Sabtu, 27 September 2014

Kacang Selamat Pagi - part III



Begitu sampai di tempat Ivan aku langsung mendorong tubuh pria itu agar menjauh dan langsung mengahampiri Ivan yang berlumuran darah, “Ivan? Apa kau bisa mendengar suara ku?”
Perlahan, Ivan membuka matanya dan tersenyum melihat ku, “Tentu aku bisa mendengar suara jelekmu.”
Akupun berusaha membalas senyuman Ivan dengan tawa kecil. Bertepatan dengan itu Ibuku dan Ibu Ivan datang dengan wajah yang amat khawatir. Ibuku tampak tengah berbicara dengan seseorang di handphonenya, samar-samar terdengar Ibu memerintahkan seseorang untuk segera datang. Mungkin Ibu sedang berbicara dengan pihak rumah sakit agar dikirimi ambulance untuk menjemput Ivan.
“Apa kau bisa bangkit Ivan?” tanya Ibunya saat kuruman mulai terbentuk mengelilingi kami dengan rintihan dan desehan prihatin.
“Ibu, apa kau tidak melihat keadaanku? Aku sekarat,” sahutnya terbata-bata mengatur suaranya agar dapat keluar. Kadang ia terbatuk-batuk kecil dan mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.
“Jangan bicara seperti itu. Kau bisa membuat Yola sedih,” bantah Ibunya.
“Sebenatar lagi Ambulans akan datang, kau harus bertahan Oke,” tutur Ibuku ketika ia sampai dengan telephon di tangannya.
Beberapa menit kemudian ambulance datang seperti yang dijanjikan ibuku. Para petugas Ambulance segera mengangkat tubuh Ivan yang berlumuran darah ke atas tandu dan memasukkannya ke dalam mobil. Ibu Ivan dan aku segera menaiki Ambulance dan duduk di bangku yang terletak di samping tandu. Sedangkan ibuku menyusul dengan mobil kami di belakang.
“Yola,” panggil Ivan. Ia mengangkat tangannya dan membuka alat bantu pernafasan yang menutupi mulutnya, “Apa aku boleh meminta bantuan?” tanyannya lirih.
Aku mengangguk, “Tentu saja.”
“Sepertinya aku tidak akan pernah kembali lagi ke rumah,” ujarnya pelan, “Aku khawatir Ibu tidak memiliki waktu luang untuk mengurus kucing-kucingku setelah ini. Jadi apa kau mau merawat mereka?” ucapnya sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan.
Air mata yang berusaha aku tahan selama ini tidak terbendung lagi. Mereka langsung bercucuran seperti air bah, “Aku tidak akan menjanjikan hal yang tidak pasti,” sahutku menyeka air mata. “Kau pasti kembali ke rumahmu dan bermain bersama mereka Ivan.”
Ivan hanya membalas ucapanku dengan senyuman, dan ia mengalihkan pandangannya kearah ibu yang duduk di sebelahku, “Ibu, maafkan aku jika selama ini menyusahkanmu dan membuatmu selalu menangis karena teringat Evan. Aku tahu Ibu sangat merindukannya. Aku selalu melihat Ibu menangis dan memanggil-manggil nama Evan. Aku yakin, mereka akan segera kembali dan memeluk Ibu,” tutur Ivan.
Aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Siapa Evan? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Evan… akan menjaga Ibu dan Yola…” tambahnya. Suaranya semakin pelan dan kesadarannya hampir hilang, “Dia… telah berjanji padaku…” mata Ivan terpejam, alat bantu bernafasnya terlepas dari tangannya.
“Ivan,” isak Ibu seraya merasakan denyut nadi Ivan. Tapi ia tidak merasakan adanya aktivitas disana. Perawat yang duduk bersama mereka segera melakukan pengecekan medis. Ia melakukannya berulang-ulang untuk memastikan bahwa ia tidak salah. Ia berusaha untuk mengejutkan jantung Ivan namun tidak ada perubahan. Perawat itu menghentikan aktivitasnya. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Ia bersandar lemah di dinding mobil dan air mata menetes dari ujung matanya.
Aku mamanggil nama Ivan. Walau aku tahu dia tidak akan bisa menyahut lagi. Aku mendekati tubuhnya, masih hangat. Aku kembali memanggilnya. Berharap ia telah kembali dan akan menyahut. Aku mengguncang tubuhnya. Berharap ia tersentak dan memintaku untuk menghentikannya. Aku merebahkan kepalaku ke dadanya, memeluknya. Berharap dia membalas pelukanku dan memintaku untuk berhenti menangis. Namun, dia tidak kembali. Dia tidak menyahut. Dia tidak tersentak. Dia membiarkanku menguncang tubuhnya yang lemah. Dia tidak bergerak. Dia tidak membalas pelukannku. Dia membiarkanku menangis. Dia telah pergi dan tidak akan kembali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar