Begitu
sampai di tempat Ivan aku langsung mendorong tubuh
pria itu agar menjauh dan langsung mengahampiri Ivan yang berlumuran darah,
“Ivan? Apa kau bisa mendengar suara ku?”
Perlahan, Ivan membuka
matanya dan tersenyum melihat ku, “Tentu aku bisa mendengar suara jelekmu.”
Akupun berusaha membalas
senyuman Ivan dengan tawa kecil. Bertepatan dengan itu Ibuku dan Ibu Ivan
datang dengan wajah yang amat khawatir. Ibuku tampak tengah berbicara dengan
seseorang di handphonenya, samar-samar terdengar Ibu memerintahkan seseorang
untuk segera datang. Mungkin Ibu sedang berbicara dengan pihak rumah sakit agar
dikirimi ambulance untuk menjemput Ivan.
“Apa kau bisa bangkit
Ivan?” tanya Ibunya saat kuruman mulai terbentuk mengelilingi kami dengan
rintihan dan desehan prihatin.
“Ibu, apa kau tidak
melihat keadaanku? Aku sekarat,” sahutnya terbata-bata mengatur suaranya agar
dapat keluar. Kadang ia terbatuk-batuk kecil dan mengeluarkan sedikit darah
dari mulutnya.
“Jangan bicara seperti
itu. Kau bisa membuat Yola
sedih,” bantah Ibunya.
“Sebenatar lagi Ambulans
akan datang, kau harus bertahan Oke,” tutur Ibuku ketika ia sampai dengan
telephon di tangannya.
Beberapa menit kemudian
ambulance datang seperti yang dijanjikan ibuku. Para petugas Ambulance segera
mengangkat tubuh Ivan yang berlumuran darah ke atas tandu dan memasukkannya ke
dalam mobil. Ibu Ivan dan aku segera menaiki Ambulance dan duduk di bangku yang
terletak di samping tandu. Sedangkan ibuku menyusul dengan mobil kami di
belakang.
“Yola,” panggil Ivan. Ia mengangkat
tangannya dan membuka alat bantu pernafasan yang menutupi mulutnya, “Apa aku
boleh meminta bantuan?” tanyannya lirih.
Aku mengangguk, “Tentu
saja.”
“Sepertinya aku tidak
akan pernah kembali lagi ke rumah,” ujarnya pelan, “Aku khawatir Ibu tidak memiliki
waktu luang untuk mengurus kucing-kucingku setelah ini. Jadi apa kau mau
merawat mereka?” ucapnya sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan.
Air mata yang berusaha
aku tahan selama ini tidak terbendung lagi. Mereka langsung bercucuran seperti
air bah, “Aku tidak akan menjanjikan
hal yang tidak pasti,” sahutku menyeka air mata. “Kau pasti kembali ke rumahmu
dan bermain bersama mereka Ivan.”
Ivan hanya
membalas ucapanku dengan senyuman, dan ia mengalihkan pandangannya kearah ibu
yang duduk di sebelahku, “Ibu, maafkan aku jika selama
ini menyusahkanmu dan membuatmu selalu menangis karena teringat Evan. Aku tahu
Ibu sangat merindukannya. Aku selalu melihat Ibu menangis dan memanggil-manggil
nama Evan. Aku yakin, mereka akan segera kembali dan memeluk Ibu,” tutur Ivan.
Aku hanya bisa diam dan
mendengarkan. Siapa Evan? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Evan… akan menjaga Ibu
dan Yola…” tambahnya. Suaranya semakin
pelan dan kesadarannya hampir hilang, “Dia… telah berjanji padaku…” mata Ivan terpejam,
alat bantu bernafasnya terlepas dari tangannya.
“Ivan,” isak Ibu seraya
merasakan denyut nadi Ivan. Tapi ia tidak
merasakan adanya aktivitas disana. Perawat yang duduk bersama mereka segera melakukan
pengecekan medis. Ia melakukannya berulang-ulang untuk memastikan bahwa ia
tidak salah. Ia berusaha untuk mengejutkan jantung Ivan namun tidak ada
perubahan. Perawat itu menghentikan aktivitasnya. Keringat dingin menetes dari
pelipisnya. Ia bersandar lemah di dinding mobil dan air mata menetes dari ujung
matanya.
Aku mamanggil nama Ivan. Walau aku tahu dia tidak akan
bisa menyahut lagi. Aku mendekati tubuhnya, masih
hangat. Aku kembali memanggilnya. Berharap ia telah
kembali dan akan menyahut. Aku mengguncang tubuhnya. Berharap ia tersentak dan
memintaku untuk menghentikannya. Aku merebahkan kepalaku ke dadanya,
memeluknya. Berharap dia membalas pelukanku dan memintaku untuk berhenti
menangis. Namun, dia tidak kembali. Dia tidak menyahut. Dia tidak tersentak.
Dia membiarkanku menguncang tubuhnya yang lemah. Dia tidak bergerak. Dia tidak
membalas pelukannku. Dia membiarkanku menangis. Dia telah pergi dan tidak akan
kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar