun ke bawah untuk menyantap sarapan yang telah di siapkan Ibu. Ibu tersenyum saat melihatku menuruni anak tangga dengan pakaian seragam sekolah. Sudah dua hari ia tidak melihatku mengenakan seragam sekolah. Aku membalas senyumannya.
Aku menghela napas saat melihat segelas susu dan roti yang telah diolesi margarine tersusun di atas meja. Tidak akan ada Ivan yang membantuku menghabiskannya. Hanya ada aku kali ini. Tampaknya Ibu menyadari kefrustasianku. Ia menghampiri meja makan dan meminum susu yang tersisa dan memotong roti hingga menjadi dua bagian dan ia melahapnya. Aku tersenyum, “Terima kasih Bu,” tuturku memeluknya yang balas memelukku.
Jalanan terlihat berbeda saat aku pergi ke sekolah. Sepi. Tidak ada lagi Ivan yang akan bersiul. Tidak ada lagi tubuh tingginya yang akan melindungiku dari cahaya terik matahari. Sekarang yang ada hanyalah kebisingan kota dan pohon-pohon yang bersedia menggantikan posisi Ivan.
Begitupun di sekolah. Semuanya terasa sangat berbeda sekarang. Suasana kelas begitu tenang. Tampaknya tidak hanya aku yang kehilangan Ivan. Mereka juga. Namun mereka selalu berusaha untuk menghiburku. Aku hanya menebarkan senyuman terbaikku untuk membalas mereka.
Saat istirahat, aku memilih menyendiri di kantin. Memesan semangkuk bakso dan memasukkan banyak cabe hingga warna kuahnya begitu merah dan terlihat pedas. Aku melakukannya dengan sengaja. Agar orang-orang melihat air mataku yang menetes karena menahan pedas bukan karena teringat Ivan.
Seseorang mendekati mejaku. Ia hanya berdiri melihatku yang menyuap bakso sambil menahan tangis. Ia memperhatikanku cukup lama. Sampai akhirnya ia menarik mangkukku dan menyendok mie yang ada di dalamnya. Aku memperhatikannya dengan tatapan bingung. Ia mengangkat kepalanya. Ia mengunyah bakso sambil menahan air matanya yang hampir keluar.
“Ngapain lo ngeliatin gue?” tanyanya, “Apa lo pikir cuma lo yang boleh nangis?” soraknya dengan air mata yang tidak terbendung lagi. Semua yang yang ada di kantin memperhatikan kami.
“Lo sendiri yang mutusin dia,” aku balas membentak gadis yang ada di depanku, “Dia frustasi sampai nggak tahu kalau gue ada di dekat dia,” sambungku.
“Lo pikir gue pengen putus ama dia? Lo pikir gue nyuruh dia buat acuhin lo?” isaknya.
“Trus kenapa?” aku bangkit dari kursi, “Kanapa lo mutusin dia tanpa sebab dan bikin dia jadi frustasi?” tangisku semakin menjadi-jadi.
“Gue cemburu,” isaknya. “Lo selalu bareng Ivan. Lo selalu ada buat dia. Dia lebih sayang sama lo daripada gue. Bahkan disaat dia mau pergi, lo ada ama dia. Gue iri ama lo Yol,,”
Aku menamparnya, “Gue ama dia cuma sahabatan. Kami selalu bersama. Bahkan sejak masih di dalam kandungan kami selalu bersama,” kataku, “Dia selalu bilang ke gue kalau lo itu susah banget buat di dapetin. Waktu kalian jadian, dia bahkan jingkrak-jingkrak di kamarnya. Dia selalu ngomongin lo dan janji bakal bikin lo bahagia. Dia itu sayang banget sama lo. Tapi lo malah ngebuang dia gitu aja. Dia frustasi. Tapi dia selalu nyembunyiin itu dari gue. Dia sayang banget sama lo, Ina,” aku mengucapkan kata-kata itu dengan berat hati dan isakanku semakin deras. Kami saling memandang satu sama lain. Melihat seberapa naifnya kami. Seberapa memaluknnya kami. Menangis di tengah keramaian kantin. Beberapa siswa yang bersimpati ikut menangis bersama kami. Beberapa siswa yang lain hanya melihat kami dengan tatapan menyedihkan. Kami saling pandang. Mulai tersenyum dan tertawa lepas. Namun air mata kami masih saja menetes. Kami tidak peduli. Sekarang kami ingin tertawa dan berpelukan.

to be continue.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar